Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Pilkada dan Rekonfigurasi Kekuasaan

Pilkada 2024 yang dilakukan secara serentak berpotensi menimbulkan rekonfigurasi kekuasaan. Apa dampaknya?

1 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM selesai ingar pemilihan umum pada 14 Februari lalu, Indonesia sudah bersiap menuju “pesta demokrasi” lain pada tahun yang sama, yakni pemilihan kepala daerah (pilkada). Gelaran ini akan dilaksanakan pada 27 November atau 38 hari pasca-pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara keseluruhan, pilkada akan dilaksanakan untuk memilih 37 gubernur, 93 wali kota, dan 415 bupati. Proses ini dikecualikan untuk Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan sistem penetapan sultan sebagai gubernur oleh DPRD provinsi dan Daerah Khusus Jakarta yang bupati/wali kotanya ditunjuk oleh gubernur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pilkada 2024 memiliki minimal dua keunikan dibanding pilkada sebelumnya. Pertama, pilkada akan dilaksanakan serentak pada hari yang sama. Keserentakan total ini akan menjadi yang pertama setelah keserentakan “sebagian” yang dimulai pada 2015. Asumsi dasar keserentakan ini secara umum berkenaan dengan efektivitas dan efisiensi.

Meski begitu, saat ini hal tersebut bisa diperdebatkan melihat refleksi atas keserentakan pemilu legislatif dan presiden pada Februari lalu. Keunikan kedua dan menarik untuk didiskusikan adalah adanya potensi rekonfigurasi kekuasaan. Rekonfigurasi ini salah satunya dipicu oleh adanya konsekuensi kebijakan keserentakan, yakni penunjukan penjabat kepala daerah.

Proses penunjukan penjabat kepala daerah ini mempunyai pola sentralistis. Terdapat 271 daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah dengan akumulasi jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa atau sekitar 89 persen (Djohan, 2023). Mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023, kewenangan penunjukan penjabat kepala daerah ada di tangan presiden.

Atas dasar itulah potensi all the president’s men yang cenderung lebih mendengarkan titah kekuasaan daripada rakyatnya akan menguat. Apalagi jika dilihat dari lama mereka menjabat, ada sekitar seratus penjabat yang akan berada dalam kekuasaan selama dua tahun.

Dampak elektoralnya tentu beragam. Bagi inkumben, tentu mereka tidak lagi punya panggung politik yang luas untuk bisa bermanuver sehingga ada potensi untuk tak terpilih lagi. Apalagi bagi pendatang baru. Dengan situasi demokrasi elektoral yang mengharuskan populer dan berbiaya mahal, mereka harus bersaing tak hanya melawan inkumben, tapi juga bisa jadi penjabat kepala daerah.

Perlu dicermati berapa banyak penjabat kepala daerah yang akan maju dalam pilkada. Mereka diuntungkan dengan mempunyai panggung politik untuk bisa populer. Di Jakarta, sebagai episentrum politik Indonesia, penjabat gubernur secara aktif melakukan bermacam sosialisasi bahkan sejak pertama kali menjabat sampai sekarang dengan turut serta menampilkan wajah sang gubernur. Bisa jadi ini strategi kampanye berbiaya murah karena dibiayai anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) serta legal secara hukum.

Di sisi lain, bagi demokrasi, rekonfigurasi kekuasaan adalah keniscayaan. Demokrasi tidak berbicara orang per orang, melainkan persoalan sistem. “Kocok ulang” kekuasaan melalui pemilu merupakan bentuk lain ketika demokrasi lebih berbicara soal sistem. Namun studi Berenschot (2021) justru menunjukkan anomali, yakni kadang demokrasi merusak tata kelola pemerintahan. 

Fenomena pilpres 2024 merupakan bukti terbaru mengenai argumentasi tersebut, yakni pemimpin yang lahir dari rahim demokrasi justru cenderung meruntuhkan demokrasi dengan “mempermainkan” aturan mainnya. Dalam konteks pilkada, orang-orang terdekat dan keluarga Presiden mulai diperbincangkan dan dipertimbangkan untuk menjadi calon kepala daerah dengan harapan adanya coat-tail effect Presiden. Sejauh ini tidak ada larangan mengenai hal tersebut. Namun, lagi-lagi secara etika politik, hal itu tentu dipertanyakan.

Terlebih jika menilik riset terbaru Dan Slater (2024) mengenai keresahannya atas nasib pemilu di level lokal dalam rezim yang akan datang. Dinamika Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta sebelum disahkan menjadi salah satu alasan, dengan pilkada secara langsung akan diubah menjadi tidak langsung. Meskipun pada akhirnya rencana itu gagal disepakati, setidaknya hal tersebut menjadi sinyal bagi keberlangsungan demokrasi lokal. 

Demikian pula dengan “curhat” Prabowo Subianto beberapa waktu lalu yang mengeluhkan ihwal demokrasi berbiaya mahal. Pernyataan ini, selain meruntuhkan aspek teknokratis dalam pelaksanaan keserentakan pemilu, mengindikasikan bahwa pemilu secara langsung bisa jadi berada dalam ancaman di masa yang akan datang.

Tentu kita berharap tidak mengalami kembali kisah buruk pilpres 2024, saat penggunaan fasilitas negara dan cawe-cawe kekuasaan disinyalir terjadi. Peringatan dari mantan Perdana Menteri Inggris pada 1948, Winston Churchill, akhirnya menjadi relevan, “Those that fail to learn from history are doomed to repeat it”—Mereka yang gagal belajar dari sejarah dikutuk untuk mengulanginya. Maka, selain mengawal proses gugatan di MK, perlu kiranya kita mulai proaktif mengawasi dan mengawal proses demokratisasi lokal.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus