Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Setelah Iran Menyerang Israel

Perang terbuka Iran-Israel memanaskan konflik Timur Tengah. Akankah Israel membalas serangan Iran?

16 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERANGAN pesawat nirawak atau drone Iran ke Israel pada 14 April lalu menandai perang terbuka kedua negara. Selama ini konfrontasi keduanya terjadi semi-tersembunyi. Iran adalah pendukung Hamas—kelompok perlawanan terhadap Israel di Palestina—jaringan Syiah di Suriah, Libanon, dan Yaman yang memerangi gerakan Zionisme Israel. Sejauh ini, setelah mengklaim bisa menangkal sekitar 300 drone Iran, Israel belum memutuskan apakah akan membalas serangan Iran itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iran mengklaim serangan roket itu sebagai balasan atas serangan Israel terhadap kantor konsulat mereka di Damaskus, Suriah, pada 1 April lalu. Bila kedua negara ini ngotot melanjutkan konfrontasi, konflik Timur Tengah akan makin membara. Apalagi jika negara-negara sekutu mereka, termasuk Amerika Serikat yang menjadi pembela Israel, turut campur mendorong perang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Joe Biden, dalam percakapan sekitar 25 menit dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu setelah serangan Iran itu, meminta Israel menahan diri. Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak juga menganjurkan tidak ada serangan balasan. Respons sekutu Israel itu setidaknya bisa memberi harapan bahwa ketegangan tidak memuncak.

Sebab, dampak ketegangan ini mulai terasa. Sejumlah maskapai penerbangan yang pesawatnya melintasi ruang udara Israel, Irak, dan Iran membatalkan penerbangan atau mengubah rute ke wilayah yang lebih aman. Kekhawatiran terbesar perang Iran-Israel adalah lonjakan harga minyak dunia. Beberapa jam setelah serangan Iran, harga minyak memang turun 1 persen. Tapi reaksi pasar ini terjadi karena sifat serangan Iran, yang digambarkan Goldman Sachs sebagai serangan yang “terkomunikasikan dengan baik dan relatif terbatas”. 

Dunia pernah merasakan harga minyak yang meroket ketika pecah perang Arab-Israel pada 1973-1974. Saat itu, harga minyak dunia naik hampir empat kali lipat setelah Amerika Serikat menawarkan dukungan keuangan kepada Israel dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) menghentikan ekspor minyaknya, termasuk ke negara-negara Barat. 

Sekarang kondisinya berbeda. OPEC belum terlibat. Iran memang memiliki cadangan minyak terbesar keempat dunia. Tapi, karena banyak menerima sanksi ekonomi dari negara Barat, ekspornya terbatas. Saat ini ekspor minyak Iran tercatat sekitar 1,5 juta barel per hari atau 1,5 persen pasokan minyak global.

Namun Iran berada di tepi Selat Hormuz, jalur pengiriman sekitar 20 persen pasokan minyak dunia. Bila Iran memblokade selat ini, pasokan minyak global akan terganggu sehingga bisa menaikkan harganya. Sehari sebelum serangan ke Israel, misalnya, Iran telah menahan sebuah kapal pengangkut minyak yang mereka klaim berhubungan dengan Israel.

Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 2022, harga minyak mentah melonjak 15 persen. Rusia adalah eksportir minyak terbesar kedua dunia setelah Arab Saudi. Maka, muncul kekhawatiran bahwa Rusia akan menyetop minyaknya bila negara-negara Barat menjatuhkan sanksi dan mendukung Ukraina.

Israel pernah bisa menahan diri ketika Presiden Irak Saddam Hussein menembakkan 40 rudal Scud pada 1991. Irak hendak menarik Israel ke dalam perang untuk menggoyang koalisi Amerika Serikat yang memerangi mereka di Kuwait. Perdana Menteri Israel waktu itu, Yitzhak Shamir, tunduk pada tekanan Amerika agar tak membalas serangan Irak yang sporadis.

Benjamin Netanyahu, waktu itu menjabat Wakil Menteri Luar Negeri pemerintahan Partai Likud pimpinan Shamir, akrab dengan situasi pada 1991. Bahkan Netanyahu mulai populer sebagai politikus karena peristiwa ini. Masalahnya, kini Iran tak sedang berperang dengan Amerika. Serangan rudal ke Israel bisa berbalas jika Netanyahu terprovokasi anjuran koalisi sayap kanannya di Israel, seperti provokasi mereka memerangi Hamas yang menimbulkan genosida di Gaza, Palestina. 

Perang Iran-Israel bisa dicegah jika Amerika atau Inggris tetap pada pendiriannya sekarang. Joe Biden, politikus Partai Demokrat yang makin tertinggal elektabilitasnya dari Donald Trump, mungkin akan berfokus pada politik dalam negeri. Tapi provokasi Trump, yang mengejek Biden gagal mengendalikan situasi Timur Tengah, bisa mendorongnya berubah pikiran.

Sebab, di seberang mereka, Rusia sudah mengumumkan mendukung Iran jika perang benar-benar terjadi. Dua negara adikuat ini akan kembali terlibat perang secara terbuka karena mendukung dua negara yang berselisih. Jika itu terjadi, dampaknya akan sangat luas. Indonesia, meski jauh, bisa terkena dampak secara ekonomi karena kini menjadi pengimpor minyak, di tengah kelesuan dan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus