Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rancangan Undang-Undang KUHP memicu kontroversi.
Rancangan itu menghidupkan pasal-pasal kolonial yang mengkriminalkan masyarakat.
Rancangan itu perlu dirumuskan kembali untuk sebuah negara merdeka yang demokratis.
Nella Sumika Putri
Pusat Studi Kebijakan Kriminal Universitas Padjadjaran
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maidina Rahmawati
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perumus Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) mengangkat empat misi kunci pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu dekolonisasi, demokratisasi, konsolidasi, dan harmonisasi. Hal itulah yang disampaikan dalam naskah akademik rancangan itu. Dekolonisasi merupakan cita-cita utama dan jargon yang paling sering disampaikan pemerintah kepada publik.
Profesor Muladi (2019) memaknai dekolonisasi sebagai “proses membongkar dan meniadakan karakter kolonial KUHP yang secara mendasar ditanamkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang secara terstruktur, sistematis, dan masif memberlakukan kopi KUHP Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie) 1886 di wilayah Hindia Belanda”. Adapun Profesor Eddy O.S. Hiariej (2019) menyatakan produk hukum kolonial tentu sedikit-banyak akan menguntungkan pemerintah jajahan dan bukan suatu tuntutan negara merdeka. Dari hal tersebut, tim perumus menekankan keberadaan ciri yang berbeda antara KUHP buatan penjajah dan KUHP yang dibuat bangsa Indonesia. Secara substansi, RUU KUHP harus memenuhi tujuan ini.
Dekolonisasi
Arah pembaruan KUHP dalam menjalankan misi dekolonisasi harus diartikan sebagai upaya menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP. Hal ini juga perlu diselaraskan dengan tujuan pembentukan RUU KUHP lainnya, yaitu adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum pidana, baik dalam konteks globalisasi, perubahan masyarakat, maupun komitmen Indonesia secara internasional. Hal tersebut diwujudkan melalui berbagai putusan Mahkamah Konstitusi yang mengoreksi beberapa pasal dalam KUHP, termasuk pasal yang kental akan nuansa kolonialisme.
Lewat putusan pada 2006 dan 2007, Mahkamah Konstitusi menghapus pasal tentang penghinaan presiden dan penghinaan pemerintah yang sah serta memberikan pertimbangan tentang penggunaan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap suatu penguasa atau badan umum. Kedua putusan itu menekankan kedudukan presiden dalam negara merdeka dan demokratis seperti Indonesia hanya berbeda dengan warga negaranya dalam konteks protokoler. Presiden tidak dibenarkan memiliki keistimewaan dalam hal hukum, mengingat ia dipilih langsung oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Di sisi lain, Mahkamah melihat watak pembentukan pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah dalam rentetan sejarah itu memang ditujukan untuk mengkriminalkan bangsa jajahan karena stigma penduduk Hindia Belanda yang tidak tertib.
Selain itu, dalam putusan pada 2006, Mahkamah memberikan pertimbangan terhadap pemberlakuan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan umum. Menurut pandangan Mahkamah, ketentuan tersebut diberlakukan secara terbatas pada konteks personal penguasa dan tidak ditujukan untuk badan publik sehingga proses penuntutan hanya bisa dilakukan atas dasar pengaduan. Pada saat yang sama, Mahkamah menyarankan agar RUU KUHP tidak lagi mengatur “pasal yang isinya sama atau mirip” dengan penghinaan presiden dan wakil presiden karena menegasikan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, mengurangi kebebasan akan informasi, serta menegasikan prinsip kepastian hukum.
Akan tetapi, hingga saat ini, ketentuan ini masih dimuat dalam RUU KUHP meskipun dengan modifikasi, yakni mengubahnya dari delik biasa menjadi delik aduan. Pada dasarnya, delik aduan bisa dirumuskan bagi tindak pidana yang bersifat personal atau berbasis hubungan individual dan tidak dilekatkan pada relasi negara dengan individu (Utrecht, 1962). Model perumusan demikian lebih tepat jika diterapkan terhadap perzinaan (Pasal 284 KUHP) ataupun penghinaan (Pasal 310-218 KUHP) yang mewakili karakter tersebut. Karena itu, sekalipun telah dimodifikasi sedemikian rupa, rumusan pasal dalam RUU KHP itu tentu tidak sesuai dengan tafsir konstitusional yang disampaikan Mahkamah. Apabila pemerintah menginginkan pembaruan hukum pidana yang bersifat dekolonisasi dan demokratisasi, pasal-pasal dengan watak kolonial tersebut tidak dapat dicantumkan dalam RUU KUHP.
Sebagai perbandingan, hukum pidana Belanda, yang dulu merupakan negara kolonial, sudah tidak mempertahankan delik-delik tersebut. Penghinaan terhadap raja dan keluarganya dihapuskan pada 2019. Meski demikian, perbuatan demikian tetap dianggap sebagai tindak pidana serta diatur secara terbatas untuk melindungi kehormatan individu raja dan keluarga, bukan jabatan ataupun kuasanya. Sementara itu, pasal penghinaan terhadap pemerintah, penguasa umum, dan lembaga negara telah lama dihapus. Seperti halnya pasal penghinaan terhadap raja, delik-delik ini diubah menjadi bagian dari penghinaan terhadap individu. Belanda bahkan melarang penegak hukum memproses aduan penghinaan yang ditujukan terhadap anggota lembaga perwakilan rakyat. Masih layakkah pasal-pasal kolonial, yang bahkan di Belanda telah dihapus, masih diatur dalam KUHP buatan kita sendiri?
Mencegah Rekolonisasi
Selain menghidupkan dan mengatur kembali pasal-pasal kolonial yang seharusnya tidak lagi ada di Indonesia, beberapa pengaturan dalam RUU KUHP berpotensi menjadi wujud baru rekolonisasi. Pengakuan terhadap pidana adat menjadi salah satu contoh kecenderungan tersebut. Meskipun ada niat baik yang disampaikan dalam naskah akademik RUU KUHP untuk mengakui perbuatan yang dilarang berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat, pengaturan itu membuka peluang negara mengambil alih atau bahkan menghilangkan nilai-nilai dari masyarakat adat itu sendiri.
Pasal 2 ayat 1 RUU KUHP yang mengatur mengenai hukum adat telah mempersempit keberlakuan hukum adat. Akan terjadi pergeseran karakter hukum adat, yang sifatnya tidak tertulis, menjadi hukum tertulis melalui pengakuan ini. Melalui Pasal 597 RUU KUHP, yang mengkriminalkan individu yang melakukan perbuatan terlarang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat, negara justru membuka peluang bagi penegak hukum untuk memproses konflik adat tersebut melalui sistem peradilan pidana nasional. Di sisi lain, ketentuan ini juga membatasi dinamika masyarakat hukum adat untuk menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut. Selain itu, wacana untuk mengatur hukum adat melalui peraturan daerah berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat adat tertentu.
Pengambilalihan hukum adat menjadi hukum negara seperti ini memunculkan kembali trauma yang selama ini dirasakan masyarakat adat, yang lebih membutuhkan pengakuan atas eksistensi dan hak-haknya. Lambat laun pengambilalihan ini berpotensi menghapus eksistensi pranata adat yang berkembang. Hukum adat akan dijalankan oleh negara dan bukan oleh masyarakat adat. Kondisi ini mengingatkan kembali akan tindakan kolonisasi Belanda, yang memaksakan hukumnya hadir di Hindia Belanda, dengan pendekatan yang cukup rasis dan diskriminatif. Berkaca pada hal-hal tersebut, kita perlu mempertanyakan secara serius mengenai ketepatan “pengakuan dan perlindungan” yang diberikan negara terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat melalui RUU KUHP.
KUHP yang Demokratis
Kita harus mengingat kembali mengapa RUU KUHP pada September 2019 ditarik oleh presiden, yakni berhubungan dengan hal-hal yang substansial. Karena itu, materi RUU KUHP harus dikaji berdasarkan pertimbangan kritis berbasis bukti, melihat kebutuhan mendasar pembaruan hukum, mengevaluasi ketentuan yang sudah ada, dan mempertimbangkan komitmen hak asasi manusia dalam perumusannya.
Sebagai suatu rekodifikasi hukum pidana, RUU KUHP tidak boleh terlalu berfokus pada keinginan negara serta harus memberikan porsi yang sama terhadap kebutuhan dan keinginan masyarakat. Dalam setiap prosesnya, pemerintah dan DPR perlu menjamin keterbukaan informasi publik terhadap pembahasan rancangan itu ke depan, termasuk memastikan tersedianya dokumen mutakhir pembahasan rancangan tersebut serta minutasi (pengarsipan) pembahasan dan dokumen-dokumen publik lainnya. Tidak dapat dimungkiri, banyak perubahan positif dan penting yang telah diakomodasi rancangan ini. Meski demikian, rancangan tersebut harus sepenuhnya menggambarkan karakter Indonesia sebagai negara merdeka yang demokratis dan tidak berkembang ke arah sebaliknya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo