Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ignatius Haryanto
Magister Filsafat dari STF Driyarkara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada dekade kedua abad ke-21 ini, rupanya masih ada pemerintahan yang takut akan keberadaan buku. Buku yang ditakuti adalah hasil dari bayang-bayang ketakutan yang diwarisi dari masa sebelumnya. Di tengah era informasi yang bebas dan mudah diakses, menjadi tak masuk akal jika ada rezim yang masih takut akan buku dan berencana melakukan sweeping terhadap buku-buku yang dianggap beraliran komunis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Entah mengapa masalah 1965 dengan segala pernak-perniknya masih terus menghantui sejumlah pemimpin pemerintahan. Alih-alih masalah itu diselesaikan agar tak mengurangi persoalan yang dihadapi bangsa ini, di siang bolong tiba-tiba muncul lagi gagasan melakukan sweeping terhadap buku kiri atau buku yang dianggap beraliran komunis. Dengan dalih Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1965 yang tak pernah dicabut itu, ketentuan ini menjadi pasal karet yang dipakai kapan saja, oleh siapa pun, untuk menyapu atau menyensor buku-buku yang dianggap beraliran komunis. Entah efek apa yang ditakuti atas buku-buku ini.
Mereka yang berkeras melakukan sweeping seharusnya melakukan survei lebih dulu: siapa yang masih terpengaruh oleh ideologi komunis dan siapa yang masih mengidamkan kehidupan tertutup dan serba ketakutan seperti yang dialami masyarakat di Korea Utara, misalnya? Ya, terpaksa menyebut Korea Utara karena tak ada lagi simbol yang masih tersisa untuk menyebut negara komunis. Cina dan Rusia, yang pernah mengaku komunis pun, sekarang mengikuti jejak kapitalisme negara-negara Barat.
Mereka yang melakukan sweeping seharusnya paham bahwa masyarakat di Indonesia ini kurang baca, juga kurang mau mencari informasi atau pengetahuan lewat buku. Lihat saja survei UNESCO mengenai tingkat literasi negara-negara di dunia. Dari 61 negara yang disurvei, Indonesia ada di peringkat kedua dari bawah. Boro-boro membaca buku komunis dan terpengaruh, membaca buku saja ogah. Jadi, mengapa susah-susah melakukan sweeping segala?
Selain soal ketidaktahuan bahwa ideologi komunis rasanya susah berkembang lagi di dunia dan Indonesia, ada hal lebih penting yang mendasari rencana dan pelaksanaan sweeping buku tersebut. Hal itu adalah tindakan anti-intelektual yang ditunjukkan oleh mereka yang menginginkan adanya sweeping tersebut.
Ketersediaan informasi yang beragam dan menawarkan aneka perspektif yang berbeda adalah salah satu ciri suatu negara yang demokratis. Sebaliknya, melakukan sweeping atas buku-buku yang dianggap mewakili pemikiran tertentu adalah ciri negara yang tidak demokratis. Sebenarnya, yang justru perlu lebih dikhawatirkan adalah ketika pada masa-masa awal reformasi, di pasar buku di Indonesia beredar terjemahan buku Mein Kampf karya Adolf Hitler dan pernah menjadi buku terlaris di sejumlah toko buku. Di Eropa, atau di Jerman, tempat Hitler berkuasa dulu, buku ini dilarang terbit dan mereka yang hendak membacanya harus melakukannya di dalam perpustakaan, tak dijual bebas seperti di Indonesia.
Buku Mein Kampf adalah kitab yang mendasari tindakan fasis yang dilakukan Hitler pada masa Perang Dunia II. Herannya, terjemahan buku itu laris di sini dan tak ada yang keberatan. Buku ini tak pernah ditargetkan untuk disapu. Apakah para penyapu buku itu lebih toleran pada fasisme ketimbang komunisme? Kalaupun buku Mein Kampf itu diterbitkan di Indonesia, seharusnya ada kata pengantar yang demikian kritis dari ahli untuk membedah dan memberikan catatan "hati-hati" terhadap isi buku ini.
Sejelek apa pun isi sebuah buku, biarlah dia hidup, biarlah dia terbit, sehingga mereka yang melakukan kritik terhadap buku jelek tersebut sama-sama bisa diakses oleh masyarakat. Sweeping tak akan mempengaruhi keingintahuan seseorang terhadap hal yang dilarang tersebut. Apalagi kini mereka yang kehilangan informasi akibat aksi sweeping dengan mudah bisa membuka Internet dan mencari naskah yang sama-atau bahkan lebih komprehensif-di sana.
Jadi, sia-sialah sebuah rezim yang masih percaya bahwa "melakukan sweeping buku akan melindungi masyarakatnya". Ini tindakan salah, anti-intelektual, dan tak mencerdaskan masyarakat. Biarkan buku apa pun hadir di sini, asalkan juga ada tempat bagi mereka yang mengritik buku tersebut. Tapi, kalau maksud sweeping itu untuk membaca isi buku itu dan memahaminya, saya sih tak keberatan menyumbangkan buku-buku saya dengan topik-topik sejenis kepada mereka yang memang ingin belajar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo