Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Sebuah lelucon

Pegawai negeri adalah orang yang tidak lemah & tidak sepele. dalam artian birokrasi adalah sebagai suatu keniscayaan, tak ada kekuatan dapat mengelakan. cita-cita untuk menghapuskannya hanyalah sebuah lelucon.

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Umar Bakri, Umar Bakri pegawat negeri . . . IWAN Fals menyanyi tentang gurunya. Lagu itu, beredar sejak tahun lalu bukanlah sebuah hymne. Tapi ia penuh simpati, justru karena ia punya sedikit cemooh. Kalimat akhirnya, seperti sebuah antiklimaks, dilagukan Iwan dengan nada yang merendah mendadak pegawai negeri . . . Apa salahnya pegawai negeri? Tak ada yang salah, juga dalam hal guru Umar Bakri. Yang salah adalah imajinasi Iwan Fals. Memang, sebagian orang suka membayangkan pegawai negeri sebagai sebuah inventaris lama dalam sebuah kantor. Kantor itu Republik Indonesia, dan benda yang disebut "pegawai negeri" itu sebuah kursi yang rotannya sudah kusam. Ada sebuah meja, penuh bekas api rokok. Ada sebuah ruang, yang tak pernah lagi dipel. Ada sederet map kertas, yang tak jelas fungsinya, toh sementara itu semuanya tak bisa dibuang. Tapi betapa keliru, betapa tak adilnya bayangan itu. Setidaknya karena orang lain bisa membayangkannya secara lain. Yakni tentang orang-orang bersafari yang gagah. Yang tidak merana. Yang tidak harus miskin, atau telantar, karena negara menyediakan subsidi besar untuk belanja mereka. Yang, bila dapat peran dalam proyek pembangunan, akan dapat pula honor tambahan, fasilitas tambahan dan perhatian tambahan--dan begitu repot tapi penting hingga orang akan senang hati memberikan tambahan-tambahan lain kepada mereka . . . Jangan salah paham. Bila bayangan itu salah dan mengandung rasa iri, ada gambaran lain yang bisa ditawarkan: pegawai negeri adalah orang-orang yang tidak lemah, tidak pula sepele. Sebab merekalah yang bisa menentukan surat nikah kita dan surat talak kita, juga surat izin usaha kita. Merekalah yang menentukan pajak kita, status rumah kita, kelancaran perjalanan kita, keterangan berkelakuan baik untuk kita nasib sekolah anak kita, informasi yang akan kita dapat dan tidak akan kita dapat. Bahkan mereka juga bisa mengatur sekeras apa kita boleh marah, atau sejelas mana kita dapat berterus-terang. Dan bila gambaran ini pun tak memuaskan, ataupun menyinggung perasaan, baiklah cukup untuk disebutkan: mereka yang suka meremehkan pegawai negeri adalah orang yang kurang menyadari diri. Sebab pegawai negeri, dalam artian sebagai birokrasi, adalah suatu keniscayaan. Zaman ini tak ada suatu kekuatan pun, apalagi seorang warganegara, yang bisa mengelakkannya. Dalam sejarah, cita-cita besar untuk menyingkirkannya bukan tidak ada, tapi hasilnya adalah sebuah lelucon. Salah satu lelucon itu bernama Lenin. Dia menulis satu teori revolusi yang tajam dan cemerlang, berjudul Negara dan Revolusi. Di sana dinyatakannya, bahwa dalam revolusi, mesin negara yang lama harus dihancurkan Setelah itu, aparat administrasi harus berada di tangan rakyat: langsung, seperti dalam Komune Paris 1871. Rakyat ini akan jadi petugas, tapi bukan birokrat. Sebab birokrasi, kata Lenin, adalah "orangorang dengan previlese, yang terpisah dari rakyat dan berdiri di atas rakyat". Tapi apa lacur Revolusi terjadi. tapi setelah itu Uni Soviet barangkali negara birokrasi yang terbesar di dunia sekarang - di samping beberapa negara berkembang di Asia dan Afrika. Memang, menurut niat kaum revolusioner Soviet yang awal -- misalnya Trotsky -- birokrasi itu segera akan diimbangi oleh Partai, dan dikontrol oleh Partai. Namun kemudian Stalin memerintah, dan terbukti batas antara birokrasi dan Partai sukar dipisahkan lagi. Birokrasi itu kemudian yang menjadi Partai. Birokrasi itu pula yang memiliki Partai. Rakyat memang bisa memilih, tapi dengan keadaan itu tak mengutik apa-apa. Itulah inti dari tulisan termasyhur Milovan Djilas, bekas tokoh komunis Yugoslavia itu, Kelas Baru: suatu kritik tentang birokrasi yang tak punya majikan lagi, karena sudah menjadi majikan atas dirinya sendiri dan bahkan majikan atas semuanya. Mao kemudian mencemaskannya di Cina, dan ia menghantam mereka dengan Revolusi Kebudayaan. Tapi Mao gagal, sebagaimana Lenin keliru sangka. Pegawai negerilah, bukannya para pahlawan, yang benar tak mati-mati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus