Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kementerian Perdagangan semestinya menghentikan penetapan harga eceran tertinggi pada komoditas beras. Sejak diberlakukan tujuh bulan lalu, kebijakan ini terbukti gagal meredam kenaikan harga beras di pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Gesekan terjadi setelah pemerintah mewajibkan pedagang menjual beras sesuai dengan harga patokan. Kementerian Perdagangan kini mengancam akan mencabut izin usaha pedagang yang menjual beras di atas harga eceran tertinggi. Ancaman seperti ini akan sia-sia dan tak bakal membuat harga beras stabil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemerintah pun selama ini kewalahan mengawasi distribusi beras. Panjangnya rantai pasok komoditas beras dan luas wilayah yang mesti diawasi juga menjadi kendala di lapangan. Sejumlah daerah jelas mengaku kesulitan memantau pedagang di pasar tradisional dan retail modern.
Tujuan di balik penetapan harga beras itu sebetulnya bagus. Pemerintah berusaha menjaga harga beras agar tetap terjangkau bagi masyarakat luas. Kenaikan harga beras tidak hanya akan mengerek inflasi, tapi juga menciptakan kemiskinan. Studi yang dilakukan Arief Ansyori Yusuf (2018) bahkan menunjukkan bahwa setiap 1 persen kenaikan harga beras berpotensi menaikkan jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 300 ribu orang.
Hanya, tujuan yang mulia itu sulit dicapai dengan cara mematok harga beras. Sejumlah studi empiris menunjukkan bahwa penerapan harga eceran tertinggi hanya memiliki efek jangka pendek. Penetapan harga beras akan menekan harga jual di tingkat petani. Akibatnya, harga jual bisa jatuh dan produksi menyusut, sementara angka permintaan merangkak naik. Inilah yang menyebabkan beras menjadi langka. Keadaan ini bisa memicu munculnya "pasar gelap". Di situ, para pedagang menjual beras dengan harga lebih mahal, jauh melebihi harga patokan pemerintah.
Kenaikan harga beras yang melebihi patokan itu terjadi di beberapa kota. Di Bandung, harga beras medium IR-64 dibanderol hingga Rp 12 ribu per kilogram. Harga ini jauh di atas harga eceran tertinggi beras medium yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 9.450. Harga beras medium di Pasar Induk Beras Cipinang, yang kerap menjadi acuan para pedagang, sempat melejit di atas Rp 11 ribu per kilogram.
Harga beras bergerak liar karena klaim pemerintah bahwa negara kita telah surplus beras sulit dibuktikan. Pemerintah semestinya melepas harga beras sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi. Untuk menjaga agar harga beras tidak melambung, tentu saja dengan memastikan stok beras melimpah. Jika perlu, pemerintah membuka lebar-lebar keran impor beras asalkan proses pengadaan ini dilakukan secara transparan dan fair.
Di sejumlah negara, kebijakan pengaturan harga selalu gagal memenuhi ekspektasi. Tak aneh bila mereka kemudian meninggalkan penerapan kebijakan harga eceran tertinggi. Pemerintah kita pun seharusnya tak perlu ngotot meneruskan kebijakan yang terbukti kurang efektif.