Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Reshuffle untuk Rakyat

18 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULA-MULA harus kita katakan: kocok ulangkabinet merupakan hak prerogatif presiden. Partai politik, wakil presiden, atau kelompok masyarakat mana pun boleh saja mengusulkan penggantian menteri, tapi keputusan akhir ada di tangan kepala negara. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka bertanggung jawab kepada rakyat.Presiden berkuasa penuh atas penyusunan kabinet—kumpulan menteri yang di tingkat teknismenjalankan penyelenggaraan pemerintahan.

Permintaan—jika tak bisa dikatakan tuntutan—perombakan kabinetakhir-akhir ini marak terdengar. Presiden Joko Widodo memang pernah menjanjikan penggantian menteri sebelum setahun usia pemerintahannya. Menurut dia, periode kekuasaan lima tahunbukan waktu yang panjang. Ia berjanji sesegera mungkin mengevaluasi menteri yang ia nilai tak cakap bekerja.

Yang nyaring terdengar adalah desakan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai utama pendukung Jokowi. Mereka mengkritik sejumlah menteri,terutama yang "melekat" dengan Presiden dalam kegiatan sehari-hari. Pejabat yang dimaksud adalah Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto dan Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Pandjaitan. Keduanya dianggap menjauhkan Presiden dari partai. Di luar itu, ada pula Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Mariani Soemarno. Yang terakhir ini dipersoalkan lebih karenahubungan buruknya dengan Ketua Umum PDIP ketimbang kinerja di kementerian.

Di luar PDIP, ada pula partai nonkoalisi yang berniat bergabung. Partai Amanat Nasional, yang dalam Pemilihan Umum 2014 menyokong Prabowo Subianto, beringsut merapat untuk mendukung pemerintah. Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golkar—dua partai penunjang Prabowo—juga mendekat setelah didera konflik internal.Ada pula desakan darirelawan, kelompok nonpartai yang dalam pemilu lalu juga mendukung Jokowi. Dalam beberapa kesempatan, politikus partai bersekutu denganrelawan untuk mendesakkan reshuffle.

Tak sekadar meminta kursi menteri, para pengusul reshuffle juga meneriakkan ancaman—secara langsung atau tersamar. Satu yang terpenting adalah perihal stabilitas pemerintahan.Dengan memasukkan kadernya di kabinet, partai menjadi pendukung pemerintah. Sebaliknya, jika tidak, mereka akan menjadi "pengusik" di DPR. Di atas kertas, semakin banyak partai masuk kabinet, semakin berkurang tekanan badan legislatif terhadap eksekutif.

Lebih dari sekadar berupaya menyenangkan partai politik, reshuffle hendaknya bertolak dari hasrat memperbaiki kinerja pemerintah. Data pada kuartal pertama 2015 dengan jelas menunjukkankibang-kibutnya ekonomi nasional: kurs melorot, tingkat konsumsi pelbagai produk anjlok, pertumbuhan tergelincir hingga di bawah lima persen. Memang ada persoalanlambatnya pencairan anggaran akibat kisruh DPR dan pemerintah dalam penerapananggaran dan belanja negara—sesuatu yang bukan semata kesalahan pemerintah. Tapi enam bulan pertama pemerintahan menunjukkanburuknya kinerja pemerintah, terutama dalam hal koordinasi antarmenteri.

Kocok ulang menteri hendaknya juga dibarengi dengan perbaikan kebijakan. Beleid yang tak realistis sudah selayaknya ditinjau ulang, misalnya penetapan target pajak tanpa mempertimbangkan kemampuan Direktorat Jenderal Pajak melaksanakan tugasnya.

Sektor hukum dan politik sepatutnya juga dievaluasi. Dua sektor terakhir ini sama pentingnya dengan sektor ekonomi: yang satu mempengaruhi yang lain. Buang jauh-jauh pikiran bahwa ekonomi adalah panglima dan sektor lain cuma pendukung. Hukum yang tak tegak akan merisaukan masyarakat betapapun perut rakyat kenyang.

Mempertimbangkan partai dalam reshuffle tentu tak ada salahnya meski hendaknyabukan yang utama. Jokowi memang diantar oleh partai politik untuk meraih kursi presiden. Tapi, lewat pemilihan langsung, ia dipilih oleh70,99 juta orang—jauh lebih besar daripada suara yang diperoleh partai mana pun dalam pemilu legislatif. Kisruh penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Kepolisian RI menunjukkan gertak partai tak selamanya menjadi kenyataan.

Sebagai pemimpin yang dipilih langsung oleh orang banyak, selayaknya Jokowi tak ragu mengambil keputusan. Ia tak boleh mengabaikan publik hanya untuk menjaga "harmoni" dengan partai politik. Jokowi bertanggung jawab atas keselamatan Republik.Kocok ulang kabinet adalah perangkatyang sebaik-baiknya harus dipergunakan Presiden untuk memperbaiki kehidupan rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus