KETIKA bu Darmo hamil 7 bulan, dia bermufakat bulat dengan suami
serta sanak keluarga tentang nama anak yang akan lahir. Kalau
lelaki namanya "Bejo" yang maknanya "beruntung". Rupanya, takdir
Allah menggariskan lain. Anak yang diharapkan bisa jadi Wedana,
sedikitnya mantri pasar, ternyata tak lebih dari tukang tambal
ban. Coba cari, mana ada di dunia ini tukang tambal ban yang
beruntung?
Tetangganya -- bahkan waktu masih ngidam -- sudah berkeputusan
memberi nama anaknya "Sri Rejeki" kalau saja perempuan. Apa
daya, suratan nasib pun meleset jauh dari harapan. Jangankan
murah rejeki, punya suami pun seorang bajingan. Tak ada pilihan
lain, Sri Rejeki mesti kerja keras cari sesuap nasi. Mula-mula
buka jahitan, tapi berhubung lama-lama orang tak punya bahan
baju untuk dijahit, usahanya merosot jadi tukang singkong
goreng. Biar pun sebetulnya dia sudah mempraktekkan wiraswasta
dari awalnya betul, rejeki macam apa yang bisa diharap dari
singkong?
Lain pula kisah cerita pak Lurah. Kepingin anaknya berumur
panjang hingga 100 tahun, jabang bayinya diberi nama 'Urip",
ringkas namun tegas. Bukan alang kepalang ramainya pesta tatkala
Urip dikhitan. Dua perangkat gamelan sekaligus bertalu-talu dan
penduduk datang berduyun-duyun tak ubahnya seperti sebuah
demonstrasi. Oleh cakar nasib yang penuh misteri, persis di umur
10 tahun Urip ketabrak dokar hingga batok kepalanya retak.
Segenap warga kelurahan dan kecamatan dari eselon atas hingga
bawah mengucurkan air mata, namun Urip sudah pergi untuk
selama-lamanya tak kunjung kembali lagi. Penduduk saling
berbisik sesamanya: semua rencana pak Lurah buat kesejahteraan
desa berhasil sukses, kecuali mengenai Urip 100 tahun itulah.
Dari contoh-contoh tersebut jelaslah sudah betapa nama itu
sama-sekali bukan jaminan. Jika Allah memutuskan lain, manusia
mesti menerimanya dengan penuh tawakal. Begitu terhadap manusia,
begitu pula terhadap media pers. Berilah dia sebutan yang
mendirikan bulu roma, berilah dia sebutan sehingga pembaca
terbelalak kedua biji matanya, tapi jika saatnya tiba media pers
itu bisa lenyap dalam sekejap seperti batu jatuh ke lubuk.
Misalnya ada media bulanan Terang Bulan belasan tahun yang lalu.
Tak ada duanya yang lebih indah dari terangnya bulan,
berpendar-pendar di malam hari, membikin gila kaum keroncong.
Tapi, biar pun sudah meminjam nama planit sahabat bumi terdekat
yang cantik ini, dan biar pun sampai hari kiamat tampaknya bulan
terang itu akan tampak terus mengantung di atas kepala, toh
majalah Terang Bulan sudah lama lenyap dari peredaran oleh
sesuatu sebab yang orang tidak ingat lagi.
Penggunaan nama bintang pun tidak menolong Koran Bintang Timur
yang garang suara sebelum tahun 1966, sudah sirna hanya dengan
sekali jentilan. Hampir tak ada manfaat menarik safaat dari
nama-nama planit bagi kepentingan media pers bumi: bulan atau
pun bintang. Makhluk bumi memiliki otoritas independen untuk
mengambil keputusan demi kepentingannya tanpa merasa perlu
mendongak ke langit, termasuk menyetop penerbitan media pers itu
lewat sebuah surat keputusan.
Paling mutakhir menimpa majalah Matahari. Nama ini bukan
main-main. Sehari saja bola api perkasa itu tidak muncul, kita
semua akan terkulai bagai seutas bcnan. Majalah terbitan
Jakarta ini lewat SK Menpen No. 2/SK/Ditjen PPG/K/ 1979 tanggal
25 Juni 1979 sudah tidak bisa terbit lagi, bisa selama-lamanya
bisa sementara, tergantung dari kerahiman yang berkuasa.
Apakah gerangan sebabnya? Menurut keterangan pihak pencabut
surat izin, pada terbitan bulan Mei dan Juni 1979 sang
"Matahari" memuat tulisan "di luar batas kesopanan dan penuh
sinisme". Misalnya kalimat "kaum teknokrat tidak segan-segan
mengorbankan mayoritas rakyat dalam menempuh kebijaksanaannya
karena mereka lebih memenuhi kepentingan investor atau pemberi
bantuan". Atau tulisan ini "di samping pengusaha pribumi dan
mayoritas rakyat yaitu buruh dan tani serta sektor ekonomi
informal yang dirugikan oleh strategi para teknokrat seperti
sudah disebut di atas, yang juga sangat dirugikan adalah
golongan intelektuil yang di dalam struktur kehidupan ekonomi
pasar yang didominir oleh investor-investor asing dan Cina, kaum
intelektuil tidak lagi punya peranan politik yang secara
tradisionil dimilikinya." Dan yang tak kurang jahilnya, majalah
tersebut "menghubungkan teknokrat ala Mafia Berkeley dengan nama
serta gambar beberapa pemimpin pemerintah yang dicantumkannya
dengan judul "Bangkrutnya teknokrat ala Mafia Berkeley."
Ini luarbiasa. Bukankah tahun 1976 Franklin B. Weinstein sudah
memasalahkan lewat kertas kerja: Indonesian foreign policy and
the dilemma of dependence? Bukankah Ingrid Palmer tahun 1978
sudah pula berusil mulut dalam: The Indonesian economy since
1965, a case study of political ekonomy? Bahkan lebih lama dari
itu di tahun 1970 bulan Oktober majalah Ramparts sudah muat esei
tajam dan mengganggu tentang The Berkeley Mafia? Belum lagi
ditambah dengan esei Rex Motimer: Indonesia, growth or
development, atau tulisan kurang sedapnya Cheryl Prayer: The
debt trap, the IMF and the third world? Kalau sajalah majalah
Matahari tidak menulis yang jiwanya mirip-mirip begitu,
barangkali orang ramai sudah anggap sepi karena sibuk
pembangunan.
Menjadi urusan Deppen dan PWI apakah "masih ada maaf bagimu".
Akibat lamanya tidak kedengaran breidel-breidelan, peristiwa
ini menggugah orang berpikir sekali lagi bagaimana baiknya jadi
pers bebas di satu pihak dan bertanggungjawab di lain pihak.
Tidak doyong ke sana atau ke sini. Ini tidak gampang, khusus
diperlukan dengkul yang stabil supaya bisa tegak di tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini