Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Jual-beli blangko kartu tanda penduduk elektronik di situs online dan di Pasar Pramuka, Jakarta, semestinya tidak terjadi jika Kementerian Dalam Negeri mempunyai standar kerja yang baik. Penemuan karung berisi 1.706 keping KTP elektronik asli di Pondok Kopi, Jakarta Timur, Sabtu pekan lalu, melengkapi beragam masalah pembuatan KTP elektronik: dari perekaman data, pengadaan blangko, penerbitan, pendistribusian, hingga pemusnahan KTP lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tercecernya KTP elektronik ini mengulang kejadian serupa pada awal September lalu. Kala itu masyarakat menemukan karung berisi 2.910 keping KTP dan KTP elektronik di kebun bambu di Kabupaten Serang, Banten. Sebelumnya, pada Mei 2017, ribuan KTP elektronik dalam kardus terjatuh dari truk bak terbuka di Jalan Salabenda, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada saat dikirim ke gudang penyimpanan. Kementerian mengakui ada kesalahan prosedur dan menyatakan akan memperbaikinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yakin tidak ada yang menjebol sistem pengadaan KTP elektronik meski blangko identitas itu dijual di toko online. Namun Tjahjo tidak menjelaskan bagaimana seorang anak kepala dinas di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, dapat mengambil 10 keping blangko KTP tersebut dan menjualnya.
Jika dokumen sepenting itu dapat keluar tanpa terdeteksi oleh sistem internal, bukan tak mungkin kebocoran blangko KTP elektronik terjadi di banyak tempat dalam jumlah yang tak diketahui pasti. Jual-beli blangko yang terungkap itu boleh jadi hanyalah puncak gunung es, karena kenyataannya jutaan orang masih antre untuk mendapatkan KTP elektronik. Mereka menunggu tanpa kepastian di kelurahan dan kecamatan karena ketiadaan blangko.
Ketidaksinkronan informasi soal blangko antara pusat dan daerah membuktikan administrasi yang kacau. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Zudan Arif Fakhrulloh mengatakan tak mungkin kehabisan stok karena pada 2018 pihaknya mencetak 18,78 juta blangko dan mendistribusikan 9,68 juta blangko. Instruksi agar kepala dinas mengumumkan jumlah blangko, supaya ada transparansi dan akuntabilitas, tampaknya tidak berjalan di lapangan.
Pemerintah tak boleh berhenti dengan menyerahkan kasus pencurian blangko ini ke kepolisian. Kejadian ini mesti dijadikan momentum untuk melakukan audit menyeluruh terhadap kegiatan pembuatan KTP elektronik. KTP elektronik, yang memuat data pribadi warga negara yang paling mendasar, sepatutnya diperlakukan seperti kartu kredit atau kartu anjungan tunai mandiri dari bank.
Sudah saatnya pemerintah membakukan penggunaan alat pembaca dalam memanfaatkan KTP elektronik demi pengamanan berlapis. Penggunaan cip KTP elektronik untuk menyimpan foto, sidik jari, retina, dan tanda tangan ini dipertanyakan efektivitasnya. Publik kini bertanya: masihkah teknologi canggih yang dipakai KTP elektronik dengan menghabiskan anggaran triliunan rupiah itu bisa digunakan? Atau kita sudah kembali menggunakan KTP kertas seperti sebelumnya?