Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENERIMAAN pajak pada kuartal pertama tahun ini, yang lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu, seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk bangun dari mimpi bermewah-mewahan. Tanpa pengendalian belanja sejak sekarang, negara berisiko makin tertimbun oleh tumpukan utang yang terus bertambah setiap tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penurunan penerimaan dari sektor pajak menandakan betapa rapuhnya struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pada tiga bulan pertama 2024, penerimaan pajak baru Rp 393,9 triliun, turun 8,8 persen dari penerimaan pajak pada kuartal pertama 2023 yang sebesar Rp 431,9 triliun. Penurunan ini dipicu oleh penurunan harga komoditas sejak tahun lalu—situasi yang seharusnya diantisipasi dengan hati-hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, pemerintah terus menunjukkan mentalitas OKB alias orang kaya baru yang gemar berbelanja secara berlebihan setiap kali mendapat rezeki nomplok. Lihatlah kondisi dua tahun terakhir, ketika belanja negara terus membengkak begitu penerimaan pajak melampaui target.
Pada 2022, dari target Rp 1.485 triliun, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 1.716,8 triliun. Setahun kemudian, realisasi penerimaan kembali melampaui target, yaitu Rp 1.718 triliun sampai Rp 1.859,2 triliun. Kinerja positif dalam dua tahun tersebut didukung oleh booming harga komoditas ekspor, seperti batu bara, nikel, dan sawit.
Ketika mendapat rezeki nomplok, pemerintah dengan percaya diri meningkatkan target belanja negara dari Rp 2.714 triliun pada 2022 menjadi Rp 3.061 triliun pada 2023. Tahun lalu, realisasinya bahkan lebih besar, yaitu Rp 3.121,9 triliun. Pada tahun ini, pemerintah kembali meningkatkan alokasi belanja menjadi sebesar Rp 3.325,1 triliun.
Seperti siklus roda yang berputar, pemerintah seharusnya menyadari bahwa penerimaan negara tidak akan selalu berada di puncak. Durian runtuh berkat lonjakan harga komoditas tidak akan berulang dalam waktu lama. Apalagi dengan pelemahan nilai tukar rupiah yang sejak pertengahan bulan lalu bergerak di atas 16 ribu per dolar Amerika Serikat. Harga minyak juga sudah mencapai US$ 88 per barel.
Di samping itu, tingkat inflasi terus merambat naik hingga saat ini mencapai 3,05 persen—melampaui target pemerintah sebesar 2,8 persen. Di dalam negeri, daya beli masyarakat pun belum pulih dari imbas harga komoditas pangan yang tinggi.
Berbagai asumsi makro yang ditetapkan pemerintah dalam APBN 2024 akhirnya banyak yang tak tercapai. Mau tidak mau, pemerintah harus mengubah arah kebijakan APBN selagi masih ada kesempatan. Pemerintah dan DPR perlu segera merancang APBN Perubahan dengan menghapus pos-pos belanja yang tidak perlu dan tak pantas menjadi prioritas, terutama pada belanja infrastruktur yang mencapai Rp 422,7 triliun.
Memang pada pos infrastruktur ada beberapa proyek penting yang layak dilanjutkan, seperti pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan, pengembangan jalur kereta api, atau pembangunan jalan raya. Namun banyak juga pos belanja yang terlalu mewah untuk dilakukan di tengah kondisi perekonomian yang sulit, seperti pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara dan stadion sepak bola.
Pemangkasan belanja juga bisa dilakukan dengan mengurangi subsidi dan anggaran perlindungan sosial yang tidak tepat sasaran. Pada akhir masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo seharusnya tak perlu memaksa Menteri Keuangan Sri Mulyani terus menguras kas negara demi membiayai program populis yang tidak produktif.
Dengan penerimaan negara yang tak mencapai target, pemerintah seharusnya bergerak cepat mengubah beberapa skema subsidi yang selama ini membebani anggaran dan tidak tepat sasaran, seperti subsidi bahan bakar minyak dan elpiji. Jangan sampai, demi menjaga popularitas, pemerintah terus menumpuk utang untuk menambal defisit anggaran.
Berhemat adalah satu-satunya cara yang masuk akal saat ini. Upaya meningkatkan penerimaan negara melalui pos pajak baru berisiko memicu gejolak. Ingat, beban pengeluaran masyarakat saat ini makin besar akibat inflasi. Ditambah lagi, Bank Indonesia baru saja menaikkan suku bunga yang membuat biaya cicilan utang masyarakat makin berat. Sangat tidak elok menyeret rakyat untuk ikut membiayai kekeliruan pemerintah dalam menentukan prioritas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo