Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pekan lalu patut diapresiasi. Perubahan atas ketiga pasal itu memiliki implikasi luas dan berjangka panjang. Putusan MK untuk menyerahkan pembahasan mengenai perubahan ketiga pasal itu kepada lembaga legislatif sudah tepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sejak pertama kali disidangkan, perkara nomor 46/PUU-XIV/2016 yang menyangkut permohonan perubahan definisi atas tiga pasal kejahatan kesusilaan dalam sistem hukum pidana sudah menyulut pro dan kontra. Jika permintaan pemohon dikabulkan, perubahan Pasal 284 akan membuat semua hubungan seksual di luar pernikahan bisa dipidana, baik ada maupun tak ada pengaduan. Sedangkan perubahan atas Pasal 285 akan membuat semua jenis pemerkosaan, bukan hanya yang dilakukan lelaki terhadap perempuan, bisa dipidana.Terakhir, perubahan atas Pasal 292 akan membuat semua perbuatan seksual sesama jenis dapat dipidana.
Kontroversi seputar perubahan tiga pasal itu berpangkal dari perbedaan pandangan di masyarakat soal kesusilaan dan posisinya di ranah publik. Harus diakui, pandangan publik soal ini masih terbelah. Meski begitu, ketiadaan dalil yang dimohonkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengindikasikan bahwa hukum negara ini menilai hubungan seksual di luar pernikahan dan homoseksualitas merupakan ranah privat, bukan urusan yang perlu dipidanakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Perubahan apa pun atas prinsip dasar semacam itu memang tidak bisa diserahkan hanya kepada sembilan hakim Mahkamah Konstitusi. Semua pemangku kepentingan perlu didengarkan sebelum sebuah keputusan dapat diambil. Apalagi saat ini masih marak aksi persekusi secara sistematis di masyarakat yang menimpa kaum minoritas yang berbeda, seperti lesbian, gay, biseksual, dan transeksual (LGBT). Negara perlu mengirim sinyal kuat untuk menjamin perlindungan atas hak asasi warga negaranya, tanpa kecuali.
Karena itulah, publik tak perlu buru-buru bereaksi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Tidak benar bahwa sejak putusan itu dibacakan, LGBT dan hubungan di luar pernikahan kini dilegalkan di Indonesia. Pemahaman yang keliru soal ini perlu diluruskan agar tidak menjadi sumber perdebatan sengit di kalangan khalayak ramai.
Putusan Mahkamah itu justru perlu dipuji. Diambil dengan pemungutan suara yang ketat, yakni 5:4, putusan itu mencerminkan kebijaksanaan Mahkamah dalam melihat perannya dalam sistem peradilan kita. Pada beberapa perkara lampau, Mahkamah kerap dituding melampaui kewenangannya karena membuat dalil sendiri atau menafsirkan terlalu jauh keterkaitan sebuah undang-undang dengan konstitusi UUD 1945.
Ke depan, Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai representasi kedaulatan rakyat, perlu mengagendakan rapat dengar pendapat yang inklusif membahas isu ini. Rapat-rapat di Senayan membahas rancangan KUHP yang baru juga harus bisa memfasilitasi perdebatan publik. Semua kubu perlu saling mendengarkan dan memahami. Tanpa itu, isu kesusilaan di ranah publik bakal terus jadi kontroversi berkepanjangan. (*)