Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cara pemerintah merespons kemelut Partai Demokrat menunjukkan rendahnya komitmen dalam merawat demokrasi. Pernyataan anggota kabinet Joko Widodo bahkan mengindikasikan pemberian restu pada gejolak yang memunculkan dualisme kepemimpinan di partai bentukan Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal reformasi, partai politik memang gampang terpecah-pecah. Partai-partai baru dibentuk sebagian besar berbasis ketokohan. Sejumlah partai dikelola layaknya perusahaan keluarga, termasuk yang terlihat pada Partai Demokrat. Betapa pun tak ideal sistem kepartaian itu, pemerintah tidak sepatutnya memperburuk situasi dengan mengkooptasi partai yang berseberangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sulit menepis penilaian bahwa pemerintah terlibat dalam perpecahan Partai Demokrat. Indikasi paling jelas, tentu saja, posisi Moeldoko yang merupakan bagian dari lingkaran terdekat Presiden Joko Widodo. Kepala Staf Kepresidenan ini sejak semula mendatangi pertemuan dengan para anggota dan mantan anggota Partai Demokrat untuk melengserkan Agus Harimurti Yudhoyono. Ia pun tanpa sungkan menerima jabatan ketua umum dari forum di Deli Serdang, Sumatera Utara, pada Jumat pekan lalu, yang disebut sebagai kongres luar biasa itu.
Indikasi berikutnya adalah pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md., yang menyamakan kemelut Partai Demokrat dengan konflik Partai Kebangkitan Bangsa pada masa kepresidenan Yudhoyono. Alasan ini keliru dan dipaksakan. Sebab, ada perbedaan besar di antara dua konflik politik itu. Perpecahan PKB pada 2008 melibatkan hanya politikus di lingkup internal. Sedangkan pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat dilakukan oleh pejabat pemerintahan.
Penilaian itu hanya bisa ditepis jika pemerintah tak mengakui kepengurusan hasil pertemuan di Deli Serdang. Sesuai dengan aturan, setiap pergantian kepengurusan dan anggaran dasar partai harus disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Menteri Hukum Yasonna Laoly, yang berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, akan menjadi penentu kelanjutan kemelut di Partai Demokrat.
Pemerintahan Jokowi semestinya menyadari bahwa publik memerlukan partai politik yang independen. Partai ini bisa saja berposisi di luar, mengontrol jalannya pemerintahan. Adalah tanggung jawab pemerintah untuk memperkuat demokrasi yang berlandaskan perbedaan atau pluralisme.
Kooptasi Partai Demokrat akan membuat kekuasaan terpusat ke tangan pemerintah, menyisakan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional sebagai oposisi. Jika hal itu terjadi, eksekutif akan didukung oleh 83 persen suara di Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan komposisi seperti itu, apa pun rencana kebijakan yang kelak diajukan pemerintahan Jokowi akan dengan mulus disetujui parlemen.
Kekuasaan pemerintahan Jokowi akan semakin tak terkontrol. Ironi pemimpin yang dihasilkan melalui proses demokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo