Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEANDAINYA bekas presiden Soeharto sehat, dan ia mau datang ke pengadil-an, apa jawabnya atas tuduhan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang ditimpakan kepadanya? Seorang pengamat politik membayangkan Soeharto akan berkata dengan lantang, ”Saya ini pemimpin po-litik. Pertanggungjawaban atas apa yang saya lakukan merupakan pertanggungja-waban politik juga. Dan itu sudah saya sampaiken setiap kali sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat diadakan, juga su-dah diterima wakil-wakil rakyat dengan sua-ra bulat.” Hakim yang mengadilinya tentu perlu amunisi lebih kuat untuk mencecar lebih jauh jenderal bintang lima itu.
Kita tahu pentas sidang bersejarah itu tidak akan pernah terjadi. Soeharto—kalau kita percaya dia sebenarnya sehat dan baik-baik saja—tidak pernah mau dan berani hadir di pengadilan. Kendati su-dah hampir delapan tahun tanpa kuasa, ironisnya, tak ada seorang pun di republik ini yang mampu membawanya ke meja hijau.
Presiden Abdurrahman Wahid sudah pernah mencoba me-nyidangkan presiden kedua Indonesia itu. Tapi usaha Pre-siden Abdurrahman kandas karena hakim percaya pa-da keterangan tim dokter dan keluarga bahwa Soeharto menderita sakit yang permanen. Soeharto divonis dokter tak mampu lagi berpikir seperti layaknya orang normal. Ia konon tak kuasa lagi mengingat jauh ke belakang, tak bisa berkata-kata dengan logika runtut dan teratur.
Keterangan dokter ini berbeda dengan anggapan orang banyak ketika melihat Soeharto menerima Menteri Seni-or Singapura Lee Kuan Yew atau bekas Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad belum lama ini. Ia kelihatan- sanggup berkomunikasi, hanya tampak bergerak serba lambat.
Apa pun yang sebenarnya terjadi pada diri presiden yang memerintah 32 tahun itu, bila persidangan untuknya gagal di-jalankan, publik akan selalu terbelah dalam memandang-nya: antara pahlawan atau koruptor yang patut dihujat. Perkembangan terakhir menunjukkan pendapat terbelah itu yang akan terjadi. Satu per satu pejabat negara mulai bicara soal penghentian perkara dan penutupan kasus Soeharto.
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang semula berta-han akan meneruskan kasus Soeharto, Jumat kemarin me-ngeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan—yang katanya bisa dibatalkan bila penuntut umum kelak me-nemukan bukti-bukti baru. Artinya, secara hukum Soeharto sekarang telah bebas. Status tahanan kota yang pernah disandangnya lepas. Bahkan Menteri Sekretaris Ne-gara Yusril Ihza Mahendra—yang menurut sumber di Istana tidak diutus oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyo-no—telah datang ke rumah sakit tempat Soeharto dirawat untuk menyampaikan keputusan itu.
Sikap Menteri Yusril, anehnya, terk-esan mendahului sikap Presiden Yudhoyono yang menyatakan tak ingin ”grasa-gr-usu” dalam memutuskan perkara Soeharto. Walaupun Presiden Yudhoyono telah meng-ada-kan rapat konsultasi dengan pimpinan lembaga tinggi negara dan menteri kabinet-nya, ia sengaja memilih mengendapkan du-lu kasus Soeharto dengan alasan untuk menghindari perpecahan bangsa.
Mengendapkan, yang menurut kamus berarti membiarkan atau mendiamkan su-pa-ya mengendap, alias tak mengambil ke-putusan apa pun, memang menghinda-rkan Presiden Yudhoyono dari perbedaan pen-dapat yang jelas dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang setuju kasus Soeharto ditutup saja. Suara Kalla senada dengan suara Partai Golkar, pemenang Pemilu 2004. Presiden Yudhoyono sementara ini juga terhindar dari desakan merumuskan satu paket keputusan untuk Soeharto dan bekas presiden Soekarno, seperti- yang diinginkan PDI Perjuangan, partai yang beroposisi terhadap pemerintahannya.
Setiap tindakan mengandung konsekuensi. Yang la-ng-sung dikorbankan dari ambivalensi begini adalah pelaksa-na-an amanat Ketetapan MPR Nomor XI/1998 tentang pe-nyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi-ko-lusi-nepotisme. Pemerintahan sekarang ini, seperti juga tiga pemerintahan yang lalu, tetap berutang pada negara untuk melaksanakan ketetapan MPR itu.
Prinsip kesetaraan setiap warga negara di muka hukum ju-ga segera berantakan. Anggapan yang segera tercipta,- pem-berantasan korupsi yang sedang gencar dilakukan pe-me-rintah berlaku untuk semua, kecuali untuk Soeharto. Ini bukan investasi yang baik untuk menegakkan prinsipprinsip negara hukum yang adil bagi semua di masa datang.
Dikhawatirkan, akan tercipta preseden buruk, setiap pre-siden bebas dari konsekuensi hukum apa pun, walaupun di-duga melakukan kejahatan korupsi dan melanggar hak asasi manusia. Di sisi lain, mandeknya proses hukum ber-arti sirnanya peluang Soeharto untuk membuktikan bahwa tidak seluruh periode pemerintahannya buruk. Banyak yang percaya 16 tahun pertama pemerintahannya mencatat-kan prestasi gemilang, terutama di bidang ekonomi.
Akhirnya, persidangan banyak ditentukan oleh kemauan Soeharto sendiri, yang giat disuarakan peng-ikut setianya yang tersebar di kabinet, di DPR, atau yang tengah bergeril-ya mengupayakan penutupan per-karanya. Semua bergantung pada Soeharto. Pemerintahan Yudho-yo-no dan kita semua ter-nyata belum sanggup mencegah Soeharto menuliskan sendiri ending perjalanan hidupnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo