Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARGA SEBAGIAN besar pangan pokok strategis masih belum stabil. Harga beras bahkan sempat naik sebesar 20 persen hanya dalam kurun waktu satu tahun. Situasi ini tak kunjung membaik meski impor beras dilakukan dalam waktu tiga tahun berturut-turut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arus impor pangan yang cukup deras ini terjadi sejak lama. Kondisi ini terjadi sejak penandatanganan letter of intent antara pemerintah dan Dana Moneter Internasional (IMF). Hal ini mendorong Indonesia membuka pasar pangan dari luar negeri. Akibatnya, komoditas seperti beras, tepung gandum, gula, bawang putih, kedelai, hingga daging sapi pun dapat masuk dengan mudah. Praktik ini lazim dilakukan oleh negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak pendirian WTO, organisasi ini hadir untuk mereformasi tata kelola perdagangan dunia, yang sebelumnya hanya dijalankan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sejak 1948. GATT dan WTO sama-sama memiliki prinsip liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Walaupun bukan bagian dari kelembagaan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), prinsip itu menjadikan WTO sebagai organisasi perdagangan multilateral terbesar di dunia yang bertujuan menciptakan perdagangan bebas antar-negara.
Indonesia sendiri telah turut serta dalam persetujuan awal untuk membentuk WTO pada 1994 saat pertemuan di Marrakesh, Maroko. Keanggotaan Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Paling tidak saat itu terdapat dua pertimbangan Indonesia bersedia menjadi anggota WTO.
Pertama, membuka peluang pasar internasional yang lebih luas. Adapun pertimbangan kedua adalah demi mendapatkan kerangka perdagangan multilateral yang lebih baik. Secara garis besar, kedua pertimbangan tersebut memiliki pengaruh besar dalam berbagai kebijakan nasional selama ini.
Namun, dalam kurun waktu hampir 30 tahun keanggotaan Indonesia di WTO, manfaat-manfaat organisasi ini untuk kepentingan nasional patut dipertanyakan ulang. Mengingat dampak-dampak negatif yang justru kerap bermunculan, terkhusus bagi petani dan masyarakat perdesaan.
WTO terus menuntut negara-negara anggota, termasuk Indonesia, membuat atau menyelaraskan peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip WTO ataupun GATT. Salah satu contohnya adalah persetujuan Indonesia dalam perjanjian tentang pertanian atau agreement on agriculture (AoA) pada 1995.
AoA mengatur perdagangan bebas dalam sektor pertanian dan pangan. Beberapa hal yang diatur adalah kewajiban membuka pasar domestik bagi komoditas pertanian dari luar atau sebaliknya, mengurangi dukungan/subsidi kepada petani, dan mengurangi dukungan/subsidi terhadap petani untuk melakukan ekspor.
Persetujuan AoA langsung berdampak pada penyesuaian peraturan nasional, dari penghapusan harga dasar gabah/beras, pencabutan subsidi pupuk, hingga perubahan tarif bea-cukai atas impor dan ekspor produk pertanian. Kebijakan ini juga mengurangi kewenangan Bulog, yang sebelumnya bertugas sebagai lembaga penyangga stok pangan, menjadi sekadar perusahaan umum.
Dampak lain juga dapat ditemui dalam berbagai keputusan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO yang selama ini tidak menguntungkan Indonesia. Misalnya pengaturan tentang public stockholding dan mekanisme pengamanan khusus yang telah ada sejak Putaran Doha pada 2001.
Kedua kesepakatan itu memuat perlakuan khusus terhadap negara berkembang (G-33), seperti batasan pemberian subsidi kepada petani dan nelayan, meskipun pengaturan tersebut bukan menjadi topik pembahasan utama untuk disetujui pada KTM ke-9 WTO di Bali 2013 sampai KTM ke-12 WTO di Jenewa, Swiss, 2022.
Intervensi WTO
Tekanan kepada Indonesia sebagai anggota WTO juga hadir dari berbagai gugatan negara-negara anggota WTO lainnya. Tekanan ini terutama mengenai pembatasan impor produk-produk pertanian melalui Badan Penyelesaian Sengketa WTO. Sejak 2014, Brasil menggugat Indonesia atas kebijakan pembatasan impor daging ayam dan produk ayam. Hal serupa juga dilakukan Amerika Serikat dan Selandia Baru pada 2013.
Mereka menggugat Indonesia karena kebijakan pembatasan impor produk hortikultura dan produk hewan. WTO memutuskan bahwa Indonesia kalah dalam persidangan pada 2017 atas kedua gugatan ini. Akibatnya, pemerintah wajib mengubah peraturan perundangan-undangan secara nasional yang membatasi impor.
Pembatasan impor yang melemah akibat berbagai revisi terhadap peraturan Menteri Pertanian dan peraturan Menteri Perdagangan tentu saja sangat berpengaruh terhadap petani dan produsen pangan lainnya di perdesaan. Walaupun demikian, ternyata AS belum puas atas berbagai revisi tersebut.
AS kemudian mengumumkan akan mengenakan sanksi dagang kepada Indonesia dengan menerapkan retaliasi dagang sebesar US$ 350 juta. Tindakan AS didasari oleh penilaian bahwa Indonesia telah gagal mematuhi keputusan Badan Penyelesaian Sengketa WTO sampai batas waktu yang ditentukan.
AS kemudian menyasar perubahan besar-besaran terhadap undang-undang yang sangat penting bagi petani dan masyarakat perdesaan, yakni UU Pangan, UU Hortikultura, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Intervensi ini kemudian diterima mentah-mentah oleh Indonesia dengan mengesahkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Meskipun telah ditetapkan cacat formil dan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, UU Cipta Kerja dihidupkan kembali lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 dan disahkan lagi menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023.
Posisi Indonesia di WTO
Pada 26-29 Februari 2024, KTM ke-13 WTO diselenggarakan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Pertemuan kali ini menyepakati Paket Abu Dhabi yang terdiri atas Deklarasi Para Menteri, keputusan aksesi, reformasi penyelesaian sengketa, program kerja niaga elektronik, dan isu pembangunan. Kita patut bersyukur karena perundingan pertanian dan subsidi perikanan tidak jadi disahkan akibat masih terdapat perbedaan pendapat antar-anggota.
Negosiasi yang terus berjalan itu justru lebih memperkuat dominasi negara industri dalam ekspansi perdagangan pertanian dan perikanan global ketimbang mendorong agenda pembangunan negara dunia ketiga di belahan bumi bagian selatan.
Sebagai contoh, beberapa jenis subsidi perikanan yang akan dihapuskan jika perjanjian disepakati antara lain subsidi untuk bahan bakar, biaya sosial, asuransi, dukungan harga ikan yang ditangkap, dan subsidi yang mencakup kerugian penangkapan ikan.
Berdasarkan kondisi itu, Indonesia sebagai negara G-33 penting untuk menyuarakan agar WTO mengeluarkan topik pertanian dan perikanan dari perundingan. Biarkan tema pertanian dan perikanan menjadi urusan masing-masing negara, yang juga bisa dirundingkan melalui mekanisme government to government. Toh, tuntutan mengeluarkan topik ini sudah dan terus bergaung sejak 1999 sampai 2022.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.