Umar Bakri, Umar Bakri pegawat negeri . . .
IWAN Fals menyanyi tentang gurunya. Lagu itu, beredar sejak
tahun lalu bukanlah sebuah hymne. Tapi ia penuh simpati, justru
karena ia punya sedikit cemooh. Kalimat akhirnya, seperti
sebuah antiklimaks, dilagukan Iwan dengan nada yang merendah
mendadak pegawai negeri . . .
Apa salahnya pegawai negeri? Tak ada yang salah, juga dalam hal
guru Umar Bakri. Yang salah adalah imajinasi Iwan Fals.
Memang, sebagian orang suka membayangkan pegawai negeri sebagai
sebuah inventaris lama dalam sebuah kantor. Kantor itu Republik
Indonesia, dan benda yang disebut "pegawai negeri" itu sebuah
kursi yang rotannya sudah kusam. Ada sebuah meja, penuh bekas
api rokok. Ada sebuah ruang, yang tak pernah lagi dipel. Ada
sederet map kertas, yang tak jelas fungsinya, toh sementara itu
semuanya tak bisa dibuang.
Tapi betapa keliru, betapa tak adilnya bayangan itu.
Setidaknya karena orang lain bisa membayangkannya secara lain.
Yakni tentang orang-orang bersafari yang gagah. Yang tidak
merana. Yang tidak harus miskin, atau telantar, karena negara
menyediakan subsidi besar untuk belanja mereka. Yang, bila dapat
peran dalam proyek pembangunan, akan dapat pula honor tambahan,
fasilitas tambahan dan perhatian tambahan--dan begitu repot tapi
penting hingga orang akan senang hati memberikan
tambahan-tambahan lain kepada mereka . . .
Jangan salah paham. Bila bayangan itu salah dan mengandung rasa
iri, ada gambaran lain yang bisa ditawarkan: pegawai negeri
adalah orang-orang yang tidak lemah, tidak pula sepele.
Sebab merekalah yang bisa menentukan surat nikah kita dan surat
talak kita, juga surat izin usaha kita. Merekalah yang
menentukan pajak kita, status rumah kita, kelancaran perjalanan
kita, keterangan berkelakuan baik untuk kita nasib sekolah anak
kita, informasi yang akan kita dapat dan tidak akan kita dapat.
Bahkan mereka juga bisa mengatur sekeras apa kita boleh marah,
atau sejelas mana kita dapat berterus-terang.
Dan bila gambaran ini pun tak memuaskan, ataupun menyinggung
perasaan, baiklah cukup untuk disebutkan: mereka yang suka
meremehkan pegawai negeri adalah orang yang kurang menyadari
diri.
Sebab pegawai negeri, dalam artian sebagai birokrasi, adalah
suatu keniscayaan. Zaman ini tak ada suatu kekuatan pun, apalagi
seorang warganegara, yang bisa mengelakkannya. Dalam sejarah,
cita-cita besar untuk menyingkirkannya bukan tidak ada, tapi
hasilnya adalah sebuah lelucon.
Salah satu lelucon itu bernama Lenin. Dia menulis satu teori
revolusi yang tajam dan cemerlang, berjudul Negara dan Revolusi.
Di sana dinyatakannya, bahwa dalam revolusi, mesin negara yang
lama harus dihancurkan Setelah itu, aparat administrasi harus
berada di tangan rakyat: langsung, seperti dalam Komune Paris
1871. Rakyat ini akan jadi petugas, tapi bukan birokrat. Sebab
birokrasi, kata Lenin, adalah "orangorang dengan previlese, yang
terpisah dari rakyat dan berdiri di atas rakyat".
Tapi apa lacur Revolusi terjadi. tapi setelah itu Uni Soviet
barangkali negara birokrasi yang terbesar di dunia sekarang - di
samping beberapa negara berkembang di Asia dan Afrika. Memang,
menurut niat kaum revolusioner Soviet yang awal -- misalnya
Trotsky -- birokrasi itu segera akan diimbangi oleh Partai, dan
dikontrol oleh Partai. Namun kemudian Stalin memerintah, dan
terbukti batas antara birokrasi dan Partai sukar dipisahkan
lagi.
Birokrasi itu kemudian yang menjadi Partai. Birokrasi itu pula
yang memiliki Partai. Rakyat memang bisa memilih, tapi dengan
keadaan itu tak mengutik apa-apa. Itulah inti dari tulisan
termasyhur Milovan Djilas, bekas tokoh komunis Yugoslavia itu,
Kelas Baru: suatu kritik tentang birokrasi yang tak punya
majikan lagi, karena sudah menjadi majikan atas dirinya sendiri
dan bahkan majikan atas semuanya. Mao kemudian mencemaskannya di
Cina, dan ia menghantam mereka dengan Revolusi Kebudayaan.
Tapi Mao gagal, sebagaimana Lenin keliru sangka. Pegawai
negerilah, bukannya para pahlawan, yang benar tak mati-mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini