Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Editorial Tempo.co
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
---
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
SUKAR untuk tidak mengaitkan banyaknya korban dalam kebakaran di Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, dengan kebijakan populis pemerintah. Seandainya aturan tentang zona penyangga (buffer zone) ditegakkan, kebakaran di dalam depo seharusnya tidak membuat warga di sekitarnya ikut menjadi korban.
Petaka yang menimpa warga kampung Tanah Merah pada Jumat malam, 3 Maret 2023, itu bermula dari kebakaran pipa minyak di dalam kompleks depo. Api lalu melompati pagar kompleks setinggi 2 meteran, menyeberangi jalan raya, dan menyambar pemukiman. Akibatnya, 19 warga meninggal, 49 warga terluka, dan 600-an warga mengungsi.
Meski pemantik kebakaran di dalam depo belum terang, penyebab permukiman warga ikut terbakar gampang dilihat. Jarak pagar pengaman depo berkapasitas 291 ribu kiloliter dengan bangunan warga yang terbakar hanya selebar dua mobil kecil. Padahal, jarak aman minimum dari pagar pengaman ke bangunan untuk depo sekelas sekitar 18 meter. Lebih berbahaya lagi, jarak minimum dari pagar pengaman depo ke jalan umum–yang seharusnya selebar 52,5 meter-malah tidak ada sama sekali. Jalan umum di bagian permukiman yang terbakar itu menempel ke pagar pengaman depo.
Sebenarnya, peringatan adanya bahaya akibat diabaikannya buffer zone ini sudah mencuat pascakebakaran depo sebelumnya, pada Januari 2009. Waktu itu api melalap depo 24 yang menampung sekitar 5.000 kiloliter premium. Satu orang pegawai Pertamina meninggal. Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengunjungi lokasi kejadian meminta Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, mensterilkan lahan sekitar depo dari permukiman warga.
Meski tidak mudah, membebaskan zona pengaman dari permukiman warga paling masuk akal. Bila dilakukan lebih awal, secara matematis, biaya merelokasi warga lebih murah ketimbang memindahkan depo. Tak perlu ganti rugi lahan yang teramat besar karena warga memang menempati lahan Pertamina.
Tapi, alur ceritanya tidak seperti itu. Ketika diresmikan pada 1974, Depo Plumpang menempati area seluas 151 hektare. Hingga 1987, buffer zone itu masih dalam batas aman. Lalu, warga secara ilegal menduduki wilayah sekitar depo. Akibatnya, lahan untuk kawasan gudang dan penyalur BBM itu tinggal tersisa sekitar 49 hektare.
Di masa Gubernur Fauzi Bowo relokasi warga tak terlaksana. Demikian pula di masa gubernur setelahnya, Joko Widodo. Setahun menjelang Pemilihan Presiden 2014, Joko Widodo malah melegalkan permukiman di Tanah Merah dengan memberi status wilayah RT/RW dan membagikan kartu tanda penduduk untuk semua warga di sana. Lebih jauh lagi, Gubernur DKI Anies Baswedan juga memberikan izin mendirikan bangunan (IMB) kawasan sementara untuk kampung tersebut. Alasan Anies, agar warga Tanah Merah bisa mendapatkan hak seperti warga Jakarta lainnya.
Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta di Tanah Merah jelas menyenangkan warga yang sekian lama termarjinalisasi. Masalahnya, pada saat yang sama, kebijakan populis tersebut juga membahayakan warga. Kecelakaan di area industri semacam depo minyak bisa terjadi kapan pun. Karena itulah di area serupa wajib ada zona aman. Membiarkan warga menempati zona ini sama saja dengan menaruh mereka di zona bahaya.