Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Rekonstruksi Komisi Pemberantasan Korupsi

Membiarkan KPK kembali porak-poranda bukanlah pilihan yang bijak.

6 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lembaran baru Komisi Pemberantasan Korupsi bakal segera ditulis. Pada ujung Mei 2024, Presiden Jokowi resmi meneken Keputusan Presiden tentang Pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) Komisioner dan Dewan Pengawas KPK.  

Tak lama lagi, lembaga utama pemberantasan korupsi Indonesia itu akan dinakhodai pemimpin baru, yang juga diikuti dengan figur pengawas internalnya. Berbagai tantangan dan masalah menanti. Apalagi seleksi ini dilakukan di tengah stagnasi pemberantasan korupsi dan ambruknya kepercayaan masyarakat kepada KPK.

Dalam lima tahun terakhir, KPK memiliki sekian banyak masalah. Dari pelbagai soal itu, setidaknya ada dua, yakni problem internal dan eksternal. Dalam urusan problem internal, sulit memungkiri bahwa masalah etika para komisioner KPK kerap jadi batu sandungan.

Sejak resmi menjabat pada Desember 2019, dua dari lima komisioner KPK terbukti melanggar kode etik. Bahkan, bekas pemimpin tertingginya, Firli Bahuri, ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian karena disinyalir terlibat suap, pemerasan, dan gratifikasi.

Komisioner lain bukannya tanpa catatan. Mereka juga sering jadi pihak terlapor di Dewan Pengawas. Salah satunya Nurul Ghufron, yang disinyalir memperdagangkan pengaruh dengan membantu mutasi pegawai di Kementerian Pertanian.

Perihal buruknya kualitas penegakan hukum dan rendahnya kuantitas penindakan, ada banyak perkara yang bisa jadi contoh. Ini mulai dari mandeknya pencarian buron Harun Masiku, amburadulnya proses hukum perkara korupsi bansos, hingga tren tuntutan ringan kepada sejumlah terdakwa, salah satunya terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Dalam kuantitas penindakan, khususnya yang menggunakan metode operasi tangkap tangan (OTT), data Indonesia Corruption Watch menunjukkan, pada rentang 2020-2023, KPK melakukan hanya 31 kali OTT. Jumlah itu terpaut jauh jika dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai 87 kali.

Kinerja buruk pengawasan oleh Dewan Pengawas juga menjadi masalah laten. Berdasarkan Pasal 37B ayat (1) huruf f Undang-Undang KPK, Dewan Pengawas bertugas untuk mengevaluasi kepemimpinan komisioner. Pertanyaannya, apa yang sudah dilakukan oleh Dewan Pengawas untuk mengantisipasi buruknya kinerja kepemimpinan KPK? Apalagi problem kepemimpinan di KPK terus berulang selama lima tahun terakhir. Bukankah Dewan Pengawas telah gagal?

Belum lagi penegakan kode etik yang tumpul saat menyentuh komisioner. Ambil contoh, sanksi ringan kepada Firli saat terbukti bergaya hidup mewah, kegagalan Dewan Pengawas melanjutkan sidang etik Lili Pintauli Siregar, dan putusan atas Ghufron yang tidak mereka bacakan.

Sedangkan untuk problem eksternal KPK, belakangan bersumber dari perlawanan balik para pelaku korupsi. Namun perlawanan ini bukan seperti biasanya yang menggunakan jalur politik, melainkan melalui proses hukum. Misalnya permohonan praperadilan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward O.S. Hiariej, yang dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Akibat putusan janggal itu, status Edward sebagai tersangka dianggap gugur dan KPK dipaksa mengubah proses administrasi penyidikannya.

Bukan cuma itu, sanggahan terdakwa korupsi, mantan hakim agung Gazalba Saleh, juga dikabulkan majelis hakim melalui putusan sela. Muatan putusan sela itu memerintahkan KPK untuk lebih dulu berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung sebelum melimpahkan berkas perkara ke pengadilan. Dampak putusan ini tidak main-main. Kewenangan penuntutan KPK akan hilang karena dikooptasi Kejaksaan Agung.

Kombinasi permasalahan internal dan eksternal itu membuat tingkat kepercayaan masyarakat kepada KPK kian ambruk. Dari sembilan lembaga yang disurvei oleh Indikator Politik pada April 2024, KPK berada di peringkat ketujuh dengan skor 62,1 persen.

KPK hanya unggul sedikit dari Dewan Perwakilan Rakyat dan partai politik. Padahal, pada periode-periode sebelumnya, KPK selalu menempati urutan atas. Karena itu, dalam urusan pansel, penjaringan komisioner dan Dewan Pengawas mendatang amat krusial untuk merekonstruksi total lembaga antirasuah tersebut.

Pansel yang baru diumumkan Menteri Sekretaris Negara ini bukan tanpa masalah. Dari segi waktu, langkah presiden terbilang lambat. Merujuk pada periode sebelumnya, pansel sudah dibentuk sejak pertengahan Mei, bukan malah di ujung bulan. Ini penting karena berkaitan langsung dengan rentang waktu pencarian kandidat.

Apalagi, kini, tugas pansel tidak hanya mencari lima calon komisioner, tapi juga lima anggota Dewan Pengawas. Dengan beban kerja berat, semestinya presiden sudah menandatangani Keppres tentang Pansel KPK sejak awal Mei 2024, atau bahkan sebelumnya.

Banyak pihak memandang komposisi pansel tidak ideal. Perwakilan pemerintah mendominasi dengan jumlah lima orang, sedangkan dari unsur masyarakat hanya empat orang. Argumentasi yang menyangkut persoalan ini pun minim disampaikan, atau sekadar normatif dengan menunjukkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengangkatan Ketua dan Anggota Dewan Pengawas KPK.

Memang benar, aturan itu menyebutkan perwakilan pemerintah mendominasi komposisi pansel. Namun, jangan lupa, KPK saat ini bukan dalam kondisi normal, melainkan abnormal. Dibutuhkan terobosan hukum, salah satunya dengan menyimpangi aturan itu, dan menambah komposisi yang berasal dari unsur masyarakat.

Apalagi pada level aturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang KPK, tidak mengatur jumlah perwakilan pemerintah dan masyarakat. Atas kondisi ini, wajar jika masyarakat menaruh curiga pemerintah ingin cawe-cawe dalam seleksi komisioner dan Dewan Pengawas.

Terlepas dari permasalahan di atas, dalam konteks penjaringan komisioner dan Dewan Pengawas mendatang, ada sejumlah hal yang menjadi pekerjaan rumah para anggota pansel. Pertama, prinsip akomodatif atau dikenal dengan istilah meaningful participation mutlak dijalankan. Kesalahan pansel periode sebelumnya yang kerap menuding, mengabaikan, atau mencibir suara masyarakat tak boleh lagi diulangi. Sebab, pada dasarnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (6) UU KPK, pansel wajib meminta tanggapan masyarakat.

Kedua, pansel KPK harus memastikan kandidat yang lolos pada setiap tahapan memiliki rekam jejak bersih. Pada poin ini, rekam jejak tak terbatas pada aspek hukum, tapi juga etik. Praktik melenceng pada 2019, pansel mengabaikan rekam jejak etik Firli harus menjadi pembelajaran.

Ketiga, jaminan akan pemenuhan nilai integritas dan independensi setiap kandidat harus terakomodasi. Sekalipun sulit untuk menilai integritas seseorang, tapi ada dokumen administrasi yang dapat mencerminkan sikap itu, yakni kepatuhan pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Perdebatan perihal urusan ini selalu mencuat, khususnya mengenai kapan kepatuhan pada LHKPN menjadi syarat, apakah saat mendaftar atau ketika nanti terpilih.

Belajar dari kesalahan seleksi sebelumnya yang menempatkan LHKPN sebagai syarat pelantikan, pansel harus membuat terobosan dengan mewajibkan pendaftar dari kalangan penyelenggara negara melampirkan dokumen kepatuhan pelaporan harta kekayaan mereka. Jika ditemukan ada yang melanggar, baik karena terlambat lapor maupun tidak melapor, pansel harus berani menggugurkannya.

Perihal independensi, pansel harus berani mewajibkan para pendaftar menandatangani surat yang menyatakan mereka siap mundur dari institusi asalnya jika kelak terpilih. Jika hanya mundur dari jabatan seperti yang tertuang dalam Pasal 29 huruf i Undang-Undang KPK, bukan tidak mungkin mereka akan punya loyalitas ganda.  Akibatnya, setiap tindakan yang nanti mereka ambil akan bias dengan kepentingan institusi asal.

Keempat, pansel harus mulai mendata kandidat potensial dan meminta mereka mendaftar. Konsep jemput bola ini penting karena, dengan amburadulnya KPK, tak mudah untuk meminta figur kompeten mendaftar.

Memantau proses seleksi komisioner dan Dewan Pengawas memang bukanlah pilihan mudah. Namun, yakinlah, membiarkan KPK kembali porak-poranda bukanlah pilihan yang bijak. Bisa jadi, koruptor mengharapkan KPK berantakan agar dapat menjarah sebanyak-banyaknya uang negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Kurnia Ramadhana

Kurnia Ramadhana

Peneliti Indonesia Corruption Watch

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus