Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA pemerintah mewajibkan calon pengantin untuk mendapat sertifikat layak kawin sebelum menikah sudah selayaknya ditentang. Selain mencampuri urusan privat masyarakat, penerbitan sertifikat sebelum menikah bisa memperumit birokrasi pelayanan pernikahan dan menciptakan peluang terjadinya "kesepakatan" di bawah meja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sertifikasi layak nikah ini pertama kali dilontarkan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Pemerintah berencana menerapkan sertifikasi layak nikah bagi semua calon pasangan pengantin pada tahun depan. Sebelum menikah, calon pasangan harus mengikuti program pelatihan selama tiga bulan, yang tujuannya sebagai bekal pengetahuan mereka sebelum berumah tangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepintas, tidak ada yang keliru dengan ikhtiar tersebut. Tak cuma diajarkan perihal tujuan pernikahan serta hak dan kewajiban suami-istri, calon pengantin bisa mempelajari kesehatan alat reproduksi, pencegahan penyakit, pentingnya ekonomi rumah tangga, hingga tip merawat janin dan mengasuh anak sejak usia dini. Semua hal itu tentu berguna bagi pasangan suami-istri di kemudian hari.
Sayangnya, tak sedikit pemberian konseling pranikah yang selama ini diberikan kantor urusan agama justru menyuburkan benih-benih budaya patriarki dalam rumah tangga dengan menempatkan posisi kaum lelaki lebih tinggi ketimbang kaum perempuan. Misalnya istri yang haram menolak berhubungan badan hingga wajib mengerjakan urusan domestik-seperti halnya pendapat yang umumnya dipahami kaum konservatif. Materi yang disampaikan sering kali hanya untuk memperkuat peran tradisional suami-istri.
Agar hal itu tidak terulang, negara cukup memfasilitasi program pembekalan pranikah pasangan suami-istri tanpa perlu mengambil alih program tersebut. Apalagi tradisi pembekalan ini sudah ada pada sejumlah agama. Salah satunya kursus persiapan perkawinan yang wajib diikuti dalam aturan gereja Katolik. Yang juga harus dipastikan adalah jangan sampai materi pembekalan pranikah memaksakan nilai-nilai keyakinan kelompok mayoritas terhadap minoritas. Biarkan setiap agama berpegang pada tradisinya.
Selanjutnya, pembekalan tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk menerbitkan sertifikat pranikah, apalagi sampai menjadi syarat dalam sebuah pernikahan. Peran negara cukup sampai memfasilitasi administrasi pencatatan kependudukan hingga menerbitkan buku nikah. Pendek kata, negara tidak usah terlalu jauh mencampuri urusan privat yang sifatnya interpersonal.
Selain akan memperumit birokrasi, sertifikasi pranikah bisa menciptakan peluang pemerasan dan suap. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pungutan liar kerap terjadi terkait dengan pelayanan nikah. Padahal Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2015 jelas-jelas menyebutkan bahwa biaya menikah di luar kantor urusan agama bertarif Rp 600 ribu. Pernikahan bahkan tidak dikenai biaya bila berlangsung di KUA. Pada praktiknya, tak sedikit pegawai KUA meminta lebih dari tarif resmi yang ditetapkan.
Bukan tidak mungkin, praktik lancung tersebut
juga akan terjadi pada sertifikasi layak nikah. Agar persyaratanini tidak menyusahkan masyarakat, wacana penerbitan sertifikat pranikah harus segera dihentikan.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 19 November 2019