Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UPAYA penghapusan kemiskinan ekstrem yang dilakukan secara progresif, dengan target keberhasilan mendekati nol persen, rupanya tak diikuti dengan upaya penanganan ketimpangan. Bahkan kondisi ketimpangan ini seolah-olah dilanggengkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam perspektif Mariana Mazzucato, dalam bukunya The Value of Everything, ketimpangan yang dilanggengkan ini berangkat dari aliran ekonomi tak proporsional antara makers dan takers. Kelompok masyarakat yang menempati kelas puncak sebagai takers telah mengekstraksi nilai yang diciptakan kelas menengah (makers) tanpa membaginya secara layak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam kondisi tersebut, intervensi negara melalui instrumen pajak menjadi esensial. Karena itu, kondisi ketidaksetaraan perlu dilihat sebagai dampak atas pilihan kebijakan ketimbang keniscayaan semata. Terlebih, sebagai negara berpendapatan menengah, Indonesia menggantungkan penerimaannya dari pajak. Sekitar 78 persen penerimaan negara bersumber dari pajak.
Momentum pergantian pemerintahan pada tahun ini perlu diawali dengan audit struktural dan pendataan basis pajak yang belum berkontribusi produktif. Optimisme pemerintah dalam mengerek pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 9,4 persen atau sebesar Rp 1.988,9 triliun pada 2024 harus didukung dengan langkah strategis lintas sektoral. Hal ini lebih layak menjadi prioritas daripada tergesa-gesa membiayai program ambisius berbiaya mahal tanpa mengukur kapasitas dan stabilitas fiskal.
Di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap relevansi pajak dalam mengatasi ketimpangan, Global Wealth Report 2023 melaporkan bahwa 5 persen populasi teratas di Indonesia menguasai 56,2 persen kekayaan nasional. Situasi ini sangat kontras dengan 50 persen populasi terbawah yang justru hanya menikmati 4,2 persen kekayaan nasional.
Potret demikian makin menjelaskan bahwa tak ada kue ekonomi yang cukup untuk memulihkan ketimpangan tanpa pendisiplinan tanggung jawab kelas atas. Namun upaya pendisiplinan kalangan puncak secara global pun tampak tak progresif. Capaian terkini yang dilaporkan Global Tax Evasion Report tahun 2024 menunjukkan hanya sekitar 0,35 persen dari kekayaan miliarder dunia yang dapat dipajaki dengan tarif pajak efektif setara dengan 0,5 hingga mendekati 0 persen dari kekayaannya.
Kebijakan yang Memanjakan Kelas Atas
Sebenarnya kita punya cukup alasan untuk menggugat kebijakan yang teramat memanjakan kelas atas. Pertama, kemapanan segelintir tak diproduksi secara otonom, melainkan tumbuh dalam interaksi sebab-akibat pasar bebas dan konstruksi sosial.
Kekayaan yang terakumulasi, misalnya, berasal dari layanan pendidikan yang mereka terima, infrastruktur dan barang publik yang memungkinkan bisnis berkembang, serta sistem kesehatan dan hukum yang memobilisasi sumber daya publik. Karena itu, pajak menjadi instrumen esensial untuk mendistribusikan manfaat ekonomi, terutama untuk mereka yang menjadi korban pertumbuhan ekonomi bercorak eksklusif.
Kedua, perekonomian perlu berjalan lebih efektif pada sebagian besar masyarakat. Lebih dari separuh pendapatan pajak global berasal dari konsumsi dan penghasilan yang cenderung terkonsentrasi pada kelas menengah ke bawah. Hal ini menjadi anomali dalam keberlanjutan globalisasi, yang di dalamnya kontribusi masyarakat kelas atas justru sangat rendah. Sebab, mereka melakukan penghindaran hingga penggelapan pajak secara sistematis.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi makro selama ini tak merepresentasikan keseluruhan populasi. Situasi ini sejalan dengan refleksi Saez dan Zugman (2019) yang memperkenalkan istilah people’s growth. Istilah ini digunakan untuk mengontraskan pertumbuhan rata-rata pendapatan antarkelompok masyarakat dengan pertumbuhan pendapatan dalam agregat makro.
Di balik serangkaian penentangan kritis untuk menggugat kalangan puncak distribusi, dunia saat ini belum menjadi tempat yang memungkinkan untuk menertibkannya. Perbankan secara global justru berkompetisi dalam menawarkan layanan yang memotivasi kalangan superkaya untuk membuka rekening di luar negara asalnya.
Fenomena global race to the bottom telah menurunkan pajak penghasilan global dari sekitar 50 persen pada era 1980-an menjadi hampir 25 persen pada awal 2010-an. Hal demikian memungkinkan pelanggan menyembunyikan aset dari pasangannya, mitra bisnis, bahkan pembiayaan kampanye politik dengan memanipulasi pengawasan valuta asing.
Atensi global yang tengah berbaik hati memberi insentif bagi industri transisi energi justru memendam risiko penghindaran tagihan pajak. Fenomena tersebut memanfaatkan celah kredit pajak yang dapat dikembalikan atau refundable tax credit. Fenomena demikian telah menggeser aksi restorasi iklim berbasis kesadaran komprehensif menuju keterlibatan samar dalam mekanisme pasar yang sarat kepentingan bisnis tertentu.
Pada akhirnya, kegagalan kebijakan publik akan membebankan risiko paling pelik kepada kelas menengah. Kelas menengah yang tak mungkin menaiki puncak, tapi harus berkorban untuk mereka yang lebih rentan. Ketika miliarder sibuk bertarung menghindari pajak, masyarakat keseluruhan dipaksa sukarela membiayai demokrasi dan mendistribusikan ekonomi dengan lebih adil. Fakta yang tak terbantahkan adalah, di mana pun posisi ekonomi kita, antrean pengorbanan tetap akan menyentuh mereka yang tak berada di puncak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.