Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia*)
Beberapa hari sebelum saya dibaptis sebagai pendeta pada 2010, ada ritual yang jelimet di rumah tinggal saya. Rumah saya dinaikkan "statusnya" menjadi griya. Ini sebutan tempat tinggal yang dianggap suci, karena penghuninya tak lagi tergoda urusan duniawi. Begitulah formalnya.
Saya sempat bergurau: "Di Jakarta saya pernah tiga tahun tinggal di griya." Banyak orang tertawa dan ada yang menuduh saya "tak tahu aturan". Tapi saya ngotot: "Ya, betul, saya tinggal di Griya Wartawan Cipinang Muara." Orang menjadi maklum setelah saya jelaskan itu kompleks perumahan wartawan.
Griya atau kadang ditulis geriya memang untuk tempat tinggal para Brahmana, pendeta di kalangan umat Hindu. Banyak aturan yang dikenakan, baik untuk penghuninya maupun untuk tetamunya.
Dari mana istilah itu berasal? Orang langsung menyebut Sanskerta. Maklumlah, pendeta Hindu akrab dengan bahasa Sanskerta karena semua mantra pemujaan memakai bahasa itu. Sanskerta adalah bahasa Weda (Veda).
Dalam bahasa Sanskerta—kalau memang itu asal-usulnya—kata itu ditulis grhya dengan huruf "r" berisi titik di bawahnya. Bagi orang yang memahami Sanskerta, huruf "r" dengan titik di bawahnya dibaca "ri" sehingga grhya harus dibaca grihya. Namun orang Melayu yang tak mempelajari bahasa yang tak dipakai sebagai bahasa pergaulan itu lebih condong membaca dengan grahya, bahkan graha.
Ada Kamus Sanskerta-Indonesia karangan Dr Purwadi dan Eko Priyo Purnomo (keduanya pengajar di UGM Yogya) yang menyebutkan ada kata griya dalam bahasa Sanskerta yang berarti: rumah, wisma. Namun kamus ini dalam kata pengantarnya sudah merancukan bahasa Sanskerta dengan bahasa Kawi (Jawa Kuno), seolah-olah kedua bahasa itu sama.
Dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia susunan L. Mardiwarsito ditemukan kata grha (juga dengan huruf "r" memakai titik di bawahnya) dan diberi arti rumah. Grha (Jawa Kuno versi Mardiwarsito) ini lebih mirip dengan grhya (Sanskerta). Tapi grhya tidak berarti rumah, melainkan suatu desa atau perkampungan dekat kota (antara lain di Kamus Sanskerta-Indonesia karya I Made Surada, lulusan S-2 Sanskerta Universitas Allahabad, India).
Yang hendak saya katakan adalah kata-kata yang muncul belakangan, apakah itu ada di bahasa daerah (lokal) atau bahasa nasional, banyak menyerap kata yang ada dalam bahasa sebelumnya. Bisa jadi griya yang dipakai dalam bahasa Indonesia saat ini adalah serapan dari grha (Jawa Kuno) dan grhya (Sanskerta). Boleh jadi pula, kata graha yang banyak digunakan saat ini untuk arti yang sama, yakni rumah atau wisma, adalah serapan yang "salah paham soal bunyi".
Dalam hal umat Hindu tetap memakai griya untuk rumah pendeta (padahal jika mengacu pada Sanskerta artinya tak pas) barangkali mewarisi kesalahpahaman ketika kata itu diserap ke Jawa Kuno. Harap dipahami, bahasa Kawi pun menjadi bahasa ritual umat Hindu—selain bahasa untuk seni sakral.
Tapi bisa pula pemakaian kata griya itu dengan kesadaran memasukkan kiasan—sebagaimana kekhasan orang Bali yang tecermin dalam bahasa daerahnya—karena para Brahmana di masa lalu memang harus dekat dengan kota karena mereka menjadi Bhagawanta (penasihat) kerajaan.
Kalau begitu halnya, saya berpikir sederhana, biarkan saja kata serapan itu dipakai apa adanya sesuai dengan kenyataan saat ini. Jadi, biarkan griya tetap dipakai sesuai dengan bunyi versi Sanskerta, sementara graha juga tetap dipakai dengan arti yang sama: rumah atau wisma. Masalahnya adalah kata graha nyata-nyata ada dalam bahasa Jawa Kuno yang berarti buaya, sehingga Bina Graha adalah tempat untuk membina para buaya.
Namun berapa banyak pemakai bahasa Jawa Kuno saat ini? Kata graha sudah dianggap "bukan buaya". Selain ada Bina Graha, ada Graha Pena (gedung Jawa Pos), Lila Graha (wisma pemda Bali di Bedugul), dan banyak lagi. Begitu pula kata griya sudah mulai "tak suci lagi", istilah ini dipakai oleh banyak pengembang. Bahkan di Bali sendiri ada hotel dan perumahan memakai nama griya, padahal di sana tak ada pendeta yang tinggal.
Menyederhanakan serapan kata Sanskerta yang rumit itu sebenarnya sudah dilakukan sejak dulu tanpa ada masalah. Para pengamat mencatat, sudah sekitar 800 kata Sanskerta diserap ke bahasa Melayu dengan pengucapan versi Melayu. Kita kadang lupa kalau payudara itu berasal dari kata payodhara (Sanskerta). Mungkin kita agak rikuh memakai kata yang lahir dari kiasan: buah dada.
*)Nama baptis Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
(www.mpujayaprema.com)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo