Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada yang bertanya mengapa Malin Kundang pulang. Setelah mengembara bertahun-tahun, setelah memperoleh banyak dalam hidup, apa yang hendak didapatkannya di sisa masa lalu? Ia bahkan tak mengakui (atau mungkin tak mengenali) ibunya di dusun pantai itu. Ia dikutuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Legenda terkenal ini tak memberi jawab. Pulang tampaknya sebuah jurusan yang dianggap lumrah dalam cerita manusia, bahkan dipujikan. Asal-usul punya auranya sendiri. Dalam bahasa Indonesia ada kata "tanah tumpah darah": dramatis, menyentuh, menambat hati. Seakan-akan ada tali pusar yang suci yang mempertautkan aku dan tanah inidan melepaskan diri adalah sebuah dosa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi tak semua berniat pulang, seperti dikatakan sebuah sajak terkenal H.R. Bandaharo. Tak semua, tak selalu, orang mau kembali bertaut dengan tempat kelahiran. Khususnya generasi yang datang kemudian, ketika zaman guncang dan, serentak dengan itu, bumi kian terbentang dan hal-hal yang semula tak dikenal bisa memberi arti.
Kesusastraan Indonesia merekam thema itu dengan menarik.
Pada umur 19 tahun, penyair Rivai Apin, yang lahir di Padang pada 1927, menulis sebuah sajak yang keras:
Tiada tahan
ke laut kembali, mengembara
cukup asal ada bintang di langit.
Aku ingin taufan gila…
Sajak pendek ini diakhiri dengan kesimpulan sengit tentang dunia yang hendak ditinggalkannya: "Apa di sini/ batu semua!"
"Batu": segala yang beku. "Di sini": tempat berdiri, sebuah asal. Rivai Apin tak menemukan damai dalam apa yang disebut "rumah".
Dua tahun kemudian, pada usia 21 tahun, di Jakarta, dalam kegentingan politik ketika pasukan Belanda mencoba mengembalikan peta kolonial lama di mana tak ada Indonesia, ia merasakan asing justru di tempat yang semestinya akrab dengan dirinya:
Di rumahku aku disambut oleh keakuanku yang belum sudah:
buku yang terbuka, yang belum dibaca dan buku yang harus aku sudahkan.
Tapi untuk itu aku sudah tinggalkan Bapa dan Abang.
Ia telah meninggalkan Bapa, Abang, masa lalu. Hari itu ia bimbang akan adakah masa depan. Tapi satu hal jelas: asal-usul tak lagi mempesona, tak lagi mengimbau atau menjawab persoalan hidupnya.
Dalam sebuah tulisan di bulan September 1948, Asrul Sani menggambarkan perasaan dan pikirannya di satu sudut Jakarta setelah sebuah pertempurandan bersama itu, kesimpulan untuk hidupnya.
Waktu itu malam amat baik. Bunyi bedil tidak lagi kedengaran. Kematian yang mengawang-awang di atas kepalaku... telah pergi.... Sunyi rasanya sesudah ingar-bingar yang begitu hebat. Teman-temanku telah keluar dari persembunyiannya.... Aku memandang sekeliling. Keluasan mengecilkan hati. Adakah tangkal yang diberikan ayahku untuk menghadapi keadaan ini? Ucapannya yang manakah yang mesti kupegang? Segala ucapannya yang baik tidak ada sedikit juga mempunyai hubungan dengan keadaanku.... Keadaan ini baru.
Akhirnya, baginya, "tidak ada peninggalan" apa pun. "Yang ada ialah titik mula". Revolusi adalah tahun nol. Aku, katanya, berada di saat antara "berakhirnya zaman lama yang tak sampai padaku" dan awal berdirinya "sebuah rumah baru".
Tiga tahun kemudian thema ini berulang:
Kampung halamanku akan pindah. Aku akan dirikan sebuah perumahan baru dan sepotong sejarah yang ada di belakangku tidak akan sampai kepada anakku yang akan lahir kelak. Rumah yang akan kuberikan ialah sejarah kehidupan….
Baginya, rumahnya dulu, tempat ia dibesarkan, "sudah sangat tua dan hampir mesum". Semuanya tak beralih, hanya meneguhkan apa yang statis. "Kain-kain pintu tebal dan jendela yang sempit menolak segala yang hendak masuk dan yang hendak keluar."
Yang diingatnya suasana yang represif.
Dalam rumah itu diam sebuah pendapat yang tiada mau tahu [dengan] pendapatku. Di segala sudut ada hukum-hukum hidup yang dibungkus dan diberi cadar....
Asrul Sani tak menampik ide "rumah" per se. Ia hanya menolak rumah lama yang mempertahankan tatanan yang mengekang. Ia ingin mendirikan rumah. Ia bahkan menyebut "anak" di masa depan. Ia memang bukan Rivai Apin yang menyukai "taufan gila". Ia bukan Chairil Anwar yang dalam salah satu sajak menyatakan hendak terbang, nonstop, memasuki gurun, tanpa ketemu apa pun, tanpa mendarat. Tapi, juga bagi Asrul, revolusi adalah sebuah kejadian ketika ruang yang sempit diterobos dan yang universal hadirdan aku berubah jadi pintu terbuka, menjangkau yang baru dan tak terduga.
Dengan kata lain: sebuah tualang yang lebih lepas ketimbang perjalanan Ulysses. Raja Ithaca ini meninggalkan istananya selama 20 tahun buat berperang dan 20 tahun untuk perjalanan kembali. Dalam bahasa Inggris, namanya, odyssey, disamaartikan dengan perjalanan panjang yang seru. Tapi sesungguhnya dongeng Yunani kuno yang diceritakan Homeros ini sebuah kisah pulang: setelah mengarungi samudra yang asing, Ulysses kembali ke istananya dan pelukan permaisurinya yang setia.
Ia, pada dasarnya, tak ingin bersama mereka yang bukan bagian dirinya. Di lautan, ia merasa terancam makhluk-makhluk yang ia anggap ganjil; ia menipu mereka dan melepaskan diri. Ulysses, untuk memakai kata-kata filosof Prancis Emmanuel Levinas, memilih "kenyamanan dengan apa yang Sama, tak hendak mengakui apa yang berbeda". Seluruh perjalanan hanyalah peristiwa egosentris: yang bukan-aku, yang lain, hanya kehadiran sekunder. Atau sesuatu yang harus ditaklukkan.
Dalam pandangan ini, pulangyang dalam legenda Malin Kundang merupakan langkah yang ethisjustru sesuatu yang negatif. Yang ethis bukanlah kembali ke dalam dunia sendiri. Yang ethis, sebagaimana diumpamakan Levinas, adalah pilihan Ibrahim. Nabi ini meninggalkan asal-usul; ia menyambut dunia dan manusia yang bukan sekadar konstruksi dirinya: Autrui, Yang-Lain.
Goenawan Mohamad