Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Didin S. Damanhuri
Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi IPB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam perekonomian modern, Bank Indonesia sebagai bank sentral sudah seperti "jantung" kehidupan. Jika fungsi BI terganggu, perekonomian akan sakit. Sementara itu, sistem perbankan sudah seperti "aliran darah" di dalam tubuh manusia. Jadi, bila terjadi penyumbatan, misalnya ke otak, akan terjadi stroke yang mematikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan pengandaian itu, kita dapat memahami mengapa terjadi resesi, krisis, atau depresi perekonomian. Misalnya, krisis moneter pada 1997/1998 yang mengakibatkan kurs rupiah menyentuh Rp 18 ribu per dolar Amerika dan inflasi hingga 70 persen serta kontraksi (pertumbuhan negatif) perekonomian -14 persen. Salah satu penyebabnya adalah gagalnya fungsi BI sebagai lender of last resort dalam pengaturan makroprudensial maupun mikropudensial.
Salah satu hal terpenting setelah krisis moneter itu adalah terjadinya reformasi BI dan perbankan, sehingga BI menjadi lembaga independen serta tegaknya prinsip makroprudensial dan mikroprudensial dalam pengelolaan perbankan di Indonesia. Akibatnya, rupiah stabil, inflasi terkontrol, dan pertumbuhan ekonomi kembali terdongkrak.
Namun, setelah lebih satu setengah dasawarsa, reformasi BI dan perbankan belum cukup karena negara belum berhasil menciptakan kesempatan kerja yang layak bagi setiap warga negara dan pembangunan ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini terlihat dari proporsi sektor informal yang masih sangat besar, sekitar 60 persen. Padahal pembangunan ekonomi seharusnya makin memperkecil sektor informal karena banyaknya angkatan kerja yang terserap ke dalam sektor formal serta bertambahnya pengangguran total. Selain itu, pembangunan gagal mengatasi ketimpangan antar-golongan pendapatan, antar-sektor, dan antar-wilayah. Dengan demikian, dalam ukuran konstitusi, BI belum sepenuhnya merealisasi kewajiban konstitusionalnya.
Hal yang lebih mendasar adalah fakta bahwa penempatan kebijakan moneter ternyata tidak cukup mampu mendorong tercapainya kesejahteraan umum melalui peningkatan pemerataan, peningkatan kesempatan kerja, serta dukungan yang cukup bagi berkembangnya sektor usaha mikro, kecil, dan menengah. Fenomena ini mengkonfirmasi berbagai kasus peranan bank sentral di negara berkembang, ketika peran bank sentral tidak cukup hanya sebagai faktor penjaga stabilitas makroekonomi.
Dengan demikian, terdapat urgensi untuk merevisi Undang-Undang Perbankan. Urgensinya terletak pada upaya memerankan BI sebagai agen pembangunan dan menegakkan kedaulatan di sektor keuangan. Seiring dengan upaya pemulihan perbankan dari krisis 1997/1998, pemerintah membuka ruang kepemilikan modal asing di sektor perbankan yang bisa mencapai 99 persen. Namun, saat krisis telah usai, batasan kepemilikan modal asing tidak direvisi kembali. Fenomena suku bunga riil yang jauh lebih tinggi dibanding negara-negara lain yang setara membuat masuknya modal asing secara masif ke sektor perbankan tidak terhindarkan.
Tanpa regulasi yang ketat terhadap modal asing di sektor perbankan, tingkat kerentanan perekonomian terhadap krisis akan meningkat. Sebab, bersamaan dengan dibuka lebarnya porsi kepemilikan asing, Indonesia juga menganut sistem devisa bebas, ketika hilir-mudik modal bisa masuk dan keluar secara bebas. Dalam kondisi krisis, dengan mudah pemodal asing mengalihkan modalnya dari anak cabang (di Indonesia) ke perusahaan/perbankan induk (di luar negeri) yang dapat memperparah keadaan.
Sementara itu, revisi Undang-Undang BI harus lebih menegaskan posisi independensinya secara eksplisit, dengan arah independensi BI dari sisi instrumen. Dari sisi tujuan, BI tidak bisa independen dari tujuan nasional. Dari sini, keseimbangan antara fungsi BI sebagai agen stabilisasi dan agen pembangunan perlu dilakukan dengan penguatan Undang-Undang BI yang selaras dengan tujuan nasional. Sementara itu, revisi Undang-Undang Perbankan harus mengarah pada upaya untuk menciptakan kedaulatan sektor keuangan, pembentukan modal dalam negeri, peningkatan akses kredit bagi UMKM, serta terdistribusikannya likuiditas (kredit) secara lebih rata ke daerah-daerah.
Fungsi BI dan perbankan nasional juga perlu ditambah dengan fungsi sebagai agen pembangunan, terutama dalam penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang merata. Kedua fungsi ini, dalam praktik pengelolaan sektor moneter di Indonesia, tidak dapat dipisahkan. Hal ini mengingat faktor-faktor penyebab instabilitas perekonomian tidak sepenuhnya bersumber dari sektor moneter, tapi juga dari sektor riil, seperti inflasi yang bersumber dari pangan dan energi. Dengan demikian, fungsi stabilisasi ekonomi yang dilakukan oleh BI hanya akan berjalan dengan efektif apabila ditopang oleh fungsi sebagai agen pembangunan, yakni penciptaan lapangan kerja, peningkatan akses kredit lebih besar bagi UMKMK, dan pemerataan akses kredit ke daerah.
Tantangan pembangunan nasional dalam perekonomian dunia yang semakin mengglobal membutuhkan sinergi dan peran sistem perbankan dalam pembangunan dan stabilitas perekonomian. Revisi Undang-Undang BI dan Undang-Undang Perbankan yang mengarah dan mengembalikannya pada tujuan nasional dapat menjadi titik awal pembangunan yang menyejahterakan rakyat.