Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kereta api pertama di dunia, pada 1804, dibuat untuk bisa memuat dua ton bahan besi dan 70 tubuh manusia ukuran Eropa.
Ketika uap mulai dipakai untuk menggerakkan tubuhnya, kereta api bisa lari secepat 96 kilometer per jam, kini bisa melesat di atas 200 kilometer.
Kereta api adalah bagian optimisme modern.
“The future always comes too fast and in the wrong order.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
― Alvin Toffler, dalam Future Shock
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAKIN lama masa depan makin sering mengguncang kita.
Berpuluh tahun lamanya generasi saya dibesarkan dengan kereta api “Tut, Tut, Tut” yang dinyanyikan anak-anak dengan irama “naik-delman-di-hari-minggu”. Berpuluh tahun lamanya kami kenal kereta api sebagai wadah yang penuh sesak tak hanya oleh penumpang, tapi juga para penjaja rokok dan penjual telur asin. Sekitar 45% pembeli karcis tak dapat kursi—gerah, panas, pengap. Dalam perjalanan jauh, tidur di kereta api adalah berbaring di lantai wagon yang tak pernah dipel. Tak jarang penumpang yang gigih atau putus asa menerobos naik melalui jendela toilet dan bau kencing. Atau mereka menumpuk diri, seperti onggokan kopra, di atap gerbong.
Kita tahu, kereta api bukan disiapkan untuk kekacauan seperti itu. Tapi ia berubah, karena dunia di luar berubah: demografi, ekonomi, politik, dan ketidakpastian di sepanjang jalan.
Maka mereka yang lahir sebelum Indonesia merdeka, dan di tahun 2022 ini berada dalam gerbong MRT di Jakarta, akan merasa duduk dalam mesin waktu yang bergerak mengunjungi sebuah negeri asing: tertib, terang, tepat waktu.
Lokomotif dan wagon memang bagian sejarah sosial: riwayat mobilitas orang ramai, juga tentang kekuasaan yang ingin beroleh banyak.
Kereta api pertama di dunia, pada 1804, dibuat untuk bisa memuat dua ton bahan besi dan 70 tubuh manusia ukuran Eropa. Ketika uap mulai dipakai untuk menggerakkan tubuhnya, kereta api bisa lari secepat 96 kilometer per jam. Kini sepur supercepat melesat di atas 200 km.
Kereta api adalah bagian optimisme modern.
Tak mengherankan bila di masa permulaan ia disambut dengan antusiasme yang memancar-mancar, ditandai stasiun-stasiun megah di awal abad ke-20. Mereka merayakan perubahan zaman—dan jadi monumen yang abadi.
Grand Central Station di New York, misalnya. Dibangun pada 1913, terminal ini bak kastil besar seluas 19 hektare di pusat kota modern, dengan 44 peron yang menampung 63 jalur. Interiornya—dari langit-langit sampai lantai kakus—didesain dalam gaya Beaux-Arts. Ruang utama terbentang luas, dengan façade berornamen dan berpatung. Di sudut atas ada jam besar empat muka seharga 20 juta dolar.
Di Jakarta, stasiun yang kini dikenal sebagai “Stasiun Kota” tak semegah itu. Peronnya hanya enam, jalurnya 12. Tapi ia karya arsitektur yang sejak direnovasi pada 1926 selalu mempesona. Para arsitek yang mendesainnya, dari Algemeen Ingenieurs-en-Architectenbureau (AIA), memilih corak Art Deco—gaya arsitektural yang baru setahun sebelumnya tampak dalam pameran internasional seni dekoratif modern di Paris. Di masa itu, Art Deco ingin menampilkan wajah memikat dunia mesin—ekspresi keyakinan akan kemajuan sosial dan teknologi.
Agaknya Stasiun Kota, dengan Art Deconya, ingin mengungkapkan semangat internasionalisme (dan kapitalisme) yang tak mau ketinggalan. Seperti kemudian MRT, ia melanjutkan kegemuruhan sebelumnya.
Setidaknya yang terungkap dalam Syair Jalanan Kreta Api Tan Teng Kie dari tahun 1890. Teksnya saya temukan dalam antologi Kesusastraan Melayu Tionghoa yang diberi pengantar yang sangat informatif oleh Myra Sidharta. Dalam lebih dari 100 bait, syair panjang ini menempatkan diri sebagai saksi mata pembangunan jalur kereta api antara Cikarang dan Kebun Gede; beberapa kali penggubahnya menyatakan “hamba berjalan” dan “hamba melihat”.
Ia bukan karya sastra yang ekspresif; ia hanya informatif. Bentuk syair—dengan jumlah suku kata yang nyaris berulang dari bait ke bait—pas diadaptasi buat membuat deskripsi yang lugas, datar, tentang fakta yang tak dramatis. Berasal dari bentuk sastra Melayu lama, karya Tan Teng Kie—yang di sana-sini mirip pantun—berubah jadi sesuatu yang baru: jurnalisme.
Tapi ia bukan suara netral. Syair ini bertepuk tangan buat modernitas: menyambut kepastian, kerapian organisasi, jelasnya pembagian tugas, dan kerja yang produktif. Jika ia menyebut kebun-kebun yang digusur, sawah yang diuruk, rawa-rawa yang dikeringkan, dan kuli yang mati (seperti “kelanggar salat di setan hantu”), ia tak menangisi yang hilang. Destruksi itu disikapi sebagai investasi. Kereta api menggembirakan tuan tanah di Cikarang, tulisnya: beras hasil panen jadi lebih “mudah milirnya” ketimbang dibawa angkutan sungai:
Dulu beras muwat di sampan
Muwat sarat perahunya papan
Siyang dan malam buwat harapan
Boleh sampe kutika kapan
Syair Tan Teng Kie—yang diterbitkan Regina Olsen di Jakarta dan diperiksa “Tuwan editor Regenburg”—tentu bukan sastra protes. Ia lebih berpihak kepada pejabat maskapai Belanda, tuan tanah, para annemer dan opzinder. Nasib kuli, yang di sana-sini cacat atau tewas oleh kecelakaan kerja, lebih dilihat sebagai akibat keteledoran (“Pikiran banyak yang tiyada tentu”).
Meski demikian, di Hindia Belanda yang dipisah-pisahkan klasifikasi rasial, Tan Teng Kie bisa membebaskan diri dari stereotip etnis yang lazim. Ia tak menyebut “inlander” yang malas; ia memuji Kondektur Rabi’un dan Rahman yang rajin.
Dalam hal itu, tanpa dikejutkan masa depan, ia berada di dalamnya. Bersama kereta api dan sejarah sosial, ia bergerak maju.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo