Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tarif listrik di Indonesia di atas har-ga standar dunia, tapi mengapa- PLN rugi? Wakil Pre-siden Jusuf Kalla kini mengaku tahu jawabnya.- Setrum mahal karena- 38 persen sumber energi pembangkit listrik Perusahaan Listrik Negara adalah bahan bakar minyak, yang harganya jauh lebih mahal ketimbang gas, apalagi batu ba-ra. Terbukti ongkos BBM tahun lalu, me-nurut Wakil Presiden, sekitar 80 per-sen dari seluruh biaya sumber energi pembangkit listrik PLN alias sekitar Rp 50 triliun.
Ini jelas pemborosan besar. Sebab, bi-la seluruh pembangkit listrik pemakai BBM diganti dengan yang mengguna-kan batu bara, biaya energinya hanya sekitar Rp 9 triliun atau berarti penghematan lebih dari Rp 40 triliun setahun. Ini jumlah yang lebih besar ketimbang anggaran Departemen Pendidikan Nasional tahun ini, padahal instansi ini penerima uang APBN paling tinggi.
Maka, sangat masuk akal jika pemborosan lebih dari Rp 100 miliar sehari ini perlu segera dihentikan. Pembangkit listrik berbahan bakar batu bara harus selekasnya di-ba-ngun, apalagi ongkosnya diperkirakan tak sampai Rp 80 tri-liun atau setara dengan pemborosan PLN selama dua tahun. Persoalannya tinggal: siapa yang akan membiayai?
PLN jelas tidak mampu. Pihak swasta asing juga tak -mudah dirayu karena pengalaman buruk dengan proyek pembangkit listrik swasta (IPP) seperti di Paiton. Peme-rintah tak bisa diharapkan karena sedang tak punya uang, bahkan- untuk membayar subsidi tambahan PLN sebesar Rp 10 triliun karena batalnya kenaikan tarif dasar listrik pun Departemen Keuangan masih meraba-raba kantong. Bila di-bia-yai dengan surat utang negara di pasar domestik, di-khawa-tirkan akan mengakibatkan guncangan moneter hing-ga rupiah melemah. Jika ini terjadi, ongkos pengadaan listrik dalam rupiah akan melompat karena standarnya -biasa diukur dalam dolar Amerika.
Walhasil, agar proyek dapat berjalan tanpa menjatuhkan nilai rupiah, sebagian besar pendanaan diharapkan berasal dari luar negeri. Tapi, bagaimana memberi jaminan yang kredibel kepada para kreditor asing itu? Salah satu cara yang mungkin adalah dengan mengikatkan sebagian pendapatan minyak pemerintah, misal dari ladang Cepu, sebagai agunan. Ini hal yang wajar karena, bila PLN tak lagi menggunakan BBM sebagai sumber energi pembangkit- listriknya, berarti lebih dari 10 juta kiloliter BBM yang selama ini dikonsumsinya setiap tahun dapat diekspor.
Harus diakui, cara ini akan memicu protes dari para kreditor asing, terutama yang menjadi anggota Paris Club. Namun, bila pemerintah mau melakukan upaya lobi yang intensif dan para diplomat Indonesia bersedia bekerja- ke-ras, hal ini bukan tidak mungkin dapat di-atasi. Apalagi jika perusaha-anper-usahaan asal negara anggota Pa-ris Club juga yang turut serta dalam pro-yek bernilai sekitar US$ 8 miliar ini.
Tentu saja kesertaan mereka bukan tanpa syarat. Paling penting, pemerin-tah harus memastikan biaya listrik yang dihasilkan pembangkit-pembang-kit baru ini akan di bawah harga standar listrik dunia, katakanlah maksimal US$ 0,045 per kWh. Selain- itu, sepa-tutnya mereka juga diminta menandata-ngani kontrak kerja yang mewajibkan perusahaan-perusahaan itu tidak hanya harus bersih dari tindakan korupsi dan suap, tapi juga wajib melaporkan setiap upaya percobaan mendapatkan dana haram ini. Pemerintah tentu harus menindaklanjuti setiap laporan ini, misalnya dengan menye-rahkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Perhatian besar pada upaya pencegahan korupsi ini perlu dilakukan terutama karena beberapa perusahaan nasional yang kemungkinan terlibat dalam proyek ini punya hubungan dekat dengan sedikitnya dua pejabat pemerintah. Grup Bukaka, misalnya, adalah perusahaan keluarga Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Grup Bakrie punya kaitan yang serupa dengan Menteri Koordinator Kesejahte-raan Rakyat Aburizal Bakrie.
Untuk meminimalkan benturan kepentingan antara ke-dua- pejabat tinggi itu dengan proyek nasional yang pen-ting ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya tak melibatkan keduanya dalam struktur organisasi pengarah dan pelaksana proyek. Bahkan, mengingat besarnya biaya proyek dan tingginya potensi penghematan yang dapat dihasilkan kegiatan ini, sebaiknya Presiden Yudhoyono yang memimpin langsung.
Bila kepemimpinan ini sukses, pada tahun 2009 nanti ta-rif listrik nasional akan bersaing secara global, PLN menjadi perusahaan yang berlaba besar, dan hampir seluruh rakyat menikmati setrum yang terang benderang. Termasuk, tentunya, saat merayakan pesta rakyat memilih anggota parlemen dan pimpinan nasional periode mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo