Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Selamatkan Lahan Gambut Kalimantan Tengah

Petaka lingkungan terbesar di jagat di Kalimantan Tengah luput dari perhatian pemerintah.

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROYEK lahan gambut sejuta hektare adalah proyek khas Orde Baru. Idenya kolosal, biayanya triliunan, dan biasanya didalihkan untuk kepentingan dan hajat hidup orang banyak. Demi ide kolosal itu, yang biasanya datang dari Soeharto, analisis dampak lingkungan biasanya disepelekan—jika tak mau disebut dibuang ke tong sampah.

Proyek di Kalimantan Tengah ini adalah contoh yang tepat. Soeharto punya impian mencetak sawah seluas sejuta hektare di atas tanah rawa. Padahal, sebagai petani, seharusnya dia paham benar bahwa padi tidak bisa subur di tanah yang asam. Tapi dia segera ingin menghasilkan 1,5 juta ton beras dari sawah di rawa-rawa itu. Dan angka itu pastilah cukup untuk membuat Indonesia swasembada beras. Apalagi tanah pertanian di Jawa pelan tapi pasti setiap tahun terampas kawasan perumahan dan industri.

Orang tahu bagaimana keras hatinya Soeharto dalam mewujudkan impiannya. Suatu hari di tahun 1995, ia memanggil tujuh menteri dan menyiapkan peta Kalimantan Barat yang sudah lengkap dengan saluran irigasi buatan (lihat Investigasi, Pertaruhan Baru di Lahan Gambut). Sebuah kendala lingkungan menghadang. Kawasan sejuta hektare itu telah ditetapkan Soeharto sendiri sebagai kawasan lindung ekosistem gambut melalui keputusan presiden. Tapi, "demi kepentingan yang lebih luas", kepentingan lingkungan harus dikalahkan. Hutan rawa gambut itu pun dikoyak-koyak dengan saluran irigasi dan kanal-kanal.

Kita tahu yang terjadi kemudian. Hutan tropis basah dan lahan gambut dibuka paksa. Pemiskinan mendera penduduk karena suku Dayak, yang biasa berladang berpindah, tak bisa mengikuti tradisi bercocok tanam padi seperti di Jawa. Puluhan ribu transmigran yang didatangkan juga tidak berdaya menghadapi masamnya tanah. Sudah begitu, memasuki tahun kedua, rumah transmigran mulai kebanjiran air yang masuk lewat kanal irigasi.

Hanya dalam jangka waktu enam bulan, kawasan gambut itu sudah menjadi kawasan yang dinyatakan oleh lembaga konservasi internasional, IUCN, sebagai tragedi kerusakan lingkungan terbesar sejagat. Presiden Habibie, yang menggantikan Soeharto, menghentikan proyek ini.

Sayangnya, pemerintah Megawati tidak memasukkan proyek gambut sejuta hektare sebagai kawasan yang akan dibenahi dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan—yang dicanangkan Presiden Megawati, Rabu pekan lalu. Yang menurut kami membahayakan, masih ada ide untuk kembali menggarap hutan gambut itu sebagai lahan perikanan, perkebunan, dan persawahan, selain konservasi hutan.

Semua ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak belajar dari kesalahan masa lalu. Wilayah itu tak bisa lagi dibuka, ekosistemnya sudah rusak berat. Satu-satunya cara yang boleh dilakukan adalah merehabilitasi hutan rawa-rawa itu. Investasi yang dilakukan seharusnya dipakai untuk membuat lahan gambut di kawasan itu kembali terendam air dan tidak dibiarkan kering. Dan ini tanggung jawab pusatlah untuk melakukannya—pihak yang dulu "merusaknya".

Dengan hutan gambut yang kembali basah, kemampuan kawasan gambut itu menyimpan karbon (CO2) akan pulih kembali, dan potensi terbakarnya hutan bisa dihindari. Dan kemampuan lahan gambut menyimpan karbon ini bisa menghindarkan bumi dari pemanasan global. Ada banyak negara yang bersedia mengucurkan dana untuk program membuat iklim dunia menjadi lebih baik, misalnya Kanada dan Uni Eropa. Bisa jadi, pemerintah tak perlu mengeluarkan dana untuk rehabilitasi dan konservasi lahan gambut itu. Biarlah masyarakat dunia ikut membantu menyehatkan "paru-paru" bumi yang terkoyak di Kalimantan Tengah itu.

Dengan memberi perhatian pada hutan dan lahan gambut, pemerintah Megawati bisa terhindar dari anggapan bahwa tekad mewujudkan pembangunan berwawasan ekonomi, sosial, dan lingkungan hanyalah pemanis bibir belaka. n

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus