Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGENANG Affandi bagaikan mengheningkan satu generasi yang pernah membuat negeri ini lebih dari sekadar "republik mimpi". Itulah suatu masa tatkala arus perubahan memberikan tempat yang luas bagi khitah individual, sehingga tak penting lagi dari mana Chairil Anwar mendapat ujaran "Boeng, Ajo Boeng" yang kemudian menjadi "baka" dalam poster Affandi yang termasyhur itu.
Menaja arah seni rupa Indonesia pasca-kemerdekaan bersama Soedjojono-kemudian Basuki Resobowo-Affandi tak ubahnya jiwa yang gelisah. Dan "kegelisahan" itu terbaca dengan bijak oleh Soekarno, Bapak Bangsa yang sedari awal akrab dengan para seniman. Dengan dukungan Bung Karno, Affandi dan keluarga berangkat ke India hanya empat tahun setelah Proklamasi.
Tapi Universitas Shantiniketan, tempat ia ingin menimba ilmu, tak berani menerima calon siswa yang satu ini. Ia dianggap "sudah memiliki semuanya". Affandi dibebaskan mengembara di India, dan dari kampung di kaki Himalaya muncullah lukisan-lukisannya yang "aneh", apalagi setelah lukisan itu mencapai Eropa. Ia dianggap fenomena, dan bersama namanya Indonesia mendapat lema tersendiri dalam khazanah wacana seni rupa dunia.
Itulah pula masanya ekspresionisme (Barat) 1950-an mencoba memasukkan unsur emosi ke pemikiran strukturalisme, yang mendorong lahirnya abstrakisme. Affandi, oleh para analis seni rupa Barat, dihisabkan pada aliran ekspresionisme. Affandi sendiri tak pernah pusing terhadap teori apa pun. Ia bahkan pernah mengatakan tak mau berpendapat, karena berpendapat mengandung risiko berbeda pendapat.
Memahami Affandi, akhirnya, menjadi "seni" tersendiri. Ketika ia diminta menjelaskan lukisannya, Semut Lumpuh, di Universitas Sao Paulo, Brasil, pada 1956, misalnya, Affandi malah menerangkan, secara sangat sederhana, arsitektur jamban di perumahan rata-rata penduduk Indonesia, dan kebiasaan orang Indonesia menggunakan bakiak kalau hendak melepas hajat!
Pada 1947, Affandi mendirikan Pelukis Rakyat dan memperkenalkan kehidupan "sanggar"-jenis padepokan yang sangat longgar-sebagai tempat belajar dan hidup bersama. Sanggar ini kelak bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dan Affandi, bersama Sudjojono, pada Pemilihan Umum 1955 dicalonkan oleh Partai Komunis Indonesia sebagai anggota Konstituante.
Affandi sendiri bukan "orang pergerakan" dalam pengertian yang kita kenal. Ia hanya melukis, mengangkat tema-tema yang secara sederhana bisa dipahami sebagai "kerakyatan". Tapi, dari kesenian dan kesehariannya, Affandi akhirnya tak hanya melampaui teori, tapi juga melampaui dirinya sendiri. Ada semacam "keaffandian" yang membuat dia istimewa di ranah seni rupa kita.
Pada masa hidupnya, Affandi memperkenankan pelukis-pelukis yang kurang beruntung memajang lukisannya di Museum Affandi. Dengan cara itu ia membantu mempertemukan mereka dengan kolektor-pembeli. Setelah ia wafat, kebijakan ini berubah. Karena itu bisa dipahami mengapa Museum Affandi, bahkan jauh sebelum peringatan seratus tahun kelahirannya kini, segera kehilangan kehangatan.
Karena Affandi sudah melampaui dirinya sendiri, peninggalannya pun tak lagi semata-mata urusan ahli warisnya. Inilah yang hendaknya disadari pemerintah, jika ada niat baik untuk tetap mengenang dan meletakkan Affandi pada "maqam"-nya yang tepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo