Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 15 Agustus 1876, penyair Prancis Arthur Rimbaud menghilang di perbatasan antara Semarang dan Salatiga. Persisnya di Tuntang. Hampir tak pernah diketahui hubungan ringkas antara kota kecil di Indonesia itu dan sastrawan yang Une Saison en enfer-nya (terbit di tahun 1873) membawa sejarah baru dalam puisi Prancis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi Rimbaud memang tak berjejak dalam hidupnya yang tak henti-hentinya berpindah. Dari bujang pembangkang di kota kelahirannya di Charleville-Mézières, ia lari sebagai penyair “binatang-jalang” ke Paris dan London, bahkan sampai ke Aden di Yaman-antara lain menjadi pedagang kopi. Ia tak menulis puisi lagi sejak berusia 21 tahun, setelah di usia yang sangat muda ia diakui sebagai penyair Prancis yang paling memukau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia berangkat 10 Juni tahun itu ke Batavia, dari pelabuhan Den Helder, naik kapal Prins van Oranje. Ia mendaftarkan diri menjadi tentara bayaran Kerajaan Belanda yang dikirim ke “Hindia”. Di Batavia ia tinggal 10 hari sebelum diberangkatkan bersama serdadu lain ke Semarang. Dari kota di Jawa Tengah utara itu ia naik kereta api ke Tuntang, 20 kilometer di selatan. Dari sana, ia disiapkan ikut berbaris masuk Salatiga, tempat batalionnya bermarkas.
Tapi Rimbaud menghilang.
Cerita ini saya dapat dari sinopsis film Jeremy Miller, Abdo Rimbo (2015). Saya tak tahu sejauh mana informasi tentang Rimbaud itu hanya setengah imajinasi. Tapi tak penting: sosok yang datang dan menghilang di Tuntang itu memang harus dilihat bukan sebagai Rimbaud yang dikenal dunia. Judul tambahan Abdo Rimbo kalimat termasyhur sang penyair: Je est un autre.
Dalam gramatika Prancis, tampak di situ kata “je” bukan sebuah pronom, bukan “aku” untuk menunjuk diri. “Je” di situ kata benda. Kata kerja yang menyusul est, bukan suis.
Rimbaud tampaknya ingin menunjukkan, “aku” adalah sepatah kata yang sebenarnya selalu mengacu ke sesuatu yang “lain dari aku”-setidaknya dalam proses kreatif. Itu tafsir saya dari sepucuk surat yang ditulisnya, dengan loncatan-loncatan pikirannya yang khas, di tahun 1871: baginya, sang penyair berada di luar proses ketika karya terjadi.
“Je est un autre. Jika alat tiup membangunkan sangkakala, itu bukan salahnya. Bagiku jelas: aku menyaksikan terurainya pikiranku sendiri; aku mengamatinya, aku mendengarnya: ...simfoni itu bermula dari kedalaman....”
Bagi penyair Illuminations ini, sebuah kreasi tak datang dari kesadaran yang transparan; ia bak simfoni yang muncul sebagai kejadian dari “kedalaman” jiwa. Seperti dalam karya surealis (dan Rimbaud bisa disebut pelopor surealisme sebelum kata itu dikenal), ia menegaskan bahwa puisinya bukan produk sebuah subyek yang rasional dan berencana; puisi adalah cetusan bawah-sadar. Sang penyair hanya “menyaksikan” kata-kata menemukan kaitannya sendiri.
Rimbaud menampik rasionalisme yang yakin bahwa dunia dibangun oleh “aku-yang-berpikir”. Di abad ke-19 itu pengarang masih sering dianggap “aku” sebagai otoritas yang menentukan arah karyanya. Tapi di abad itu pula pembaca makin hadir sebagai penafsir, dan penafsir bukanlah pengikut. Pada gilirannya, sebuah karya dibentuk maknanya oleh pembacanya.
Atau punya kehidupannya sendiri.
Apalagi kini, di zaman digital. Karya menjangkau para penafsir yang meluas dan menjauh. Para pembaca dan sang pengarang makin tak saling kenal. Yang dinikmati (atau tak dinikmati) bukanlah karya sebagaimana adanya-karya yang seperti itu sudah tak berlaku lagi-melainkan sebagaimana dijadikan waktu dan dunia.
Pramoedya benar ketika ia mengibaratkan novel-novelnya “anak-anak rohani”-nya, bukan produk yang telah jadi dan mati. Dan seperti ayah yang kian jauh, ia tak dalam posisi menentukan. Seperti Rimbaud di Tuntang, sang pengarang menghilang. Bersama pembaca, karya sastra seakan-akan punya inisiatifnya sendiri: intentio operis, untuk memakai kata-kata Umberto Eco. Tumbuh dan bekerja bukan lagi dalam kendali sang novelis, Bumi Manusia dan Perburuan yang dibuat film tak bisa dinilai dengan ukuran “begitulah iradah Pramoedya Ananta Toer”.
Tapi zaman ini mengandung paradoks. Di satu pihak otoritas pengarang pudar. Di pihak lain, dalam lalu-lalang teks yang semakin ramai-baik tercetak maupun digital, dalam rekaman audio atau bentuk grafis-makin lama bukan karya yang mewakili pengarangnya, melainkan sebaliknya. Sang pengarang hanya merek.
Inilah yang sebenarnya terjadi dalam festival-festival sastra: untuk membuat perkara sederhana, orang melihat merek. Yang dihadirkan pengarang, karyanya tidak. Khalayak mengerumuni penyair X atau novelis Y, selfie dengan merek itu, mendapatkan tanda tangannya (dan ingin tahu gosip terakhir tentangnya), tanpa merasa perlu membaca karyanya.
Dengan kata lain, sang sastrawan bukan pencipta lagi: ia oknum pesohor. Je est un autre. Aku bukan aku; aku makhluk media sosial dan kehebohannya. Aku bersaing, aku cemburu, aku berebut dikenal….
Rimbaud memilih jalan yang ganjil tapi benar: berhenti jadi penyair, berdagang kopi, jadi serdadu.
Tapi sajak-sajaknya begitu bagus. Puisi itu berjalan terus.
Goenawan Mohamad