Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Retno Listyarti, seorang guru SMA di Jakarta, menulis buku kompetensi pelajaran kewarganegaraan untuk memenuhi Kurikulum 2004. Salah satu bab di buku itu mengupas soal korupsi. Contoh yang dipakai adalah kasus Akbar Tandjung dalam perkara Bulog. Dalam kasus ini, Akbar Tandjung akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Ternyata buku pelajaran untuk SMA kelas II ini menggerahkan Akbar Tandjung. Lewat pengacaranya, Akbar kemudian mensomasi Retno.
Ini kasus menarik karena baru pertama kali terjadi. Jikapun penyelesaian damai di luar pengadilan tidak disepakati, bergulirnya kasus ini ke meja hijau menjadi peringatan masih kuatnya budaya represi di republik ini kendati era reformasi telah bergulir tujuh tahun. Nasib buku ini pun menjadi penting karena tidak semata sebagai pelajaran murid SMA, tetapi juga menjadi ”pelajaran bersama” bagaimana kebebasan akademis dikaitkan dengan masalah hukum, etika, dan pencemaran nama baik.
Retno mengaku kebebasannya mengajar dipermasalahkan dengan adanya somasi itu. Ia mengaku tidak gentar. Dalam buku itu Retno menulis soal The Political Observer; ”Dissenting Opinion” Abdul Rahman Saleh: MA Tidak Boleh Lupakan Perasaan Keadilan. Ia memaparkan soal dissenting opinion yang dilakukan Abdul Rahman Saleh—kini Jaksa Agung—saat memutus kasus dugaan korupsi senilai Rp 40 miliar yang melibatkan Akbar. Pada akhir bab tersebut, Retno mengajukan pertanyaan, ”Seandainya Akbar Tandjung memang bersalah seperti vonis pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, apa pendapatmu mengenai putusan bebas MA? Apakah putusan itu telah memenuhi rasa keadilan masyarakat?”
Alasan Retno hanya mengutip dissenting opinion adalah agar siswa berpikir kritis dan belajar menjadi pengamat politik. Kurikulum 2004 memang memberikan konsep pengajaran yang lebih maju daripada kurikulum sebelumnya, karena merangsang siswa melakukan diskusi dan mengasah wawasan.
Sebaliknya Akbar Tandjung mengaku sewot karena merasa diperlakukan tidak adil: informasi di dalam buku itu dianggapnya tidak imbang, yakni hanya membeberkan bagian yang menyalahkan Akbar. Pendapat empat hakim lainnya yang menyetujui pembebasannya tidak dikutip, bahkan keputusan mahkamah yang membebaskannya pun tidak disertakan. Akbar berpendapat siswa SMA sulit berpikir kritis kalau data yang mereka dapatkan hanya sepihak. Apalagi siswa yang tidak mengikuti kasus ini—dan itu pasti banyak karena contoh kasusnya sudah lama—akan tergiring untuk berkesimpulan Akbar bersalah.
Merasa nama baiknya dicemarkan, Akbar membawa perkara ini ke jalur hukum dengan menggugat Retno. Kini pengadilan yang harus memutuskan mana yang lebih penting bagi kemaslahatan publik: menjaga nama baik seorang mantan pejabat publik atau melindungi kebebasan akademis di dunia pendidikan?
Majalah ini berpendapat tindakan Akbar menggugat ke pengadilan dengan meminta ganti rugi Rp 10 miliar sungguh tak elok, kendati memang haknya. Bila mantan Ketua DPR ini betul-betul berjiwa demokrat, ia sepatutnya menantang Retno melakukan debat terbuka di depan murid-murid SMA dan bukan mengadu ke pengadilan. Risalah debat itu lantas dijadikan tambahan di buku Retno edisi berikutnya. Dengan demikian, Akbar memperoleh tempat untuk menyampaikan pandangannya, sementara Retno mendapatkan kesempatan untuk merangsang daya kritis para pembaca bukunya. Bukankah ini bentuk keadilan yang lebih prima?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo