Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA penyusun draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) mungkin lupa akan lirik Guru Oemar Bakri yang diciptakan dan dinyanyikan Iwan Fals pada 1981. Satire lagu populer itu layak terus didengungkan bila penyusun RUU Sisdiknas tidak memperjelas pasal-pasal untuk memperbaiki nasib para Oemar Bakri yang “makan hati karena gajinya dikebiri”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari 150 pasal dalam draf RUU tersebut, tak ada satu pun yang secara eksplisit mengatur kesejahteraan guru—yang mengantarkan mereka menjadi pejabat yang bisa membuat undang-undang seperti sekarang. Alih-alih memperkuat dan memperbaiki Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, bila dibaca secara tekstual, draf baru malah menghilangkan berbagai tunjangan. Padahal tunjangan-tunjangan membuat para guru bisa mendapatkan upah di atas kebutuhan hidup minimal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasal 105 RUU Sisdiknas, misalnya, menyatakan upah guru sekolah negeri mengacu pada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN), sedangkan guru swasta pada Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pembedaan ini jelas diskriminatif. Para pejabat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi seperti lupa bahwa sekolah swasta hadir karena negara tak sanggup menyediakan sekolah negeri dan menampung hak warga negara mendapatkan pendidikan.
Di Jakarta, ibu kota yang menjadi kiblat kemajuan Indonesia, SMP negeri hanya mampu menampung 47 persen lulusan SD negeri. Daya sekolah menengah atas lebih kecil lagi. Gabungan SMA dan SMK negeri hanya sanggup menampung 33,6 persen lulusan SMP negeri. Itu pun dengan sebaran tak merata. Ada 186 kelurahan tanpa SMA negeri dan 86 kelurahan sonder SMP negeri. Sekolah swasta dan para pendidiknya datang untuk menambal lubang-lubang tersebut.
Pengaturan penghasilan guru swasta yang mengacu pada Undang-Undang Ketenagakerjaan juga memposisikan pengajar tak berbeda dengan buruh pabrik. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pekerja kerah biru, guru adalah pekerjaan terhormat. Dalam UU Ketenagakerjaan, tak ada soal tunjangan-tunjangan. Padahal guru sekolah swasta mengandalkan penghasilan dari tunjangan profesi atau jumlah jam mengajar, karena gaji pokok umumnya lebih rendah dari upah minimum regional.
Kementerian Pendidikan berdalih bahwa kesejahteraan guru akan diatur lebih lanjut dalam peraturan turunan. Sebab, RUU Sisdiknas menggabungkan tiga undang-undang: Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Guru dan Dosen, serta Undang-Undang Pendidikan Tinggi. Dengan logika sinkronisasi ini, semestinya pengupahan guru diatur secara eksplisit dalam undang-undang baru ini. Tak perlu lagi merujuk ke peraturan lain.
Menjadikan peraturan pemerintah sebagai dasar rujukan kesejahteraan guru juga mendorong timbulnya peluang kerahasiaan pembahasan. Karena hak pemerintah, pembahasannya tak melibatkan publik, tidak seperti ketika membahas undang-undang bersama DPR yang terbuka—kendati tabiat DPR kini juga acap menghindari suara-suara publik yang ingin memberikan masukan pada sebuah undang-undang.
Ada 3,3 juta guru yang nasibnya sedang bergantung pada draf RUU Sisdiknas ini. Jika ketentuan tentang kesejahteraan guru tak diperkuat dalam undang-undang, pemerintah dan DPR sama saja dengan menghancurkan masa depan Indonesia, yang justru menjadi tugas utama mereka. Jangan sampai nasib guru zaman sekarang malah lebih pilu dibanding nasib Oemar Bakri dalam satire Iwan Fals pada 1981.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo