Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALAU sejak awal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cepat bertindak, kisruh Bank Century tentu tak akan seruwet sekarang. Presiden mestinya membuat pernyataan publik bahwa ia mengetahui dan merestui kebijakan penyelamatan Bank Century. Presiden mestinya bicara bahwa ia berdiri satu biduk dengan sekalian pembantunya yang yakin bank kecil itu gagal dan berdampak sistemik—keadaan yang mungkin mengundang krisis ekonomi.
Kebijakan, seperti diketahui, tak bisa dikriminalisasi. Bila kelak di kemudian hari terbukti terjadi penyalahgunaan wewenang dan niat jahat di balik kebijakan itu, si pelakulah yang harus diseret ke mahkamah. Dengan begitu, Presiden mestinya mengambil alih semua tanggung jawab. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang memutuskan bail out dan diketuai Menteri Keuangan adalah lembaga eksekutif. Presiden adalah pejabat eksekutif tertinggi di republik ini.
Anehnya, justru mayoritas anggota Panitia Khusus belum memandang perlu mengundang Presiden datang ke Senayan. Artinya, sasaran sesungguhnya bukanlah Presiden. Setelah Ketua Umum Partai Golkar—yang anggotanya menjadi pimpinan Panitia Khusus—mengatakan Wakil Presiden Boediono tidak perlu dimakzulkan, kita tahu sasaran tembak adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Dalam proses penyelamatan Century, peran Menteri Keuangan sebagai Ketua KSSK intinya hanya satu: dia menetapkan bank itu berdampak sistemik dan karena harus diselamatkan. Debat tentang dampak sistemik ini tak berkesudahan. Tak ada satu ukuran pun yang bisa meyakinkan bahwa asumsi dampak sistemik itu salah atau benar.
Dalam proses politik, manuver menyudutkan Sri Mulyani ini bukan sesuatu yang luar biasa. Tapi menetapkan target bidik sebelum sampai pada hasil akhir membuat Panitia Khusus hilang arah: Panitia semakin jauh dari sumber persoalan sebenarnya, yaitu pengawasan bank yang diduga ”dijarah” pemiliknya sendiri itu.
Toh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono sudah menyampaikan pertanggungjawaban dalam ”persidangan politik” di Senayan itu. Kendati terasa memberikan ruang kelewat lebar bagi anggota Panitia Khusus untuk ”mengkuyo-kuyo” para pembantu Presiden, persidangan itu harus dipandang mekanisme biasa saja dalam negara demokrasi. Proses checks and balances sedang berjalan. Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan salah satu hak ajudikasi dan legislasi untuk mengawasi pemegang kekuasaan eksekutif.
Kritik ke alamat Panitia Khusus barangkali menyangkut soal cara melaksanakan hak menyelidiki itu. Panitia Khusus terlihat konyol ketika ”menginterogasi” pejabat negara karena dilakukan tanpa bekal yang lebih dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan—yang sebagian temuannya mengandung kelemahan.
Bila semua bertindak rasional dan proporsional, hak angket tak perlu dipelesetkan menjadi ”angkot” yang berjalan tak keruan—meminjam istilah demonstran penentang pemerintah. Presiden mestinya tak usah sibuk menutup jalan agar ”angkot” tak menabrak dan merobohkan kekuasaannya. Demonstran pun tak punya ”peluru” kuat untuk mengadili Boediono dan Sri Mulyani di jalanan karena dianggap melenyapkan dana penyelamatan Century Rp 6,7 triliun.
Semua bereaksi serba prematur. Pertemuan di Istana Bogor, yang dihadiri pimpinan lembaga tinggi negara, meskipun tidak secara spesifik membahas pemakzulan, terkesan sebagai usaha membentengi diri yang terlalu dini dari jalan konstitusional untuk ”menjatuhkan” Presiden itu.
Sebenarnya Yudhoyono tak perlu terlalu cemas. Ia disokong oleh enam partai yang menguasai lebih dari 75 persen atau 424 kursi DPR. Bila Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera bisa dijaga agar tak ”selingkuh” terhadap koalisi propemerintah, dukungan untuk Yudhoyono di Senayan masih lebih dari 50 persen. Lagi pula, pemakzulan membutuhkan proses yang panjang dan berliku. Pada setiap tahap, partai penyokong Yudhoyono dengan mudah bisa memenangkan pemungutan suara.
Dengan peta kekuatan seperti itu, Presiden diharapkan bersikap tegas menyikapi hasil kerja Panitia Khusus nanti. Akan runyam politik kita bila petinggi negeri terseret pusaran permainan berjudul ”tak ada rotan akar pun jadi”. Permainan itu kira-kira begini: jika tak bisa menjatuhkan Presiden, wakilnya pun cukuplah. Jikapun tidak Wakil Presiden, ada baiknya Menteri Keuangan saja. Tak perlu juga memberikan konsesi jabatan di badan usaha milik negara atau duta besar, misalnya, demi ”menjinakkan” partai yang berseberangan sikap dalam Panitia Khusus.
Presiden jelas punya hak prerogatif untuk mencopot pembantunya di kabinet. Tapi, jika itu dilakukan sebagai bagian dari penyelesaian transaksional demi menyelamatkan kekuasaan, kita patut mengurut dada. Politik mencari ”tumbal” adalah politik yang, meminjam Bung Hatta, tidak didasari oleh keinginan untuk mencapai kemaslahatan bersama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo