Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Seberapa Urgen Ibu Kota Baru

Dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo meminta izin dan dukungan seluruh masyarakat untuk memindahkan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan.

22 Agustus 2019 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nirwono Joga
Pusat Studi Perkotaan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo meminta izin dan dukungan seluruh masyarakat untuk memindahkan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan. Ada tiga wilayah yang menjadi pertimbangan sebagai calon lokasi, yaitu Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Hal ini membawa konsekuensi untuk mengkaji lebih dalam kesiapan Kalimantan dari berbagai sudut pandang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alasan pemindahan ibu kota negara ke luar Jawa antara lain Jakarta dinilai telah kelebihan beban serta tak kunjung bebas banjir dan macet; serbuan arus urbanisasi; juga mendorong pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa, khususnya di Indonesia bagian timur. Tapi seberapa urgen kita memindahkan ibu kota negara di tengah keterbatasan dana dan masih banyak prioritas pembangunan lain yang lebih mendesak? Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.

Pertama, saat ini Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama pemerintah daerah se-Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi tengah menyiapkan proyek infrastruktur sebesar Rp 571 triliun untuk 10 tahun ke depan. Ada lima bidang pembangunan, yaitu transportasi, air bersih, air limbah, perumahan, dan pengendalian banjir.

Pembangunan di bidang transportasi meliputi jaringan moda raya terpadu (MRT), dari 16 km menjadi 223 km, senilai Rp 214 triliun; kereta ringan (LRT), dari 5,8 km menjadi 116 km, senilai Rp 60 triliun; bus Transjakarta dan daerah sekitarnya, dari 431 km menjadi 2.149 km, senilai Rp 10 triliun; jalur kereta dalam kota sebidang yang akan dinaikkan sepanjang 27 km senilai Rp 27 triliun; serta revitalisasi angkutan kota hingga 20 ribu unit senilai Rp 4 triliun.

Kemudian pembangunan penyediaan air bersih, dari cakupan saat ini sebesar 60 persen dari total penduduk DKI Jakarta menjadi 100 persen terlayani, senilai Rp 27 triliun. Peningkatan pengolahan air limbah senilai Rp 69 triliun, dari cakupan layanan 14 persen penduduk menjadi 81 persen penduduk. Terakhir, pembangunan 600 ribu unit rumah baru senilai Rp 90 triliun serta pengendalian banjir dan penambahan pasokan air senilai Rp 70 triliun.

Pembangunan infrastruktur yang masif dan mahal ini seharusnya membuat Jakarta bebas banjir, lalu lintas lancar, dan urbanisasi terdistribusikan merata pada 2030. Jika kita semua yakin akan hal itu, Jakarta masih layak dipertahankan sebagai ibu kota negara.

Kedua, jika pemerintah ingin membangun Indonesia-sentris, yang seharusnya dilakukan adalah mendorong pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru untuk meredam arus urbanisasi ke Jakarta. Kota/Kabupaten Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dikembangkan sebagai kota metropolitan penyangga Jakarta yang didukung pembangunan infrastruktur, properti, dan industri sebagai peredam lapis pertama. Selain itu, perlu dikembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di Kota Bandung, Jawa Barat; Semarang, Jawa Tengah; dan Surabaya, Jawa Timur, yang merupakan provinsi penyumbang utama pendatang ke Jakarta (lapis kedua).

Di luar Jawa, pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi difokuskan per pulau (lapis ketiga), seperti Kota Medan, Padang, dan Palembang di Sumatera; Pontianak, Balikpapan, dan Banjarmasin di Kalimantan; Manado, Kendari, dan Makassar di Sulawesi; serta Jayapura, Manokwari, Sorong, dan Merauke di Papua.

Dengan demikian, Jakarta dapat tetap menjadi ibu kota negara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan DKI Jakarta Raya Tetap sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia dengan Nama Jakarta dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketiga, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa diperlukan cara berpikir jangka panjang, bisa 50 atau 100 tahun lagi, dan berlingkup luas dalam membahas rencana pemindahan ibu kota. Membangun sebuah kota membutuhkan waktu sekitar 20 tahun. Pada periode 5-10 tahun berfokus pada pembangunan infrastruktur kota berupa istana negara, gedung pemerintahan, dan permukiman aparat sipil negara. Pada periode 11-20 tahun membangun kantor kedutaan besar, kantor pusat partai politik, dan hunian vertikal untuk penduduk.

Semakin jauh lokasi ibu kota baru dari ibu kota saat ini tentu membuat biaya pembangunan semakin mahal. Membangun di tanah yang kosong pasti lebih mahal dibandingkan dengan meningkatkan infrastruktur dan fasilitas kota yang sudah ada. Pemerintah memerlukan determinasi yang kuat dan konsisten dalam membangun kota. Selain itu, pemerintah dan parlemen perlu merevisi rencana tata ruang dan wilayahnya, yang juga akan memakan waktu lebih dari lima tahun.

Perlu diingat pula bahwa Kalimantan adalah paru-paru dunia. Pendekatan pembangunan berbasiskan alam harus dilakukan dengan menghentikan deforestasi, penanaman pohon kembali, serta merestorasi ekosistem hutan bakau dan gambut berbasis masyarakat.

Pemindahan ibu kota negara adalah keputusan politik bersama, yang membutuhkan pemikiran panjang dan penuh kehati-hatian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus