Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Seleksi Penjaga Konstitusi

Panitia Seleksi Calon Hakim Mahkamah Konstitusi sudah sepatutnya menelusuri rekam jejak sembilan calon hakim konstitusi secara cermat dengan menggandeng lembaga lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi.

11 Juli 2018 | 07.14 WIB

Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mengikuti fit and proper test calon hakim MK di Ruang Rapat Komisi III DPR pada Rabu, 6 Desember 2017. Dewi
Perbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mengikuti fit and proper test calon hakim MK di Ruang Rapat Komisi III DPR pada Rabu, 6 Desember 2017. Dewi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Panitia Seleksi Calon Hakim Mahkamah Konstitusi sudah sepatutnya menelusuri rekam jejak sembilan calon hakim konstitusi secara cermat dengan menggandeng lembaga lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagai penjaga konstitusi, calon hakim yang kelak terpilih tak cuma harus mempunyai ilmu hukum yang tinggi, tapi juga memiliki integritas yang tanpa cela.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Dengan bekal data dan informasi dari Panitia Seleksi, Presiden Joko Widodo akan memilih satu dari sembilan calon untuk menggantikan Maria Farida Indrati, yang masa jabatannya akan habis pada 13 Agustus mendatang setelah 10 tahun menjadi hakim konstitusi. Maka, agar penelusuran tersebut semakin saksama, Panitia Seleksi perlu melibatkan publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masyarakat harus diundang untuk menyigi calon dan memberikan masukan. Misalnya, dengan menerima audiensi atau membuka kotak pos dan semacamnya untuk menampung laporan. Partisipasi publik dan keterbukaan panitia dalam proses seleksi niscaya akan mendorong munculnya calon terbaik.

Tugas Panitia Seleksi tak mudah karena calon hakim dari jalur pemerintah ini-satu dari tiga jalur pemilihan selain dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Agung-harus memiliki kualitas sekurang-kurangnya setara dengan Maria Farida Indrati. Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Universitas Indonesia itu dikenal sebagai hakim yang progresif dan berpihak pada hak asasi manusia.

Maria berulang kali berbeda pendapat dengan hakim lain dalam memutus uji materi. Misalnya, ia setuju pasal penodaan agama dihapus karena, antara lain, penerapannya sering sewenang-wenang. Sebaliknya, ia tak setuju atas pernikahan dini dengan alasan suatu perkawinan mesti didasari kematangan jiwa dan demi kesehatan reproduksi. Ia pun menolak Undang-Undang Pornografi karena pasal-pasalnya sudah terkandung dalam undang-undang lain, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Contoh lainnya bisa dilihat dari pendapatnya yang menolak KPK sebagai obyek angket DPR karena komisi antikorupsi memiliki ciri sebagai lembaga independen, yang bertanggung jawab kepada publik. Dalam hal hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan, Maria beranggapan kasus itu tak bisa dibawa ke pengadilan.

Sebab, seperti yang dikatakan Maria, hukum pidana memang tak boleh masuk ke wilayah privat. Maka, di tengah menggejalanya populisme dan konservatisme, kita memerlukan hakim konstitusi seperti Maria untuk menjaga nalar publik.

Manakala kompetensi keilmuan dan integritas para kandidat sejajar, Panitia Seleksi perlu mempertimbangkan keterwakilan kelompok minoritas. Contohnya seperti Maria Farida. Ia hakim konstitusi perempuan pertama dan satu-satunya perempuan di antara sembilan hakim konstitusi. Ia penganut Katolik dan seorang difabel.

Mengakomodasi kelompok minoritas sebagai salah seorang penjaga konstitusi merupakan tradisi yang bagus dalam merawat keberagaman. Sebab, di atas fondasi itulah republik ini dibangun.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus