Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edwin Partogi Pasaribu
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada kasus korupsi PT Jiwasraya, penyidik Kejaksaan Agung telah mencegah 16 orang pergi ke luar negeri dan menetapkan enam tersangka, tiga dari Jiwasraya dan tiga dari swasta. Jaksa Agung S.T. Burhanuddin mengatakan jumlah tersangka masih terus bertambah. Bila di antara pelaku di luar pelaku utama mau bekerja sama dengan penyidik, mereka berpeluang mendapatkan keringanan tuntutan dan pidana ringan. Adakah di antara pelaku itu yang memenuhi syarat sebagai saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator)?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di antara para tersangka itu tentu ada pelaku utama dan bukan utama. Dalam tindak pidana yang pelakunya lebih dari satu orang, tingkat kesalahan ditentukan oleh peran masing-masing. Dalam hukum pidana dikenal beberapa kategori pelaku, yakni yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen), yang turut melakukan perbuatan (medeplegen), yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken), dan yang membantu perbuatan (medplichtig zihjn). Pengadilan berpeluang menghukum pelaku dengan hukuman maksimal. Namun, bagi pelaku yang tidak masuk kategori pelaku utama, masih terbuka peluang untuk mendapatkan keringanan hukuman. Bagaimana caranya?
Saksi pelaku atau justice collaborator juga dikenal sebagai cooperative whistleblower, participant whistleblower, collaborator with justice, atau pentiti (bahasa Italia). Mereka adalah tersangka, terdakwa, atau narapidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana yang sama. Syarat dan haknya diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Syaratnya, antara lain, adalah tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu (korupsi, misalnya). Sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), saksi pelaku memiliki keterangan penting untuk mengungkap tindak pidana tersebut, bukan pelaku utamanya, bersedia mengembalikan aset dari tindak pidana itu, dan ada ancaman atau tekanan fisik atau psikis terhadap saksi pelaku atau keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap.
Mereka yang ditetapkan sebagai saksi pelaku akan mendapat perlakuan khusus dalam peradilan. Misalnya, ada pemisahan tempat penahanan mereka dengan tersangka, terdakwa, atau narapidana yang diungkap tindak pidananya. Ada pemisahan pemberkasan perkaranya dengan pelaku lain atau memberikan kesaksian tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa.
Orang yang mendapatkan status pelaku saksi dapat memperoleh penghargaan atas kerja sama yang diberikannya berupa keringanan hukuman dan pemenuhan hak-hak narapidana, seperti pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lainnya.
Namun dalam penerapan saksi pelaku ini masih ada beberapa tantangan. Pertama, istilah "saksi pelaku" tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab itu hanya mengenal saksi korban, saksi a de charge (yang meringankan terdakwa), saksi a charge (yang memberatkan terdakwa), dan saksi de auditu (yang hanya mendengar dari orang lain). Di luar itu dikenal juga istilah "saksi mahkota" berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 2437 K/Pid.Sus/2011. Dalam beberapa kesempatan, masih terdapat penyidik yang menolak adanya status saksi pelaku dengan dalih status tersebut tidak ada dalam KUHAP.
Kedua, LPSK masih kesulitan untuk mendapatkan informasi dari penyidik terkait dengan penyidikannya apabila ada permohonan dari pelaku kepada LPSK untuk menjadi saksi pelaku. Ketiga, bila saksi pelaku ditetapkan oleh hakim tanpa diminta oleh jaksa penuntut umum, ada keengganan di kalangan jaksa untuk menyatakannya dalam berita acara ke lembaga pemasyarakatan.
Keempat, pemberian rekomendasi sebagai saksi pelaku belum terkonsentrasi pada LPSK. Tapi penetapan saksi pelaku oleh penyidik, jaksa, dan kepala lembaga pemasyarakatan berpotensi memiliki konflik kepentingan, bahkan hubungan yang koruptif. Dalam hal ini, LPSK telah meminta kepada presiden melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menerbitkan peraturan presiden tentang koordinasi aparat penegak hukum dan LPSK mengenai saksi pelaku.
Namun tantangan juga ada pada posisi pelaku yang berperan sebagai saksi pelaku, seperti akan dimusuhi oleh rekan-rekannya sendiri. Ancaman keselamatan jiwa dan pembalasan fisik kepada dirinya atau keluarganya akan muncul. Para saksi pelaku akan berpotensi dihabisi karier dan mata pencariannya. Tantangan lainnya, mereka akan berhadapan dengan kerumitan dan berbelitnya proses hukum yang harus mereka lewati.
Menjerat para pelaku tindak pidana terorganisasi seperti korupsi tidaklah mudah. Negara juga membutuhkan pengembalian kerugian yang optimal yang dapat diselamatkan. Di sisi lain, efek jera serta peringatan kepada siapa pun untuk tidak melakukan kejahatan serupa harus menjadi pesan yang terang dalam proses peradilan. Keberanian para pelaku minor sebagai saksi pelaku untuk mengungkap fakta-fakta atas peristiwa tersebut adalah salah satu kuncinya.
Korupsi adalah ancaman serius bagi kelangsungan pembangunan, supremasi hukum, dan demokrasi. Karena itu, upaya memerangi korupsi harus dilakukan dengan strategi yang jitu, termasuk berkolaborasi dengan pelaku minornya.