Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Sesat Polisi di Kasus Parigi Moutong

Kasus kejahatan seksual terhadap anak terus berulang. Penegak hukum banyak yang belum memiliki perspektif pelindungan korban. 

5 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Polisi sesat pikir menyebut kasus pemerkosaan sebagai persetubuhan dengan anak.

  • Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak.

  • Penegak hukum banyak yang belum memiliki perspektif pelindungan korban.

Pemerkosaan seorang anak oleh 11 pelaku di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, menunjukkan betapa daruratnya situasi kejahatan seksual terhadap anak di negeri ini. Nasib korban kian tragis karena kepolisian setempat menyatakan apa yang terjadi sebatas persetubuhan dengan anak, bukan pemerkosaan, karena tidak ada paksaan dan ancaman dari para pelaku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus pemerkosaan itu dilaporkan ke Polres Parigi Moutong pada Januari 2023. Korban, kini berusia 16 tahun, menyampaikan bahwa para tersangka memperkosa dirinya di tempat yang berbeda-beda selama 10 bulan pada 2022, diawali saat korban menjadi relawan banjir. Pelakunya dari petani, guru, kepala desa, sampai anggota kepolisian. Akibatnya, korban tak hanya menanggung beban psikis, tapi juga infeksi akut pada organ reproduksi—sehingga rahimnya terancam diangkat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang menyesakkan dada, bagaimana bisa Kepala Polda Sulawesi Tengah, Irjen Agus Nugroho, menyebut kasus di Parigi Moutong sebatas persetubuhan dengan anak. Pernyataan itu, yang merujuk pada aturan di KUHP, jelas tak memperhitungkan relasi kuasa di antara korban dan 11 pelaku. Katakanlah benar si anak tidak melawan. Itu tak berarti perbuatan bejat para pelaku bisa dimaklumi. Seorang anak pasti tak bisa mengambil keputusan sendirian ketika menghadapi janji atau iming-iming dari orang dewasa. Apalagi bila semua itu juga disertai ancaman.

Apa yang dialami anak itu termasuk kategori non-forcible rape. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang disahkan tahun lalu menggolongkannya sebagai pemerkosaan. Ancaman hukumannya bisa sampai 15 tahun penjara. Pengadilan, menurut undang-undang yang sama, wajib menetapkan restitusi yang harus dibayarkan para pelaku atas kerugian materiil dan imateriil yang dialami korban.

Ketika menyebut pemerkosaan di Parigi Moutong sebatas persetubuhan dengan anak, kepolisian setempat justru patut dicurigai hendak membelokkan jerat hukum dari para pelaku. Selain menunjukkan buruknya pemahaman hukum dan profesionalisme, perlakuan polisi seperti itu berkontribusi pada tingginya angka kasus kekerasan seksual pada anak. Sedangkan para pelaku bisa lolos dari hukuman maksimal. 

Wajar saja bila Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan Indonesia kini darurat kekerasan seksual terhadap anak. Itu bukan saja karena jumlah kasusnya yang terus meningkat—sepanjang 2022 tercatat 9.588 kasus, naik dari tahun sebelumnya yang sebanyak 4.162 kasus. Indonesia juga darurat kekerasan seksual terhadap anak karena aparat penegak hukumnya banyak yang tidak memiliki perspektif pelindungan terhadap korban. 

Apa yang terjadi di Parigi Moutong juga menunjukkan besarnya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pasca-pengesahan Undang-Undang TPKS tahun lalu. Undang-undang itu memang telah memberi pengakuan atas hak-hak korban kekerasan seksual, menegaskan kewajiban negara dalam pelindungan dan pemenuhan hak-hak korban, serta menekankan pentingnya pencegahan kekerasan seksual. Namun undang-undang yang bagus sekalipun tidak otomatis melindungi korban bila aparat penegak hukum tidak mau melaksanakannya. 

Kini, yang sangat dibutuhkan adalah komitmen kuat kepolisian—juga penegak hukum lainnya—untuk menerapkan Undang-Undang TPKS dalam menangani setiap kasus kekerasan seksual. Belum lengkapnya aturan pelaksanaan seharusnya tidak menjadi dalih penegak hukum untuk mengabaikan undang-undang tersebut. Tanpa komitmen para penegak hukum, sebagian besar korban kekerasan seksual akan tetap diam, tidak berani melapor, dan semakin jauh dari keadilan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus