Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Sang matahari'lah tenggelam

Sejumlah media pers yang punya nama megah terkena pembreidelan, a.l: media bulanan "terang bulan", koran "bintang timur", dan majalah "matahari". masalahnya bagaimana pers yang bebas & bertanggungjawab.

14 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA bu Darmo hamil 7 bulan, dia bermufakat bulat dengan suami serta sanak keluarga tentang nama anak yang akan lahir. Kalau lelaki namanya "Bejo" yang maknanya "beruntung". Rupanya, takdir Allah menggariskan lain. Anak yang diharapkan bisa jadi Wedana, sedikitnya mantri pasar, ternyata tak lebih dari tukang tambal ban. Coba cari, mana ada di dunia ini tukang tambal ban yang beruntung? Tetangganya -- bahkan waktu masih ngidam -- sudah berkeputusan memberi nama anaknya "Sri Rejeki" kalau saja perempuan. Apa daya, suratan nasib pun meleset jauh dari harapan. Jangankan murah rejeki, punya suami pun seorang bajingan. Tak ada pilihan lain, Sri Rejeki mesti kerja keras cari sesuap nasi. Mula-mula buka jahitan, tapi berhubung lama-lama orang tak punya bahan baju untuk dijahit, usahanya merosot jadi tukang singkong goreng. Biar pun sebetulnya dia sudah mempraktekkan wiraswasta dari awalnya betul, rejeki macam apa yang bisa diharap dari singkong? Lain pula kisah cerita pak Lurah. Kepingin anaknya berumur panjang hingga 100 tahun, jabang bayinya diberi nama 'Urip", ringkas namun tegas. Bukan alang kepalang ramainya pesta tatkala Urip dikhitan. Dua perangkat gamelan sekaligus bertalu-talu dan penduduk datang berduyun-duyun tak ubahnya seperti sebuah demonstrasi. Oleh cakar nasib yang penuh misteri, persis di umur 10 tahun Urip ketabrak dokar hingga batok kepalanya retak. Segenap warga kelurahan dan kecamatan dari eselon atas hingga bawah mengucurkan air mata, namun Urip sudah pergi untuk selama-lamanya tak kunjung kembali lagi. Penduduk saling berbisik sesamanya: semua rencana pak Lurah buat kesejahteraan desa berhasil sukses, kecuali mengenai Urip 100 tahun itulah. Dari contoh-contoh tersebut jelaslah sudah betapa nama itu sama-sekali bukan jaminan. Jika Allah memutuskan lain, manusia mesti menerimanya dengan penuh tawakal. Begitu terhadap manusia, begitu pula terhadap media pers. Berilah dia sebutan yang mendirikan bulu roma, berilah dia sebutan sehingga pembaca terbelalak kedua biji matanya, tapi jika saatnya tiba media pers itu bisa lenyap dalam sekejap seperti batu jatuh ke lubuk. Misalnya ada media bulanan Terang Bulan belasan tahun yang lalu. Tak ada duanya yang lebih indah dari terangnya bulan, berpendar-pendar di malam hari, membikin gila kaum keroncong. Tapi, biar pun sudah meminjam nama planit sahabat bumi terdekat yang cantik ini, dan biar pun sampai hari kiamat tampaknya bulan terang itu akan tampak terus mengantung di atas kepala, toh majalah Terang Bulan sudah lama lenyap dari peredaran oleh sesuatu sebab yang orang tidak ingat lagi. Penggunaan nama bintang pun tidak menolong Koran Bintang Timur yang garang suara sebelum tahun 1966, sudah sirna hanya dengan sekali jentilan. Hampir tak ada manfaat menarik safaat dari nama-nama planit bagi kepentingan media pers bumi: bulan atau pun bintang. Makhluk bumi memiliki otoritas independen untuk mengambil keputusan demi kepentingannya tanpa merasa perlu mendongak ke langit, termasuk menyetop penerbitan media pers itu lewat sebuah surat keputusan. Paling mutakhir menimpa majalah Matahari. Nama ini bukan main-main. Sehari saja bola api perkasa itu tidak muncul, kita semua akan terkulai bagai seutas bcnan. Majalah terbitan Jakarta ini lewat SK Menpen No. 2/SK/Ditjen PPG/K/ 1979 tanggal 25 Juni 1979 sudah tidak bisa terbit lagi, bisa selama-lamanya bisa sementara, tergantung dari kerahiman yang berkuasa. Apakah gerangan sebabnya? Menurut keterangan pihak pencabut surat izin, pada terbitan bulan Mei dan Juni 1979 sang "Matahari" memuat tulisan "di luar batas kesopanan dan penuh sinisme". Misalnya kalimat "kaum teknokrat tidak segan-segan mengorbankan mayoritas rakyat dalam menempuh kebijaksanaannya karena mereka lebih memenuhi kepentingan investor atau pemberi bantuan". Atau tulisan ini "di samping pengusaha pribumi dan mayoritas rakyat yaitu buruh dan tani serta sektor ekonomi informal yang dirugikan oleh strategi para teknokrat seperti sudah disebut di atas, yang juga sangat dirugikan adalah golongan intelektuil yang di dalam struktur kehidupan ekonomi pasar yang didominir oleh investor-investor asing dan Cina, kaum intelektuil tidak lagi punya peranan politik yang secara tradisionil dimilikinya." Dan yang tak kurang jahilnya, majalah tersebut "menghubungkan teknokrat ala Mafia Berkeley dengan nama serta gambar beberapa pemimpin pemerintah yang dicantumkannya dengan judul "Bangkrutnya teknokrat ala Mafia Berkeley." Ini luarbiasa. Bukankah tahun 1976 Franklin B. Weinstein sudah memasalahkan lewat kertas kerja: Indonesian foreign policy and the dilemma of dependence? Bukankah Ingrid Palmer tahun 1978 sudah pula berusil mulut dalam: The Indonesian economy since 1965, a case study of political ekonomy? Bahkan lebih lama dari itu di tahun 1970 bulan Oktober majalah Ramparts sudah muat esei tajam dan mengganggu tentang The Berkeley Mafia? Belum lagi ditambah dengan esei Rex Motimer: Indonesia, growth or development, atau tulisan kurang sedapnya Cheryl Prayer: The debt trap, the IMF and the third world? Kalau sajalah majalah Matahari tidak menulis yang jiwanya mirip-mirip begitu, barangkali orang ramai sudah anggap sepi karena sibuk pembangunan. Menjadi urusan Deppen dan PWI apakah "masih ada maaf bagimu". Akibat lamanya tidak kedengaran breidel-breidelan, peristiwa ini menggugah orang berpikir sekali lagi bagaimana baiknya jadi pers bebas di satu pihak dan bertanggungjawab di lain pihak. Tidak doyong ke sana atau ke sini. Ini tidak gampang, khusus diperlukan dengkul yang stabil supaya bisa tegak di tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus