Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Selamatkan Air Jakarta

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan baru-baru ini melakukan gebrakan.

20 April 2018 | 07.30 WIB

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan hasil audit razia air tanah terhadap gedung-gedung di Jalan Thamrin-Sudirman, di Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu, 11 April 2018. Tempo/Irsyan Hasyim
Perbesar
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan hasil audit razia air tanah terhadap gedung-gedung di Jalan Thamrin-Sudirman, di Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu, 11 April 2018. Tempo/Irsyan Hasyim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Nirwono Joga
Kemitraan Kota Hijau

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan baru-baru ini melakukan gebrakan. Tim terpadu Pemerintah Provinsi DKI melakukan inspeksi mendadak terhadap 77 dari target 80 gedung di kawasan Sudirman-Thamrin. Hasilnya, 37 gedung tidak memiliki sumur resapan dan tujuh tidak memiliki instalasi pengolahan air limbah. Ancamannya, sertifikat laik fungsi hingga izin operasional gedung bisa dicabut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jakarta memang harus lebih serius mengatasi persoalan air bersih dan air tanah. Penurunan muka tanah merupakan ancaman nyata terbesar di Ibu Kota. Penurunannya sebesar 4-28 cm per tahun. Penyebabnya adalah penyedotan air tanah yang tidak terkendali, beban gedung pencakar langit, infrastruktur jalan, dan kendaraan berat. Hal yang juga patut diperhatikan adalah kenaikan muka air laut. Kenaikan akibat perubahan iklim di pantai utara Jakarta berkisar 0,6-1,5 cm per tahun.

Penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut yang terjadi bersamaan telah memperberat kondisi lingkungan pantai. Dampaknya adalah limpasan air laut (rob) dan banjir semakin luas serta ancaman menghilangnya pesisir daratan pantai.

Perkembangan kota membutuhkan air tanah. Untuk itu, kota harus didukung ketersediaan air yang memadai dari sumber mata air dalam dan air permukaan yang terjaga kelestariannya. Untuk mengerem laju penurunan muka tanah, hal yang harus dilakukan adalah menghentikan secara bertahap penyedotan air tanah, memberikan jaminan ketersediaan air baku yang memadai, dan menerapkan konsep ekodrainase kota.

Langkah apa yang harus pemerintah lakukan? Pertama, peningkatan pasokan air. Produksi air bersih Jakarta masih bergantung pada luar DKI dengan rincian dari Waduk Jatiluhur (81 persen), perusahaan daerah air minum Tangerang (14 persen), dan Sungai Krukut (5 persen). Pemanfaatan air bersih di DKI sebesar 560 juta meter kubik (2015) dan yang tersalurkan baru 330 juta meter kubik (60 persen). Itu pun lebih banyak dinikmati kalangan menengah ke atas (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah DKI Jakarta 2018-2022).

Pasokan air baku ke Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta (PAM Jaya) dari Kalimalang, Sungai Cisadane, dan sungai lain sebesar 26,9 meter kubik per detik atau 2,3 juta meter kubik per hari (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2018).

Jika satu orang butuh air bersih 60 liter atau 0,06 meter kubik per hari, 12 juta jiwa warga Jakarta membutuhkan 720 ribu meter kubik per hari. Itu artinya hanya sepertiga dari suplai air baku. Persoalannya, kebocoran saluran air pipa mencapai 40 persen, yang membuat layanan air bersih melalui pemipaan ini tidak merata dan tak stabil memasok.

Kedua, meningkatkan ketahanan air Jakarta, dari 27,78 persen kemampuan sumber daya alam/air (SDA) dan 72,78 persen sumber air perpipaan pada 2017 menjadi 82,34 persen dari SDA dan 10 persen air perpipaan pada 2030. Neraca air DKI diperkirakan memiliki potensi ketersediaan sumber air 2,34 juta meter kubik dan kebutuhan 1,28 juta meter kubik, maka ada cadangan 632 ribu meter kubik lebih (Rachmat F. Lubis, LIPI, 2018). Hal ini dapat terwujud jika pemerintah melakukan optimalisasi sumber pasokan air, seperti air permukaan statis, air permukaan dinamis, air hujan andalan, air tanah dangkal, air tanah dalam, dan air hasil pengolahan air bekas (intervensi teknologi tepat guna).

Ketiga, pemerintah harus menjamin kualitas, kuantitas, dan kesinambungan ketersediaan air bersih. Peningkatan kualitas air dapat dilakukan dengan cara mengurangi (dan menghentikan) polusi pada sumber-sumber air, mengolah limbah secara optimal di sumbernya, serta menghindari pembuangan sampah terbuka.

Peningkatan kuantitas air dilakukan melalui gerakan panen air (hujan), mengurangi bertahap pengambilan air tanah, menerapkan pertanian hemat air, memperbanyak ruang terbuka hijau (daerah resapan air), dan penguatan konektivitas antar-unsur dalam ekosistem (tanah-vegetasi-air).

Peningkatan kesinambungan air melalui pengelolaan SDA, khususnya air tanah, dilakukan secara terpadu dari hulu (pegunungan) sampai hilir (laut). Konservasi SDA harus terukur dan terpadu agar defisit kuantitas air seiring pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan.

Keempat, pendekatan kota ramah air adalah bagaimana setiap lahan dapat menampung air sebanyak-banyaknya dan kemudian diresapkan sebesar-besarnya ke dalam tanah (ekodrainase), seperti naturalisasi sungai; revitalisasi situ, danau, embung dan waduk; rehabilitasi saluran air kota; memperbanyak ruang terbuka hijau; serta membangun sumur resapan dan kolam penampung air di halaman rumah, sekolah, area parkir perkantoran, dan pusat belanja.

Ketika pasokan air bersih sudah terpenuhi, termasuk bagi keperluan rumah tangga, industri, gedung bertingkat, dan kawasan khusus lainnya, pada saat itulah pemerintah DKI harus menghentikan perizinan pengambilan air tanah serta menegakkan aturan hukum yang tegas bagi pelanggar.

Nirwono Joga

Pusat Studi Perkotaan

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus