Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Sanksi Ringan Ketua MK

Putusan Dewan Etik yang menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran lisan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat patut disesalkan.

18 Januari 2018 | 07.32 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putusan Dewan Etik yang menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran lisan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat patut disesalkan. Dewan Etik Mahkamah Konstitusi seharusnya memberikan sanksi berat karena Arief terbukti bertemu dengan sejumlah pemimpin dan anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, pihak yang tengah beperkara di lembaga tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan menjatuhkan sanksi berat, Dewan Etik akan merekomendasikan kepada Mahkamah Konstitusi agar membentuk Majelis Kehormatan. Lembaga ad hoc yang terdiri atas kalangan internal dan tokoh luar itulah yang seharusnya memutuskan apakah ahli hukum dari Universitas Diponegoro, Semarang, tersebut masih pantas atau tidak memegang jabatan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sikap Ketua Dewan Etik Achmad Rustandi yang berbeda pendapat dalam putusan ini sudah tepat. Ia berpendapat, Arief seharusnya diganjar sanksi berat karena posisinya sebagai ketua menjadi teladan bagi delapan hakim konstitusi lainnya. Namun Arief justru melakukan perbuatan yang jelas-jelas dilarang Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.

Dalam pertimbangan Achmad, Arief pantas mendapat sanksi berat karena telah terbukti dua kali melanggar kode etik. Sebelumnya, Dewan Etik menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran lisan kepada Arief karena mengirim katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono. Saat itu, ia meminta Widyo menempatkan kerabatnya yang berprofesi sebagai jaksa di Kejaksaan Agung.

Sangat disayangkan, anggota Dewan Etik lainnya tidak mempertimbangkan dua hal tersebut. Selain Achmad, Salahuddin Wahid dan Bintan R. Saragih tergabung dalam Dewan Etik Mahkamah Konstitusi. Dua anggota Dewan Etik itu memutus kasus Arief hanya dengan bersandar pada aspek legal formal. Karena terbukti bertemu dengan pihak lain tanpa undangan resmi, melainkan hanya melalui telepon, Arief dianggap tidak melakukan kesalahan besar.

Dari pertimbangan itu, Dewan Etik terkesan tak serius mengusut kasus ini. Padahal, sejak awal, isu pertemuan Arief dengan anggota Komisi Hukum di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, itu disebut-sebut sebagai upaya lobi Arief agar terpilih lagi. Arief terpilih menjadi hakim konstitusi lewat jalur Senayan. Kepada majalah Tempo, Wakil Ketua Komisi Hukum Desmond J. Mahesa terang-terangan membenarkan adanya lobi Arief yang mengaitkan perpanjangan masa jabatan dengan uji materi aturan panitia angket DPR di Mahkamah Konstitusi.

Motif pertemuan yang seharusnya menjadi fokus justru tak dijadikan perhatian utama Dewan Etik. Jika benar pertemuan itu terkait dengan lobi, keberadaan Arief di Mahkamah Konstitusi akan membahayakan independensi lembaga ini.

Terlepas dari benar atau tidaknya lobi itu, Arief seharusnya malu karena telah dua kali melakukan pelanggaran etik. Ia telah meruntuhkan wibawa dan kehormatan lembaga dan koleganya sesama hakim konstitusi. Kalau Arief negarawan, dia sebaiknya segera mundur.

Ali Umar

Ali Umar

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus