Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan menyeru kepada para anggota agar bersiap diri memasuki zaman baru, era intervensionisme PBB. Di depan Dewan Keamanan, dalam pidato mileniumnya, September 2000, ia mengingatkan bahwa Dewan Keamanan (DK) punya kewajiban moral untuk atas nama masyarakat internasional menindak kejahatan terhadap kemanusiaan.
Negara-negara berkembang, menurut Muthiah Alagappa, sedang "terusik" oleh euforia Barat yang merasa menang dalam Perang Dingin berkat nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan (Asian Security Order: Instrumental and Normative Features, terbit Desember 2002). Nilai-nilai yang sudah teruji itu dianggap "kodrat alam" dan perlu diresapi dunia seanteronya. Dunia bukan saja diminta ikut berdemokrasi liberal, membuka pasar lebar-lebar, tapi juga?demi mencegah penindasan hak asasi manusia dan hak kaum minoritas?menghalalkan campur tangan asing ke dalam urusan domestik suatu negara berdaulat.
"Dakwah" Barat tentang hubungan antara kedaulatan negara dan tanggung jawab masyarakat dunia menimbulkan ketegangan di Asia. Kebanyakan negara Asia tidak bisa begitu saja menerima intervensi (kemanusiaan ataupun militer). Mereka menjunjung Piagam PBB, tapi kecewa ketika di tahun 1999 DK (dengan resolusi No. 1244) memberi pembenaran terhadap intervensi ke Kosovo. Cina punya alasan tersendiri untuk marah karena memikirkan implikasi terhadap urusannya dengan Taiwan dan Tibet. Mereka menuduh negara-negara Barat mencekoki PBB dan bersikap pilih-pilih dan mendua.
Negara-negara Asia, yang khawatir bakal menjadi target intervensi, mengartikan norma baru itu cuma dalih yang menyelubungi "neo-kolonialisme, permainan kekuatan dan kepentingan diri sendiri negara Barat". Mereka tidak sudi mengikuti kemauan Barat untuk mengucilkan Birma. ASEAN malahan menerima keanggotaan Birma. Asia menolak mengikuti seruan untuk menjatuhkan sanksi atas Cina setelah kejadian Tiananmen (Jepang mengikuti Barat, tapi cuma sebentar).
Dalam banyak kasus, Asia memperlihatkan diri lebih murni ke norma Westphalia (Traktat 1684, yang menghormati kedaulatan negara dan mengharamkan campur tangan luar terhadap urusan dalam negeri). Mereka bersedia mengendurkan prinsip ini hanya bila terjadi kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, seperti genocide. Intervensi itu pun harus diberi wewenang oleh Dewan Keamanan berdasarkan Pasal VII Piagam PBB. Bila intervensi itu memakai Pasal VI, harus ada izin dari negara penerima. Terhadap ini pun mereka masih mencadangkan sejumlah pertanyaan.
Timor Timur
Perkara non-intervensi atau mau melonggarkan sedikit kedaulatan dan menerima campur tangan luar tidak saja bisa menegangkan hubungan Asia dengan Barat, tapi juga bisa merusak tenggang rasa di antara negara-negara Asia sendiri. Tiap-tiap penguasa di benua besar ini memendam masalah hak asasi manusia dan minoritas. Maka, sebaiknya jangan terlalu dibangkit-bangkitkan.
Asia, misalnya, baru mau mendukung campur tangan asing ke Timor Timur setelah Indonesia mengizinkan dan setelah mendapat mandat dari Dewan Keamanan PBB. Padahal ketika itu integrasi Tim-Tim ke dalam RI jelas tidak diakui masyarakat internasional. Kasus Tim-Tim adalah kekecualian karena secara umum intervensi diharamkan oleh Asia. Intervensi NATO ke negara bekas Yugoslavia yang melahirkan beberapa negara baru adalah preseden yang berbahaya.
Di antara negara ASEAN terjadi adu pendapat antara menerapkan prinsip non-intervensi secara absolut atau lebih luwes. Di tahun 1998 Filipina bersama Thailand mendesak negara-negara anggota ASEAN boleh melanggar non-intervensi kalau situasi di negara tetangga mengancam keamanannya. Setelah perdebatan sengit, para Menteri Luar Negeri ASEAN bersepakat untuk tidak sepakat. Mereka menyerukan kepada setiap negara anggota yang dilanda kemelut yang bisa menjalar ke tetangga, "agar memadamkan sendiri kebakaran di rumahnya".
Perdebatan di ASEAN dan resolusinya, kendati masih menunjukkan fundamentalisme Westphalian, telah memunculkan pengakuan bahwa masalah hubungan penguasa dan rakyat suatu negara tak mungkin lagi ditutup-tutupi dari sorotan masyarakat internasional. Maka, prinsip dan nilai-nilai yang kaku perlu dimodifikasi agar bisa menampung tekanan dari dalam dan tuntutan dari luar.
Prinsip non-intervensi ini memang sedang menghadapi tantangan. Di dalam negeri berjangkit paham liberal seperti di Barat. Di paruh pertama 1990-an terjadi saling asah antara yang disebut nilai-nilai universal itu dan nilai Asia. Perdebatan ini terhenti oleh krisis ekonomi dan keuangan yang melanda Asia di tahun 1997 dan transisi demokrasi di Indonesia, Filipina, Korea Selatan, Taiwan. Nilai dan model Asia kini dalam posisi defensif.
Otonomi dan Federalisme
Toleransi dan proteksi kaum minoritas merupakan komponen penting dari berbagai perjanjian damai dan konvensi sejak abad ke-16. Semangat inilah yang mengisi berbagai deklarasi dan konvensi PBB. Kendati keprihatinan komunitas internasional terhadap hak-hak minoritas tak semenonjol seperti terhadap hak asasi manusia dan kemanusiaan, perhatian terhadap kaum-kaum minoritas terkait dengan keyakinan bahwa toleransi adalah mutlak bagi terciptanya pemerintahan yang demokratis dan kestabilan internasional.
Intervensi NATO terhadap bekas Yugoslavia di awal 1990-an didasarkan pada pertimbangan menjaga stabilitas kawasan Balkan dan mencegah penyebaran konflik etnis ke negara lain di seputar kawasan itu.
Banyak pemerintah Asia belum mau memberi perlakuan khusus bagi kaum minoritas, khususnya kalau itu berupa opsi federalisme dan otonomi. Yang tetap laku di sini adalah kukuhnya negara kesatuan dan penentuan oleh mayoritas. Gagasan federalisme dan daerah otonom ditolak, karena itu adalah kebijakan pecah-belah kaum imperialis. Indonesia membuang ide negara federal karena tetap dilihat sebagai warisan buruk penjajah Belanda, yang dulu ingin melemahkan perjuangan kemerdekaan RI.
Mengalami sejumlah pergolakan dan perlawanan sengit dari gerakan memisahkan diri, beberapa negara Asia seperti Filipina, Indonesia, Sri Lanka mulai mempertimbangkan pemberian opsi otonomi kepada daerah-daerah yang keras menuntut merdeka. Kendati ada perubahan sikap, umumnya negara Asia tidak bisa menerima adanya tanggung jawab internasional terhadap perlindungan minoritas. Cina mencap dukungan Barat terhadap Tibet sebagai neo-kolonialisme.
Dukungan internasional terhadap kelompok minoritas, terutama mereka yang ingin memisahkan diri dari negara, dilihat oleh pemerintah-pemerintah Asia bukan hanya sebagai campur tangan urusan dalam negeri, tapi juga mengancam persatuan, integrasi wilayah, dan kestabilan politik.
Negara-negara Asia, khususnya di Asia Tenggara, menjauh atau tidak mau melibatkan diri dalam konflik minoritas suatu negara. Kalau toh terpaksa bersikap, mereka mendukung negara daripada minoritas, sekalipun penguasa negara pendukung itu sesuku dan seagama dengan kaum minoritas itu. Tapi di Asia Selatan berbeda. Pakistan terus membantu pejuang Kashmir, dan India bersimpati pada perjuangan Macan Tamil yang mau memisahkan diri dari Sri Lanka.
Kebanyakan pemerintah di Asia menolak ditengahi oleh masyarakat luar. Tapi ada juga yang mau, asal sejalan dengan garis yang sedang ditempuh oleh pemerintah dan menguntungkannya secara politik. Filipina menerima penengah dari OKI (Organisasi Konferensi Islam), Indonesia, dan Malaysia. Sri Lanka mau menerima mediator dari Eropa. Kebalikan yang tajam, India, Cina, dan Birma menolak setiap keterlibatan internasional.
Negara-negara di Asia mau memberikan opsi otonomi, tapi tegas menentang setiap tuntutan penentuan nasib sendiri atau kemerdekaan. India, walau bersimpati pada gerakan Tamil di Sri Lanka, tetap tidak mau mendukung tuntutan mereka mendirikan negara yang terpisah dari Sri Lanka.
Pengertian yang dianut bersama di Asia adalah: mengabulkan tuntutan kaum separatis berarti mengoyak peta politik Asia, mengakibatkan pergolakan internal yang akut, mundur puluhan tahun ke belakang. Indonesia adalah contohnya. Negeri ini bisa menjadi duri yang mengusik stabilitas. Karenanya, tak ada dukungan dari Asia atau dari Barat buat penentuan-nasib-sendiri rakyat di Aceh dan Papua Barat.
Lagi pula memang tidak terdapat pengertian bersama di dunia tentang hak masyarakat minoritas dan peran masyarakat internasional untuk melindunginya. Jadi, sudah dekatkah intervensi PBB terhadap negeri kita? Tampaknya masih jauh.
Daud Sinjal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo