Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKITAR setahun yang lalu, tatkala Herbert Feith dari Universitas Monash menawarkan apakah saya mau menjadi peneliti tamu selama tiga bulan di universitasnya, saya menyatakan bersedia. Salah satu yang dimintanya adalah agar saya mengorganisasikan sebuah konperensi tentang Indonesia. Hasilnya: sebuah konperensi yang berlangsung pada 25, 26, dan 27 November yang lalu di Melbourne, Australia. Hadir sekitar 150 orang, yang datang dari berbagai universitas di Australia dan Indonesia. Antara lain David Reeve, Herbert Feith, Jamie Mckie Michael van Langenberg, Harold Crouch, Yap Thiam Hien, Ignas Kleden, dan Bambang Pranowo. Judul konperensi adalah "Negara dan Masyarakat Sipil di Indonesia Dewasa Ini". Topik konperensi ini pada dasarnya berkisar pada dua tema pokok yang kait-mengait, yakni perubahan-perubahan yang teriadi di Indonesia dan sifat atau bentuk dari negara yang ada sekarang. Topik yang kedua ada hubungannya dengan terjadinya perubahan-perubahan di beberapa negara Dunia Ketiga, seperti Filipina, Korea Selatan, Burma, Pakistan, Brasil, dan Cili. Negara-negara ini mengalami krisis dari sistem politiknya yang otoriter, dan kini sedang mengalami peralihan. Tapi di Indonesia, segalanya berjalan secara relatif tenang. Karena itu, menarik untuk bertanya, apa kekhususan sistem politik di Indonesia, yang membedakannya dengan negara-negara Dunia Ketiga lainnya. Perubahan memang terjadi di Indonesia. Turunnya harga minyak di pasar dunia merupakan satu pukulan yang berat bagi perekonomian kita. Pada waktu peran minyak masih sangat penting (tahun 1981-82, misalnya, 70,6% pendapatan nasional datang dari migas), di Indonesia terbentuk suatu struktur ekonomi dan struktur politik yang hanya bisa berfungsi dalam kondisi tersebut. Struktur ekonomi tersebut adalah ekonomi rente. Di sini terjadi monopoli di bidang tata niaga sektor-sektor ekonomi tertentu, yang mengakibatkan terjadinya ongkos produksi yang tinggi. Struktur ekonomi seperti ini jelas tidak bisa bertahan pada jaman pascaminyak, karena akan memacetkan ekspor. Dalam keadaan seperti inilah tekanan untuk melakukan deregulasi dan debirokratisasi mendapatkan momentumnya. Struktur ekonomi rente ini berkaitan erat dengan struktur politik yang ada, karena yang memungut rente adalah pejabat-pejabat negara, sebagai imbalan terhadap pelayanan yang diberikan. Pemberian fasitas negara kepada keluarga para pejabat juga merupakan penjelmaan dari sistem ini. Struktur politik rente ini juga tidak bisa bertahan karena perubahan keadaan. Tapi, berbeda dengan perubahan-perubahan yang terjadi di bidang ekonomi, perubahan di bidang politik hanya tampak secara samar-samar, seakan-akan masih malu-malu. Di bidang ekonomi kita mengenal Paket November atau Pakno, yang cukup berarti dalam proses restrukturisasi di bidang ekonomi, hal yang setara di bidang politik belum kelihatan. Keadaan seperti ini membuat saya menyimpulkan bahwa proses demokratisasi merupakan hal yang paling penting bagi Indonesia. Bicara tentang demokratisasi, kita harus bicara tentang hubungan negara dan masyarakat sipil. Negara yang terlalu kuat akan melumpuhkan daya kreatif masyarakat sipil, yang pada gilirannya akan menghambat proses pembangunan negara tersebut, di bidang ekonomi maupun politik, kebudayaan, dan lainnya. Sebaliknya, negara yang terlalu lemah akan menimbulkan anarki. Keseimbangan antara keduanya merupakan model yang dicari oleh banyak pemikir tentang negara dan masyarakat di Dunia Ketiga. Dengan demikian, konperensi ini bicara tentang negara di satu pihak, dan masyarakat sipil di lain pihak. Topik negara yang dibicarakan adalah bagaimana negara mengendalikan masyarakat sipil melalui ideologi, melalui organisasi politik seperti Golkar, dan melalui kekuatan polisi dan militer. Sedangkan pada aspek masyarakat sipil, dibicarakan masalah hukum, bisnis, LSM atau NGO, pandangan kelompok Islam dan intelektual tentang negara dan proses demokratisasi, persepsi kebudayaan Jawa terhadap kekuasaan, dan persepsi kekuasaan negara seperti diekspresikan dalam teater tradisional dan modern di Indonesia. Juga dibicarakan proses sosial-politik yang terjadi di daerah. Supaya pembicaraan tidak terbatas hanya pada data-data empiris, beberapa orang diminta berbicara tentang aspek-aspek teoretis dari negara dan masyarakat. Di sini dibahas masalah arti dan tujuan yang lebih besar dari konperensi ini, teori negara rente, aspek internasional, dan aspek gender dari negara. Apa yang disimpulkan oleh konperensi ini? Kesimpulan yang menyeluruh memang tidak ada, bukan saja karena panitia memang tidak berusaha untuk mencapai hal ini, tapi juga karena memang hal ini sulit diperoleh. Barangkali, semacam kesan umum (atau paling sedikit kesan saya) yang dapat diungkapkan, setelah dua setengah hari berkonperensi. Negara yang ada di Indonesia sekarang memang merupakan negara kuat yang mendominasi masyarakat sipil. Dominasi ini dilakukan pada taraf ideologi, organisasi politik, maupun pengendalian melalui aparat polisi/militer. Tapi dominasi ini dalam kenyataannya tidaklah berjalan secara mulus. Macam-macam "perlawanan" untuk mempertahankan kemandirian dari masyarakat sipil dilakukan, dalam bentuk yang simbolistis (seperti yang diekspresikan dalam teater-teater tradisional dan modern) maupun dalam tindakan-tindakan nyata tapi tidak langsung. Kurang efektifnya kerja para birokrat negara juga menambah keluasan ruang gerak masyarakat sipil. Bahkan ada kesan, kemerdekaan sipil yang ada di Indonesia barangkali jauh lebih besar daripada Malaysia, dan terutama di Singapura. Proses demokratisasi tampaknya masih sulit dibayangkan akan terjadi dalam waktu yang dekat. Ini disebabkan karena lemahnya lembaga-lembaga yang ada di masyarakat sipil. Yang terjadi sekarang adalah proses liberalisasi. Di sini peran negara mulai berkurang atau dikurangi. Proses ini terjadi bukan karena desakan yang datang dari masyarakat sipil, tapi terutama karena krisis yang terjadi di bidang ekonomi. Tentu saja liberalisasi yang terjadi di bidang ekonomi ini sedikit banyak akan merambat ke bidang politik. Tapi bentuknya memang masih belum jelas. Ada baiknya catatan ini ditutup dengan ucapan Yap Thiam Hien, yang menjadi bintang konperensi ini karena pernyataan-pernyataannya yang menggugah. Indonesia sekarang, menurut Pak Yap, tidak melihat masalah yang dihadapinya dengan perspektif cinta. Semua orang sibuk mencari resep untuk menyembuhkan sang pasien, tapi lupa memperhatikan penderitaan si pasien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo