Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasca terbitnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) masih terjadi pro dan kontra atas Permendikbud tersebut sampai saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bicara mengenai kekerasan seksual, psikoanalis Sigmund Freud menjelaskan bahwa seksualitas adalah naluri manusia, yang satu sisi dapat dikontrol dan di satu sisi lepas kendali. Seksualitas ini ada pada diri setiap individu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seksualitas sendiri merupakan aspek kehidupan yang mencakup seks, gender, orientasi seksual, erotisme, kesenangan (pleasure), keintiman dan reproduksi. Seksualitas pada umumnya diekspresikan melalui interaksi dan hubungan dengan individu dari jenis kelamin yang berbeda maupun sesama jenis kelamin dan mencakup pikiran, pengalaman, pelajaran, ideal, nilai, fantasi, dan emosi. Oleh karena itu seksualitas berhubungan dengan bagaimana seseorang merasakan diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada lawan jenis atau sesama jenis kelamin melalui tindakan yang dilakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan, dan senggama seksual, dan melalui perilaku yang lebih halus, seperti isyarat gerakan tubuh, etiket, berpakaian, dan perbendaharaan kata (Weeks, 2003). Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama dan spiritual (Correa, Petchesky, and Parker, 2008).
Seksualitas yang dapat dikontrol melahirkan aktivitas sosial positif. Namun seksualitas yang tidak dapat dikendalikan memproduksi kekerasan seksual. Tentunya, seksualitas pada setiap individu akan berbeda satu sama lain tergantung pengaruh interaksi yang terjadi pada dirinya.
Kekerasan seksual saat ini semakin tumbuh subur dengan berkembangnya akses media teknologi berbasis internet. Kemajuan teknologi-internet terlihat jelas dalam kehidupan masyarakat saat ini, salah satunya dengan diperkenalkannya berbagai macam produk teknologi yang terhubung dalam jaringan internet, seperti smartphone, laptop atau komputer, tablet, dan PDA atau Personal Digital Assistant. Dengan internet, produk teknologi, dan berbagai aplikasi dan media sosial, kini masyarakat diilustrasikan seperti tidak lagi berjarak, tidak ada lagi sekat informasi yang selama ini terpisah oleh jarak. Masyarakat dibuat tidak hanya mudah dalam mengakses informasi, bahkan mudah dalam menjalani rutinitas.
Salah satu dari berbagai bidang kehidupan yang dijalani masyarakat dengan menggunakan akses internet, produk teknologi, dan berbagai aplikasi dan media sosial, adalah bidang kehidupan seksualitas. Seksualitas tentu bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu saat ini. Hal ini karena mereka dapat dengan mudah mengaksesnya di aplikasi dan media sosial, baik menggunakan perangkat komputer atau laptop, atau dengan smartphone yang mereka miliki. Tentu dengan kemudahan dalam mengakses aplikasi dan media sosial inilah, konsekuensi sosial atas seksualitas dalam kehidupan masyarakat dapat bisa menjadi sesuatu yang berdampak positif, namun bisa juga berdampak negatif.
Terlepas dari dampak positif, dampak negatif dari kehidupan seksualitas masyarakat dan kemajuan dunia produk teknologi, dan berbagai aplikasi dan media sosial justru mengonstruksi kecanduan atas sesuatu yang berkaitan dengan pornografi. Kecanduan kemudian menjadi suatu pornoaksi yang mengarah kepada sesuatu kekerasan seksual. Misalnya saja kasus yang terjadi tahun 2014 lalu, seorang pemuda yang berusia 19 tahun di Kampung Peundeuy, Desa Mandalagiri, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya memperkosa seorang nenek berusia 59 tahun yang merupakan tetangganya sendiri. Pemuda tersebut memperkosa nenek tersebut karena terpengaruh dengan video porno yang ia tonton setiap hari di aplikasi dan media sosial. Tentunya, masih banyak kasus-kasus yang terjadi lantas berujung kekerasan seksual.
Sexting: Model Kekerasan Seksual di Era Digital
Jika dulu bentuk kekerasan seksual dilakukan secara fisik, di era masyarakat digital dengan berbagai kemajuan teknologi berbasis internet sudah tidak lagi dalam rupa konvensional.
Kekerasan seksual kini tampil dalam balutan akses dan manfaat kemajuan internet, produk teknologi, dan berbagai aplikasi dan media sosial. Tahu atau tidak tahu, banyak korban kekerasan seksual yang mengalami hal ini. Bentuk kekerasan seksual yang sering terjadi saat ini menjelma dalam bentuk digital yang termanifestasikan dalam bahasa komunikasi pada rutinitas interaksi sosial. Bentuk kekerasan seksual ini dikenal dengan istilah sexting.
Judith Davidson dalam bukunya Sexting Gender and Teens (2014), menjelaskan bahwa sexting merupakan aktifitas mengirim pesan atau gambar seksual secara eksplisit, atau menonjolkan materi seksual melalui produk teknologi yang terhubung jaringan internet (dalam hal ini smartphone). Gawai smartphone ini tentu harus didukung dengan berbagai aplikasi pesan dan media sosial, seperti WhatsApp, Line, Telegram, Instagram, Facebook, Tinder, Whisper, dan lain sebagainya. Pada aktifitas sexting terdapat dua bentuk pesan, yaitu pesan verbal dan nonverbal. Sebagai pesan verbal, aktifitas sexting diwujudkan dalam bentuk kata-kata atau kalimat yang bernada seksual (kalimat menggoda, merayu, bahkan tidak senonoh). Sementara sexting dalam bentuk nonverbal diwujudkan dalam bentuk emoticon, video, foto, dan gambar atau stiker yang juga bernada seksual.
Aktifitas sexting juga dapat dilihat dari sudut pandang produksi media dan ekspresi diri. Sebagai sebuah produksi media, produksi konten seks dan seksualitas menyoroti aspek privasi pada pembuatan konten seksual, baik pada media sosial maupun smartphone. Namun, sebagai ekspresi diri, sexting merupakan aktivitas yang sifatnya “selalu bisa terjadi” pada semua individu, mulai dari anak, remaja, dewasa, masyarakat biasa, pejabat, pendidik, tokoh publik, hingga tokoh agama. Pelaku dari sexting sendiri disebut dengan sexter.
Di era digital saat ini, mayoritas masyarakat berkomunikasi menggunakan internet dan produk teknologi yang didukung dengan berbagai aplikasi dan media sosial yang ada. Dan tidak sedikit yang tanpa sadar melakukan kekerasan seksual melalui bentuk sexting. Misalnya saja ini terjadi dalam kehidupan para remaja yang sedang menjalani hubungan pacaran, yang tanpa sadar apa yang ia lakukan merupakan bentuk sexting. Ini juga terjadi dalam kehidupan relasi antara atasan dan bawaan, begitu juga dalam relasi pertemanan, dan relasi perselingkuhan.
Untuk itulah, kekerasan seksual akan terus tampil lebih masif jika tidak ada kesadaran untuk memanfaatkan kemajuan internet, produk teknologi, dan berbagai aplikasi dan media sosial secara sehat. Sebab kendali seksualitas ada pada diri individu, begitupun kendali atas internet, produk teknologi, dan berbagai aplikasi dan media sosial yang kini mewarnai realitas hidup masyarakat.
Kekerasan Seksual di Era Post Truth
Kekerasan seksual di era digital satu sisi melahirkan kontrol sosial, namun di sisi lain dapat menjadi senjata untuk membunuh karakter personal individu (character assassination). Kita sering menyaksikan banyak berita viral yang mengungkap berbagai praktik kekerasan seksual dalam bentuk sexting. Fenomena ini kemudian menjadi kontrol sosial bagi setiap individu untuk lebih sehat mengendalikan seksualitasnya dan akses internet, produk teknologi, dan berbagai aplikasi dan media sosial.
Sebab di era masyarakat digital saat ini, kekuatan media sosial mampu mempercepat akses informasi pada kasus kekerasan seksual yang “tertutup” dan “ditutupi”. Dengan menyebarnya arus informasi, maka ini melahirkan tekanan publik kepada negara atau suatu institusi untuk menyelesaikan persoalan kekerasan seksual dengan waktu cepat kepada oknum pelaku kekerasan seksual.
Namun di satu sisi dengan berkembangnya kemajuan internet, produk teknologi, dan berbagai aplikasi dan media sosial, kekerasan seksual dalam bentuk sexting dapat menjadi senjata bagi pihak tertentu untuk membunuh karakter seseorang. Hal ini dapat tergambarkan pada kasus membuat tampilan palsu atau hoax pada suatu rekayasa pesan yang dapat dibuat dengan bantuan aplikasi tertentu, misalnya Photoshop atau fake WhatsApp. Rekayasa pesan sexting ini kemudian disebarluaskan ke media, dan kemudian secara tidak langsung dapat membunuh karakter individu.
Secara sosiologis, berkembangnya masyarakat digital melahirkan anak peradaban yang bernama “post truth”. Tidak bisa dipungkiri bahwa era masyarakat digital membuat informasi menjadi jauh lebih riuh. Setiap detik ada foto atau status baru yang di-update, dan beredar berbagai berita. Satu menit kita sign out dari dunia internet, dan sewaktu kita sign in di dunia internet langsung dipenuhi dengan berbagai informasi. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kebohongan-kebohongan buatan (hoax) yang menggiring publik untuk berasumsi bahwa kebohongan tadi adalah kebenaran.
Untuk itulah, dalam menanggapi persoalan kekerasan seksual berbentuk sexting yang kemudian viral di media sosial perlu kecermatan dan kehati-hatian masyarakat. Agar respon tadi tidak terjebak dalam agenda setting untuk membunuh karakter seseorang. Kecerdasan masyarakat dalam membaca dan memahami berbagai informasi di media sangat penting. Sehingga kita sebagai penikmat arus informasi di era masyarakat digital, dapat menikmati informasi yang sehat dan pikiran yang jernih.
Komitmen Negara Atas Persoalan Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat harus diperangi. Sebab ini menyangkut persoalan menumbuhkan kehidupan yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, dan tanpa penindasan. Persoalan kekerasan seksual bukan hanya persoalan tubuh perempuan dan laki-lakian, namun berkaitan dengan relasi kekuasaan, relasi kepentingan, dan relasi kapitalisme.
Dengan terbitnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, menjadi senjata untuk memerangi kekerasan seksual yang terjadi, khususnya dalam kehidupan kampus. Dan tentunya kehidupan sosial masyarakat juga harus dijamin oleh Negara untuk bebas dari kekerasan seksual, baik dalam kehidupan masyarakat, dan kehidupan pekerjaan.
Pada konteks kekerasan seksual dalam kehidupan kampus, pelaku-pelaku kekerasan seksual bisa berbagai aktor, dari pimpinan, dosen, pegawai, hingga mahasiswa. Sebab bicara mengenai kekerasan seksual, tidak lepas dari mengendalikan seksualitas dan kompleksitas interaksi individu dengan teknologi-internet, aplikasi dan media sosial dalam kehidupannya sebagaimana yang sudah dijelaskan penulis. Kekerasan seksual dalam kehidupan kampus dimulai dari sexting, dan dapat saja berujung pada tindakan fisik.
Untuk itu negara tidak hanya semata-mata melahirkan produk kebijakan (Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021), tetapi juga mensosialisasikan dan menerapkan produk kebijakan tersebut dengan serius. Sosialisasi, pengawasan, dan koordinasi antara pemerintah dengan setiap elemen perguruan tinggi menjadi kunci berhasil atau tidaknya produk kebijakan ini.
Jangan sampai, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 hanya gagah dalam panggung wacana, namun lesu dalam realitas. Sehingga kekerasan seksual tumbuh subur dalam jelaga produsen ilmu pengetahuan dan moralitas.
Oleh karena itu pemerintah harus memiliki komitmen atas pelaksanaan kebijakan ini agar tidak terjadi kekerasan seksual yang terus menerus. Dan hal ini tidak hanya untuk kehidupan kampus saja, tetapi juga dalam institusi pendidikan dasar dan menengah. Sebab persoalan kekerasan seksual juga sering terjadi dalam institusi pendidikan dasar dan menengah.
Di satu sisi, peran orang tua juga sangat penting dalam mendidik anak di era digital saat ini dengan segala kompleksitasnya. Agar kelak kehidupan anak-anak di masa depan dapat hidup dalam kehidupan internet, teknologi, aplikasi dan media sosial yang sehat dan tidak melakukan atau menjadi korban kekerasan seksual yang terbalut oleh kemajuan peradaban.