Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alokasi anggaran pemulihan atau stimulus ekonomi untuk dampak pandemi Covid-19 sudah ditetapkan, yakni sebesar Rp 695 triliun. Stimulus tersebut meliputi bidang kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun; perlindungan sosial Rp 203,9 triliun; insentif usaha Rp 120,61 triliun; insentif usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Rp 123,46 triliun; pembiayaan korporasi Rp 53,57 triliun; serta stimulus sektoral dan pemerintah daerah Rp 106,11 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nominalnya tampak cukup manis, walaupun bersandar pada pelebaran defisit dan peningkatan utang nasional. Realisasi pencairan stimulus yang sangat rendah kemudian ikut memperumit persoalan. Konon, karena itu pula Presiden Joko Widodo sangat marah dan berujung pada munculnya ancaman reshuffle. Di antara enam pos pengeluaran stimulus tersebut, hingga saat ini baru dana perlindungan sosial yang tingkat pencairannya sesuai dengan harapan, yakni 34,06 persen atau setara dengan Rp 69,4 triliun.
Namun ada data yang tidak sinkron untuk pencairan insentif UMKM. Kementerian Keuangan mengklaim realisasinya sudah mencapai 22,74 persen atau sekitar Rp 28 triliun. Tapi Kementerian Koperasi dan Usaha, Kecil, dan Menengah mencatat realisasi belanja untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk koperasi dan UMKM baru mencapai Rp 250,16 miliar atau 0,2 persen dari total pagu. Disparitasnya sangat mengejutkan. Tak ada kesimpulan selain ketidaksinkronan data dua kementerian tersebut menunjukkan adanya ketidakberesan dalam implementasi di lapangan.
Hal semacam ini meningkatkan keyakinan masyarakat bahwa banyak kebijakan pemerintah yang tidak dirancang secara matang, rinci, dan terencana. Pemaparan awalnya manis, tapi berakhir dengan realisasi yang tidak memuaskan. Sedari awal, sebagaimana kebijakan-kebijakan stimulus lainnya, kebijakan ini digulirkan tapi tidak sekaligus dilengkapi dengan aturan teknis yang rinci sebagai acuan bagi pelaksana di lapangan. Kondisi ini diperburuk lagi oleh kelemahan data. Pada akhirnya, banyak kebijakan yang secara filosofis dan konseptual sangat bagus tapi berujung semrawut di lapangan. Tak sedikit pula para pihak yang terlibat malah berakhir di ruang tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kebijakan antisipasi dampak pandemi harus segera dirasakan pihak yang menjadi sasaran agar aktivitas ekonomi bisa kembali ke jalur yang diharapkan alias tidak terjerumus dalam keadaan yang membuat pergerakan usaha semakin sesak napas. Jika berbagai persoalan yang menghalangi pencairan dana stimulus tidak segera diatasi, kelesuan ekonomi akan segera memburuk dan ledakan jumlah penganggur akan terjadi.
Langkah-langkah antisipatif harus segera diambil. Pertama, pemerintah segera membuat peraturan teknis pendistribusian dan pelaksanaan stimulus ekonomi agar pelaksana mempunyai landasan legal untuk bergerak cepat. Kedua, transparansi harus dikedepankan dan sosialisasi harus dilakukan secara masif. Informasi mengenai siapa saja yang menerima, kapan, serta bagaimana proses dan prosedur untuk mendapatkan dana PEN harus benar-benar sampai ke publik. Jangan sampai ada proses dan prosedur yang tertutup atau terkesan ditutup-tutupi.
Ketiga, pentingnya target pencairan dana PEN kepada lembaga pelaksana, yang mencakup bank peserta dan bank pelaksana, agar efektivitas stimulus terukur. Keempat, penyederhanaan mekanisme distribusi stimulus. Sebagai opsi, ada baiknya pemberian dana PEN dilakukan secara langsung kepada pelaku usaha. Dari berbagai keluhan yang muncul, salah satunya soal realisasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11 Tahun 2020 yang sangat lamban, terutama untuk non-UMKM. Faktor utamanya adalah kelambanan perbankan akibat makin sempitnya ruang likuiditas, sehingga perbankan memilih jalan aman: baru berani bergerak jika dana PEN sudah dicairkan pemerintah.
Pendeknya, pemerintah harus benar-benar sadar akan imbas pandemi. Data ekonomi kuartal pertama yang hanya tumbuh 2,97 persen, atau melambat dibanding capaian kuartal pertama 2019 yang sebesar 5,07 persen, harus dijadikan pertimbangan utama untuk membalikkan situasi atau minimal menekan efek negatif lebih lanjut pada kuartal-kuartal berikutnya. Bukankah pemerintah sendiri telah memperkirakan ekonomi nasional hanya akan tumbuh minus 3,8 persen pada kuartal kedua tahun ini?
Menurut pemerintah, perbaikan ekonomi akan terjadi pada kuartal ketiga dan keempat seiring dengan mulai dibukanya kegiatan bisnis pada era normal baru. Jadi, pemerintah memprediksi ekonomi akan tumbuh di level -0,4 sampai 1 persen. Memang bukan hanya Indonesia, sejumlah negara juga mengalami kontraksi. Ekonomi negara maju seperti Amerika Serikat diprediksi -9,7 persen, Inggris -15 persen, Jerman -11 persen, dan Prancis -17 persen.
Berdasarkan proyeksi sejumlah lembaga, kondisi ekonomi Indonesia memang dianggap relatif lebih baik. Tapi persoalan tak akan pernah selesai dengan membandingkan angka yang diraih. Sebab, secara riil, semua pihak memahami bahwa persoalan ekonomi Indonesia tak bisa diselesaikan dengan angka pertumbuhan di bawah 5 persen, apalagi minus. Jadi, tak ada cara selain segera menemukan berbagai strategi yang bisa memperbaiki atau bahkan membalikkan keadaan, tak peduli harus dengan reshuffle kabinet atau tidak.