Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Risiko Bank Setelah Restrukturisasi Kredit Usai

Penghentian program restrukturisasi kredit menimbulkan sejumlah risiko bagi bank. Bagaimana upaya mitigasinya?

8 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghentikan program restrukturisasi kredit perbankan per 1 April lalu. Penghentian program ini akan menimbulkan sejumlah risiko terhadap bank. Meski begitu, ada sejumlah alternatif solusi untuk menekan risiko tersebut.

Restrukturisasi kredit merupakan upaya perbaikan oleh bank kepada debitor yang sedang mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya. Sejatinya, program restrukturisasi kredit diakhiri pada April dua tahun lalu. Namun OJK memperpanjang program ini sampai dua kali, yakni hingga 31 Maret 2023 dan 31 Maret 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Upaya restrukturisasi kredit itu dilakukan, antara lain, melalui penurunan suku bunga, perpanjangan tenor, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas kredit, serta konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara. Meski membantu debitor, bagi bank, restrukturisasi kredit dapat mendorong risiko kenaikan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama ini, dalam perbankan dikenal kualitas kredit berdasarkan penilaian prospek usaha, kinerja debitor, dan kemampuan membayar. Terdapat lima kualitas kredit. Pertama, kredit lancar atau kolektibilitas 1 (dengan cadangan minimal satu persen dari aktiva). Lalu kredit dalam perhatian khusus atau kolektibilitas 2 (minimal 5 persen dari aktiva setelah dikurangi nilai agunan). Kemudian kredit kurang lancar atau kolektibilitas 3 (minimal 15 persen dari aktiva setelah dikurangi nilai agunan).

Berikutnya, kredit diragukan atau kolektibilitas 4 (minimal 50 persen dari aktiva setelah dikurangi nilai agunan) serta kredit macet atau kolektibilitas 5 (minimal 100 persen dari aktiva setelah dikurangi nilai agunan). Kolektibilitas kredit yang masuk kategori 3, 4, dan 5 sudah bisa dianggap sebagai NPL.

Lalu, sejauh mana jumlah kredit restrukturisasi sebagai dampak pandemi Covid-19? Data OJK menunjukkan bahwa jumlah kredit restrukturisasi sebetulnya terus menurun, dari Rp 251,21 triliun per Januari 2024 menjadi Rp 242,80 triliun per Februari 2024.

Namun, sekalipun jumlah kredit restrukturisasi terus menipis, sudah barang tentu hal itu menjadi indikator potensi risiko bagi industri perbankan pasca-restrukturisasi kredit. Sederhananya, penghentian restrukturisasi kredit, besar ataupun kecil, berisiko menaikkan NPL.

Saat ini, NPL net (sudah termasuk cadangan) naik dari 0,79 persen per Januari 2024 menjadi 0,82 persen per Februari 2024. Sementara itu, NPL gross (belum termasuk cadangan) tampak tetap di level 2,35 persen per Februari 2024, jauh di bawah ambang batas aman 5 persen.

Ancaman kenaikan NPL itu akan berujung pada kenaikan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). CKPN adalah penyisihan yang dibentuk apabila nilai tercatat aset keuangan setelah penurunan nilai kurang dari nilai tercatat awal. CKPN berfungsi sebagai cadangan kerugian atas kemungkinan terjadinya kenaikan kredit bermasalah.

Celakanya, kenaikan cadangan pun bisa menggerus modal. Apalagi potensi risiko likuiditas ke depan masih belum akan lenyap. Katakanlah, ketika suku bunga acuan bank sentral AS ternyata belum akan turun pada kuartal II-2024 dari saat ini 5,5 persen. Akibatnya, suku bunga acuan BI juga akan tetap bertahan tinggi di atas 6 persen sejak Oktober 2023. Hal itu dapat mendorong kenaikan suku bunga kredit mengingat biaya dana (cost of fund) yang lebih tinggi.

Padahal modal merupakan bantalan yang melindungi aneka potensi risiko yang melekat pada bisnis suatu institusi. Risiko tersebut akan mempengaruhi keamanan dana deposito, kredit yang dikucurkan, dan institusi yang bersangkutan. Modal juga bertujuan memberikan kepercayaan kepada deposan, pemberi pinjaman, dan pemangku kepentingan (Michel Crouhy, Dan Galai & Robert Mark, 2000).

Solusi untuk Bank

Dengan berbagai risiko itu, bank wajib terus mengerek modal. Hal ini bermanfaat untuk mampu menepis risiko kredit, pasar, operasional, dan likuiditas. Tapi upaya itu sulit dilakukan jika likuiditas kian mengental. Tengok saja, kini beberapa bank digital tengah bersaing meraih dana pihak ketiga dengan menawarkan suku bunga deposito hingga 9 persen.

Bank Jago, misalnya, menawarkan suku bunga deposito 5 persen (belakangan diturunkan menjadi 4,5 persen), Allo Bank 4-6 persen, SeaBank 6 persen Superbank 6 persen, Bank Neo Commerce 8 persen, Bank Saqu 4-8 persen, Krom Bank 8,75 persen, serta Bank Amar 5,5 persen (tabungan) dan 9 persen (deposito).

Sementara itu, untuk mencegah kenaikan cadangan, bank wajib berupaya keras agar kualitas kredit tidak turun kelas dari kolektibilitas 2 (kredit dalam perhatian khusus) menjadi kolektibilitas 3 (kredit kurang lancar).

Bagaimana kiatnya? Sudah barang tentu bank wajib meneliti ulang nilai agunan dan jika perlu memblokirnya. Agunan bisa berupa surat berharga, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), surat utang negara (SUN), properti (tanah dan bangunan), giro, tabungan, dan deposito.

Ketika debitor makin terpuruk pasca-restrukturisasi kredit, bank dapat pula berperan menjadi penasihat keuangan (financial advisor). Hal itu bertujuan mempertahankan kualitas kredit debitor.

Penasihat keuangan dapat me-review prospek usaha. Hal itu meliputi potensi pertumbuhan usaha, kondisi pasar, posisi debitor dalam persaingan, kualitas manajemen dan masalah tenaga kerja, serta dukungan dari grup dan upaya debitor dalam menjaga lingkungan hidup.

Selain itu, bank perlu melakukan stress test sebagai upaya taktis. Tujuannya untuk menakar kemampuan modal bank dalam menyerap potensi risiko di tengah kenaikan ketidakpastian ekonomi global. Misalnya, risiko rantai pasok global dan geopolitik akibat perang Rusia versus Ukraina dan Israel versus Hamas.

Dengan aneka alternatif solusi demikian, bank diharapkan akan mampu menekan NPL serendah mungkin. Walhasil, bisnis perbankan pun tetap gemerincing.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Paul Sutaryono

Paul Sutaryono

Assistant Vice President BNI (2005-2009)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus