Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NEGERI ini adalah surga bagi penenggak alkohol. Minuman beralkohol, berapa pun kadarnya, apa pun mereknya, asal ada duit, bisa didapat dengan mudah di sini. Tak perlu repot titip turis untuk beli di toko duty free di sini, apalagi pesan dari luar negeri. Di supermarket, toko serba ada, semuanya tersedia. Di warung-warung pinggir jalan pun bir dijual bebas. Begitu juga minuman keras kelas "murah meriah", yang dijual diam-diam.
Rencana keluarnya kebijakan baru Menteri Perdagangan tentang minuman keras (miras) layak dikritik untuk beberapa alasan. Pertama, soal munculnya "PT Misterius"?karena belum ditentukan namanya?dalam rantai tata niaga miras. Monopoli bangkit lagi. Semula, importir miras adalah perusahaan negara, PT Dharma Niaga, yang kemudian memasarkan miras di sini lewat sejumlah distributor. Dalam beleid baru Menteri Luhut Panjaitan, PT Dharma Niaga akan mengirim miras ke gudang "PT Misterius", baru dari sana si Misterius akan menyalurkan ke distributor. Setiap tambahan pemain dalam rantai tata niaga adalah tambahan biaya yang ujungnya membuat harga yang ditanggung konsumen lebih mahal. Selain itu, bukankah sistem monopoli seperti ini juga ditolak di zaman Orde Baru, ketika Ari Sigit Soeharto dan Emir Baramuli akan diberi jatah melabel miras yang masuk kemari? Menteri Luhut mengatakan itu untuk meningkatkan pendapatan negara. Secara teori, setiap penghapusan rantai tata niaga seharusnya justru membuat perusahaan negara yang mengimpornya lebih untung?entah jika "bocor" di mana-mana.
Kritik kedua adalah soal perlindungan terhadap konsumen, dan ini jauh lebih penting ketimbang yang pertama. Negeri ini sudah sejak 1934 membuat aturan soal minuman keras lewat 30 aturan hukum?mulai Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 sampai Keputusan Menteri Perdagangan yang sebentar lagi akan keluar soal pengawasan serta pengendalian impor dan peredaran minuman beralkohol. Semua aturan ini bagus, di atas kertas. Tapi siapa yang mengawasi bahwa anak-anak di bawah usia 21 tahun tak boleh membeli miras di supermarket? Di Amerika, jika seorang pembeli dicurigai, petugas supermarket akan mengecek usia si pembeli, dan jika terbukti si pembeli menipu, "KTP"-nya dicabut untuk beberapa tahun.
Yang lebih kusut adalah urusan miras kelas "murah meriah". Minuman sekelas "bila disundut api pun menyala" ini gampang sekali didapat di kota-kota besar, apalagi di Jakarta?sama gampangnya dengan membeli shabu-shabu, pil koplo, atau ganja. Peredaran miras kelas ini rasanya lebih jauh dari jangkauan aparat ketimbang yang dijual di supermarket atau toserba. Padahal, daya rusaknya bagi kesehatan jauh lebih dahsyat.
Jika aparat mandul membasminya dan hanya peduli kepada pajak miras ini?untuk Jakarta saja masuk Rp 22 miliar setahun?yang terjadi bisa macam-macam. Bisa jadi gerakan "polisi moral"?yang menghancurkan semua tempat yang diduga menjual miras, bahkan menghajar botol-botol miras sampai ke gudang-gudang?akan merajalela. Gerakan ini jelas tak ada urusannya dengan soal kesehatan, misalnya. Bisa saja masyarakat tak peduli, dan itu artinya negeri ini siap menerima lahirnya generasi teler, pemabuk, pemadat?yang moto hidupnya: suka-suka gue, yang penting enak, emang gue pikirin?.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo