Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANITIA Kerja DPR yang melakukan revisi atas Undang-Undang Nomor 25/1999, tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, Selasa pekan ini akan menyelesaikan tugasnya. Besar kemungkinan Panitia Kerja DPR akan menolak permintaan daerah—misalnya Riau dan Kalimantan Timur—yang meminta kenaikan bagian bagi hasil minyak dan gas.
Soalnya bukan pada penolakan DPR menaikkan jatah bagi hasil daerah itu. Masalahnya adalah legitimasi DPR untuk menyetujui atau menolak revisi undang-undang itu. Dari aspek legal, anggota DPR sekarang ini jelas masih sah. Namun, anggota DPR hasil Pemilu 2004 telah terpilih, dan anggota DPR yang lama akan berakhir masa jabatannya Jumat pekan ini. Seperti juga saran yang bisa disampaikan kepada lembaga presiden, kepada DPR pun bisa disarankan agar dalam masa tugas yang tinggal kurang dari hitungan lima jari tidak mengambil keputusan strategis yang berdampak jangka panjang. Biarlah pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 25/1999 yang sangat penting bagi penataan hubungan pusat-daerah itu menjadi tugas pertama anggota DPR periode 2004-2009—yang 60 persen anggotanya merupakan muka baru. Apalagi, DPR kini punya sparring partner baru di Istana, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.
Bila DPR memaksa untuk mengambil keputusan, dampaknya bisa menjadi beban DPR dan pemerintah baru. Bila usulan Riau dan Kalimantan Timur untuk minta kenaikan jatah bagi hasil ditolak, masyarakat Riau dan Kalimantan Timur bisa jadi kecewa. Kekecewaan itu jelas dasarnya. Riau, misalnya, sudah lama menginginkan perlakuan sama dengan Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua—keduanya mendapatkan bagi hasil 70 persen karena berstatus provinsi dengan otonomi khusus. Angka kenaikan jatah minyak dan gas yang diminta Riau sebesar 40 persen adalah angka kompromi antara kepentingan Riau dan nasional, menurut Gubernur Riau, Rusli Zainal. Tambahan jatah Riau itu akan dipakai untuk memperbaiki taraf hidup rakyatnya yang kini, menurut Gubernur, 40 persen hidup di bawah garis kemiskinan dan hampir 60 persen hanya berpendidikan SD atau tidak tamat SD.
Kemiskinan di Riau memang nyata. Ingatlah ketika rakyat jelata memblokir kilang minyak Caltex pada tahun 2001. Kerugian ratusan juta dolar terjadi akibat perusakan. Pusat tekor, jatah Riau pun kurang. Siapa pun tidak berharap kejadian buruk itu berulang. Tapi, apa pun dampak revisi Undang-Undang Nomor 25/1999 yang dilakukan anggota DPR lama, tidak patut dan tidak pantas bila harus ditanggung oleh anggota yang baru. Pertimbangan bahwa rakyat Riau miskin atau, di sisi lain, pemerintah pusat perlu dana cukup besar untuk menyubsidi daerah miskin yang lain biar saja menjadi bahan kajian dan pertimbangan DPR baru dan juga pemerintah baru. Toh ini bukan urusan genting—seperti halnya bencana alam, yang perlu tindakan penanganan kilat.
Masih cukup waktu untuk mendalami urusan bagi hasil pusat-daerah ini, juga memahami kepentingan keduanya. Di sisi pemerintah pusat, selama ini dana bagi hasil dan juga dana alokasi umum menjadi salah satu instrumen fiskal untuk mengatasi ketimpangan antardaerah. Bila jatah Riau dan Kalimantan Timur dinaikkan, penerimaan negara dan kemampuan pemerintah pusat untuk membiayai pembangunan dan pembayaran utang juga berkurang. Sebaliknya, kebutuhan daerah untuk mengurus rakyatnya agar lebih sejahtera juga patut dipertimbangkan masak-masak.
Karena itu, menunda persetujuan dan menyerahkan Undang-Undang Nomor 25/1999 kepada DPR dan pemerintah baru akan lebih bijak. Tindakan itu bisa menghindari tuduhan "melepas" tanggung jawab, terutama bila terjadi hal yang tidak menyenangkan akibat keputusan strategis itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo