Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Segera Buka Dialog untuk Papua

Pendekatan keamanan dan kesejahteraan terbukti gagal mengatasi konflik di Papua. Presiden perlu membentuk tim khusus untuk menciptakan dialog.

25 Maret 2020 | 06.58 WIB

Persekusi dan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua, tak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Masalahnya apa yang terjadi di Surabaya dan Malang hanyalah pemicu semata.  Pemerintah harus menyelesaikan konflik di tanah Papua sampai ke akar-akarnya, yaitu  ketidakpuasan masyarakat melihat tindakan pemerintah di masa lalu. Selain itu, marginalisasi dalam proses pembangunan juga harus dihentikan. Proses pembangunan tidak boleh hanya mengedepankan fisik tetapi juga peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat Papua.
Perbesar
Persekusi dan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua, tak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Masalahnya apa yang terjadi di Surabaya dan Malang hanyalah pemicu semata. Pemerintah harus menyelesaikan konflik di tanah Papua sampai ke akar-akarnya, yaitu ketidakpuasan masyarakat melihat tindakan pemerintah di masa lalu. Selain itu, marginalisasi dalam proses pembangunan juga harus dihentikan. Proses pembangunan tidak boleh hanya mengedepankan fisik tetapi juga peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat Papua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

PEMERINTAH semestinya mengevaluasi keberadaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di Papua. Jumlah yang masif dari personel pertahanan dan keamanan tersebut terbukti gagal menciptakan perdamaian di wilayah itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kekerasan di Papua belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Sejak 28 Februari hingga 9 Maret lalu, terjadi tiga kali tembak-menembak di Kabupaten Mimika, Papua. Seorang polisi dan satu tentara tewas akibat insiden itu. Lebih dari 1.500 penduduk Tembagapura, Mimika, mengungsi ke Kabupaten Timika. Pada 12 Maret, kelompok bersenjata membakar gereja di Tembagapura, yang sempat dijadikan tempat persembunyian mereka. Di Kabupaten Nduga, sekitar 250 penduduk tewas akibat konflik sejak Desember 2018 hingga Februari lalu.

Pemerintah berkukuh mempertahankan keberadaan personel gabungan di Papua. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menyatakan pemerintah Joko Widodo tak akan menarik sekitar 5.000 polisi dan tentara di wilayah itu. Mahfud menyatakan penarikan pasukan akan membuat Papua hancur.

Rezim Jokowi memilih terus mendaur ulang kekerasan di Papua. Kehadiran polisi dan tentara dalam jumlah besar, disertai tindakan represif terhadap penduduk lokal, menjadi salah satu akar persoalan yang tak pernah tuntas. Apalagi pemerintah terus mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat negara. Kejaksaan Agung pada awal Maret lalu memutuskan mengembalikan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atas dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai yang menewaskan empat penduduk pada Desember 2014.

“Pendekatan kesejahteraan” ala Jokowi pun bukan solusi mujarab. Presiden sejak 2014 belasan kali berkunjung ke Papua. Ia juga membangun Jalan Trans Papua untuk menghubungkan berbagai kota. Selain itu, ia membuat “tol laut”-angkutan kapal untuk memudahkan pengangkutan logistik ke wilayah tersebut. Namun upaya ini belum menunjukkan hasil. Tahun lalu pertumbuhan ekonomi di sana bahkan minus 15,72 persen.

Pemerintah Jokowi juga belum mampu menciptakan sistem pemerintahan yang baik dan transparan di Papua. Dana otonomi khusus untuk Papua banyak diselewengkan. Walhasil, penggunaan dana Rp 94,24 triliun sejak 2002 tidak terlihat efektif.

Pemerintah seharusnya segera membuka dialog dengan berbagai komponen masyarakat di Papua. Namun dialog baru bisa terlaksana jika pemerintah mengurangi keberadaan polisi dan tentara di wilayah itu. Jokowi bisa belajar dari pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang berhasil menyelesaikan konflik di Aceh pada 2005. Pemerintah saat itu mengedepankan dialog dengan Gerakan Aceh Merdeka dan berhasil mencapai kesepakatan damai-meski, perlu disebut, perdamaian cepat tercapai setelah bencana tsunami melanda provinsi itu pada akhir 2004.

Presiden Jokowi perlu membentuk unit kerja khusus untuk mengatasi berbagai persoalan di Papua. Diisi kalangan profesional dan melibatkan warga Papua, tim ini bisa mendesain peta jalan perdamaian di wilayah tersebut. Termasuk mencari solusi untuk menghentikan dan menuntaskan berbagai pelanggaran hak asasi manusia.

Sudah saatnya Jokowi menunjukkan keseriusannya mengatasi krisis kemanusiaan di Papua. Dia bisa memulainya dengan memberikan rasa keadilan untuk rakyat Papua melalui penuntasan berbagai kasus hak asasi. Mengabaikan kejahatan hak asasi di Papua bakal membuat posisi Indonesia terus disorot dunia.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus