Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO yang mewajibkan Indonesia membuka keran produk unggas dari Brasil tak perlu membuat panik. Keputusan tersebut tak otomatis menyebabkan industri unggas lokal surut lalu pasar dibanjiri daging ayam impor. Pemerintah bisa menggunakan sejumlah instrumen untuk melindungi peternak dalam negeri.
Menjalankan keputusan WTO memang tak terelakkan. Keputusan tersebut satu rangkaian dengan keputusan badan perdagangan internasional itu sebelumnya yang juga mengabulkan gugatan Brasil pada 2017. Tiga tahun sebelumnya, Brasil mengajukan gugatan ke WTO karena tidak bisa mengekspor produk unggas ke Indonesia. Brasil menuduh Indonesia menghalangi produk mereka masuk. Alasannya, peraturan Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan soal impor produk hewan tidak mencantumkan unggas dan turunannya sebagai barang yang bisa diimpor. Selain itu, Indonesia dianggap memagari impor dengan meminta syarat, yakni produk harus disertai sertifikat kesehatan dan halal.
WTO kemudian membentuk panel pada 2017, yang akhirnya memutuskan bahwa sejumlah aturan impor Indonesia melanggar Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT). Tapi pelaksanaan putusan kasus bernomor DS484 itu tak memuaskan Brasil. Eksportir unggas terbesar di dunia itu menganggap Indonesia belum menjalankan putusan. Misalnya, peraturan Menteri Pertanian yang baru masih membatasi produk unggas dari luar. Pada Juni lalu, mereka meminta WTO membentuk panel lagi untuk memastikan Indonesia mematuhi putusan 2017 tersebut.
Mau tak mau pemerintah harus mengubah lagi ketentuan impor unggas. Mengabaikan putusan bisa menyebabkan Brasil melakukan retaliasi terhadap produk Indonesia. Pembalasan itu misalnya dengan mengenakan tarif bea masuk yang lebih tinggi atas kopra, minyak sawit, dan komponen otomotif dari Indonesia—sebagian produk Indonesia yang diekspor ke negara tersebut. Ini akan membuat produk Indonesia tak dilirik karena mahal. Walhasil, neraca perdagangan Indonesia dengan Brasil yang minus sekitar US$ 420 juta pada 2017 akan kian jomplang.
Akibat perubahan aturan itu memang ada potensi daging ayam dan produk ayam impor, khususnya dari Brasil, membanjiri pasar Indonesia. Namun ada kebijakan yang bisa digunakan untuk mengendalikan impor. Misalnya menaikkan tarif bea masuk untuk produk tersebut. Selain itu, pemerintah bisa menggunakan instrumen sertifikat halal agar tak sembarang daging unggas masuk ke pasar dalam negeri. Putusan WTO dalam kasus DS484 menyatakan persyaratan pelabelan halal tak melanggar aturan karena sertifikat diberlakukan tanpa diskriminasi.
Kekalahan dari Brasil mesti menjadi pelajaran. Berulang kali pemerintah kalah bersengketa di WTO. Selama 2014-2018, Indonesia menghadapi delapan gugatan. Dari lima yang telah diputuskan panel, Indonesia hanya menang sekali. Karena itu, penting bagi Indonesia untuk memiliki wakil yang bisa membuktikan bahwa kebijakan yang dipersoalkan telah diambil dengan tepat.
Lebih dari itu, hal paling mendasar adalah konsistensi kebijakan. Pemerintah perlu menyelaraskan sejumlah peraturan yang berkaitan dengan perdagangan internasional. Kekalahan dari Brasil tak semata-mata karena aturan yang dianggap melanggar, tapi lantaran ada kebijakan yang bertolak belakang. Indonesia menolak ayam dari Brasil, tapi mengimpor daging kerbau dari India meski negara tersebut belum bebas dari penyakit kuku dan mulut. Inilah kelemahan aturan yang ditafsirkan sebagai cara menolak ayam Brasil dan kemudian menjadi celah bagi penggugat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo