Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marco Kusumawijaya
BELAKANGAN ini saya makin rajin memesan sari jeruk alih-alih orange juice, atau teh es alih-alih iced tea, dan roti lapis isi kalkun alih-alih sandwich with turkey. Saya menikmati suasana pramugari Garuda tertegun sejenak, dan biasanya bertanya kembali untuk meyakinkan dirinya, ”Maksudnya orange juice, Pak?” atau ”Juice jeruk?” Di Banda Aceh, yang kini bertaburan kedai dengan daftar makanan yang sering berbahasa asing semata, pernah pesanan saya tidak datang setelah hampir satu jam, sehingga saya harus ke dapur untuk mengambil sendiri. Pelayan rupanya tidak menyadari bahwa ”sari wortel” dan ”roti lapis isi ayam” adalah sama dan sebangun dengan carrot juice dan sandwich with chicken.
Memang kata ”jus” sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi selain berarti ”sari buah”, ia juga berarti 1) perhitungan (angka setara) di permainan bulu tangkis (yaitu apabila kedua pemain bersama-sama mencapai angka 13 atau 14, mereka masih mendapat kesempatan untuk mengumpulkan 3 atau 5 angka lagi)… dari kata deuce (Inggris), atau deus (Prancis Kuno) atau duos (Latin); dan 2) juz, yaitu bab atau bagian (1/30) dari Al-Quran.
Jadi, supaya tidak bingung, saya memilih tetap menggunakan kata sari jeruk ketimbang jus jeruk.
Di Aceh, dalam kosakata rekonstruksi, sekarang orang sibuk sekali dengan village planning. Bahkan kata-kata ini muncul dalam surat-menyurat resmi berbahasa Indonesia. Padahal kata tata kampung atau rancangan kampung lebih tepat, sebab ”kampung” dalam budaya kita tidak serta-merta berlingkungan pedesaan (rural), tetapi dapat juga di dalam lingkungan perkotaan (urban). Hanya kepada orang asing kita perlu menerjemahkan kampung di kota menjadi urban villages, tidak kepada orang Indonesia sendiri, apalagi orang Aceh, yang sejak dulu mengerti bahwa kampung lebih bermakna lingkungan hunian tempat asal-usul atau nenek-moyang berada, bisa di kota, bisa di desa. Kalau orang mengatakan ”pulang kampung”, tidak serta-merta ia menuju ke suatu kawasan pedesaan. Sebab, mungkin saja ia bermaksud menuju ke sebuah tempat tinggal di dalam kota.
Kamus Besar Bahasa Indonesia pun sedikit tercemar. Ia mendefinisikan kampung antara lain sebagai ”kelompok rumah yang merupakan bagian kota (biasanya dihuni orang berpenghasilan rendah)”. Definisi tersebut lumayan, seandainya tidak ditambah dengan yang di dalam kurung itu. Untunglah ada yang berani melawan definisi cemar itu. Wali Kota Yogyakarta dengan gagah berani baru-baru ini mengatakan dalam suatu seminar bahwa kampung itu bagian dan ciri utama kotanya, dan kota yang baik hanya terjadi kalau kampung-kampungnya sejahtera.
Orang Aceh saya berharap akan juga berani, tak malu-malu menunjukkan bahwa orang-orang kayanya tinggal di kampung, setidaknya dulu sebelum tsunami, misalnya di Kampung Pie, yang letaknya benar-benar di dalam Kota Banda Aceh, di dekat Masjid Ulee Lheue yang terkenal itu. Mereka juga mestinya tidak perlu kecil hati menggunakan ”kedai” sebagai ganti kata ”restoran” atau café. Sebab, nyatanya ”kedai kopi” bisa saja sebesar lantai sebuah rumah toko, selebar 8 hingga 10 meter, bukan sekadar warung yang biasanya dianggap berarti kecil-kecilan. Di Medan masih ada yang setia menggunakan kata ”rumah makan”, padahal lengkap dengan pelayan berseragam di dalam ruangan yang lapang dan mewah, dengan hidangan masakan Melayu, tanpa merasa perlu menggantinya dengan kata ”restoran” atau café. Ini peninggalan bersejarah dari masa jaya Medan pada awal abad ke-19 dan abad ke-20.
Saya pun kini sedang memberanikan diri, dengan juga memesan ”sari tomat” atau ”buah campur” di hotel berbintang lima, dan dalam penerbangan Singapore Airlines, asal berangkat dari atau menuju ke Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo