Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Menyoal Kepatuhan LHKPN Anggota DPR

Tingkat kepatuhan penyampaian laporan harta kekayaan penyelenggara negara anggota DPR masih rendah. Tak ada sanksi tegas.

17 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BATAS waktu pelaporan harta kekayaan setiap penyelenggara negara periode 2023 berakhir pada 31 Maret lalu. Berdasarkan data yang dilansir Komisi Pemberantasan Korupsi, dari total 406.844 penyelenggara negara yang wajib menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), baru 392.772 orang (96,54 persen) yang telah melaporkan hartanya kepada KPK. Persentase itu menurun dibanding pada periode 2022 yang mencapai 97 persen.

Jika dirinci, dari tiga cabang kekuasaan, ternyata legislatif menempati peringkat corot, yakni hanya 79,77 persen. Potret suram kepatuhan LHKPN para legislator sungguh bukan kabar mengejutkan lagi. Betapa tidak, hampir setiap tahun wakil-wakil rakyat itu konsisten mengabaikan LHKPN. Pada 2021, misalnya, kepatuhan LHKPN anggota legislatif sebesar 87,05 persen. Naik sedikit menjadi 88 persen pada 2022 dan anjlok 10 persen pada tahun ini.

Dengan melihat data tersebut, artinya, dalam rentang waktu tiga tahun terakhir, tingkat kepatuhan LHKPN anggota legislatif belum pernah mencapai 90 persen. Sedangkan cabang kekuasaan lainnya, seperti eksekutif dan yudikatif, angkanya sudah di atas 95 persen. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selaku pembentuk regulasi, terlalu mengada-ada jika ada anggota legislatif yang tidak mengetahui bahwa menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara merupakan kewajiban hukum. Kewajiban itu disebutkan dalam Pasal 5 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Ketentuan ini memerintahkan setiap penyelenggara negara wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. 

Konsep ini kemudian disempurnakan melalui Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016 dengan menambah momentum pelaporan, yakni tidak hanya sebelum dan setelah menjabat, tapi juga setiap tahun (paling lambat dilaporkan pada 31 Maret) selama mengemban suatu jabatan. Karena itu, bila ada penyelenggara negara, khususnya dari kalangan legislator yang abai, entah tidak melapor atau terlambat, tindakannya bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Data yang penulis cuplik dari laman LHKPN per 8 April 2024 menunjukkan bagaimana buruknya integritas legislator di tingkat pusat. Bisa dibayangkan, dari total 569 anggota DPR, ada 283 orang yang belum menyetorkan LHKPN ke KPK. Tak cukup di situ, dari 11 ketua komisi, tujuh di antaranya juga belum melaporkan LHKPN hingga batas waktu yang ditentukan.

Timbul satu pertanyaan reflektif atas situasi ini: apa mungkin masyarakat berharap perbaikan pemberantasan korupsi kepada orang-orang yang kerap mengabaikan nilai transparansi dan akuntabilitas seperti mereka?

Tiada Alasan Tak Melaporkan LHKPN

Ada sejumlah jawaban yang mungkin dilontarkan oleh para pelanggar laporan harta kekayaan penyelenggara negara di DPR ketika dihadapkan pada isu ketidakpatuhan pelaporan harta kekayaan. Namun, dapat dipastikan, tak ada sedikit pun alasan yang bisa menghapus perbuatan melawan hukum semacam itu. Misalnya, mereka menggunakan alasan masa kampanye sehingga tidak sempat mengurus LHKPN. 

Argumentasi semacam ini mudah dibantah. Sebab, berdasarkan aturan internal DPR, setiap anggota dibekali lima tenaga ahli dan dua anggota staf administrasi. Tentu mustahil jika tujuh orang tersebut tidak bisa membantu atasannya dalam menyusun dan melaporkan LHKPN. 

Selain itu, faktor kesulitan mengisi LHKPN tak bisa dibenarkan. Sebab, KPK telah menginisiasi pelaporan harta kekayaan via elektronik (e-LHKPN) sejak 2017 yang ditujukan guna memudahkan penyelenggara negara. Untuk batas akhir pelaporan, anggota DPR bahkan diberi waktu yang cukup, yakni tiga bulan, dari 1 Januari 2024 sampai 31 Maret 2024. Jadi, argumentasi-argumentasi ini seharusnya tak pantas lagi mereka sampaikan karena sangat tidak masuk akal dan hanya akan menambah persepsi buruk DPR di mata masyarakat. 

Melihat minimnya komitmen kepatuhan LHKPN legislator DPR, penulis mencoba mengidentifikasi apa saja penyebabnya. Pertama, kesadaran hukum politikus Senayan memang harus dikatakan sangat rendah. Rasanya, mereka menganggap LHKPN sekadar syarat administrasi untuk dapat dilantik sebagai anggota DPR sebagaimana diatur dalam aturan internal Komisi Pemilihan Umum. Padahal, melalui LHKPN, masyarakat dapat menguji komitmen antikorupsi, khususnya pemenuhan nilai transparansi dan akuntabilitas seorang anggota legislatif. 

Kedua, tak tampak dorongan dari partai politik yang menaungi anggota legislatif. Semestinya, partai politik bertindak tegas jika ada kadernya yang mengabaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara, misalnya dengan menarik balik (recall atau pergantian antarwaktu) orang tersebut. Jika hal itu dilakukan, tingkat kepatuhan anggota DPR melaporkan LHKPN sudah barang tentu akan naik.

Ketiga, nihilnya penindakan di lingkup internal DPR terhadap para pelanggar LHKPN. Bukti konkretnya sudah ada. Pada 2023 Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan 55 orang Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) karena tidak patuh melaporkan LHKPN ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Namun, alih-alih ditindaklanjuti, hingga saat ini tak jelas bagaimana perkembangan pelaporan tersebut. 

Kala itu, ICW mengelompokkan ketidakpatuhan LHKPN menjadi empat jenis: tidak tepat waktu, tidak berkala, kombinasi antara tidak tepat waktu dan tidak berkala, serta sama sekali tidak pernah melaporkan. Temuannya, 22 orang tidak tepat waktu, 16 orang tidak melapor secara berkala, 9 orang kombinasi keduanya, dan 8 orang lainnya tak pernah melapor harta kekayaannya. Bukti yang dibawa ICW saat itu terbilang valid karena bersumber langsung dari laman LHKPN KPK. 

Langkah Perbaikan

Berangkat dari persoalan LHKPN, ada sejumlah langkah perbaikan yang mesti segera dilakukan, baik oleh DPR maupun KPK. Pertama, DPR harus merombak aturan mengenai kode etik dan memasukkan sanksi bagi anggota yang tak patuh melaporkan harta kekayaannya. Sebab, berdasarkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015, praktis tak ada ketentuan penjatuhan sanksi terkait dengan kepatuhan LHKPN. Jadi, bagaimana berharap adanya hukuman kalau aturan kode etiknya saja tidak menyebutkan mengenai urgensi pelaporan harta kekayaan? 

Sanksi terhadap anggota DPR yang mengabaikan LHKPN seharusnya bisa mulai diatur secara berjenjang. Misalnya, penundaan pemberian gaji untuk anggota yang terlambat melaporkan harta kekayaannya. Lalu pencopotan dari jabatan struktural DPR, seperti pimpinan AKD, dalam hal terdapat anggota yang tidak melaporkan secara berkala. Terakhir, pengiriman rekomendasi pencopotan anggota kepada partai politik asal jika diketahui secara berturut-turut tidak kunjung melaporkan hartanya. 

Kedua, KPK harus memastikan penjatuhan sanksi yang diberikan oleh MKD kepada anggota yang mengabaikan LHKPN. Hal ini penting karena, sebagai pengampu LHKPN, KPK baru menjalankan fungsi pengumpulan laporan harta dan mengumumkan anggota yang terlambat atau tidak melaporkan. Sedangkan fungsi monitoring penjatuhan sanksi praktis tak pernah dilakukan. 

Seharusnya, tindakan mengumumkan dapat ditindaklanjuti dengan menyurati MKD dan memberi tenggat untuk penjatuhan sanksi. Lalu, bila tidak ditindaklanjuti, KPK harus melaporkan tindakan pengabaian MKD tersebut kepada Ketua DPR. Jadi, KPK bukan hanya aktif meminta anggota melapor, tapi juga mensupervisi tindakan yang dijatuhkan kepada pelanggar. 

Dengan kondisi saat ini, komitmen antikorupsi legislatif tak lebih dari bualan belaka. Sebagai wakil rakyat yang mengikrarkan sumpah jabatan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, tindakan mengabaikan LHKPN jelas merupakan bentuk pengingkaran. Padahal transparansi dan akuntabilitas adalah syarat utama untuk dapat dipercaya masyarakat. Bila sudah seperti ini, bukankah seharusnya mereka malu? Atau, memang sudah tidak memiliki rasa malu?

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Kurnia Ramadhana

Kurnia Ramadhana

Peneliti Indonesia Corruption Watch

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus