Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain menghadapi teanan dari kenaikan suku bunga The Fed, bank sentral Amerika Serikat, ekonomi global tahun depan masih berisiko terperosok ke jurang yang lebih dalam jika perang dagang antara Amerika dan Cina masih berkobar. Amerika telah memberlakukan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal Cina senilai US$ 250 miliar. Tak tinggal diam, Cina pun baru saja membalasnya dengan kebijakan serupa senilai US$ 110 miliar. Tak bisa dihindarkan, perang dagang di antara kedua negara itu, yang telah menjalar ke Jepang, Uni Eropa, Kanada, dan negara-negara lain, melahirkan kecemasan baru perihal berlarut-larutnya pemulihan ekonomi global. Wajar jika Dana Moneter Internasional (IMF) mengoreksi turunnya pertumbuhan ekonomi global tahun ini dan tahun depan masing-masing dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sialnya, vitalitas domestik Indonesia belakangan ini terlihat kurang energetik. Rupiah tahun depan diperkirakan akan kembali diuji oleh persoalan fundamental ekonomi domestik. Ancaman yang paling nyata adalah defisit neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan (CAD). Pada Januari-Agustus 2018, neraca perdagangan mengalami defisit US$ 4,09 miliar. Padahal, pada periode sama tahun silam, neraca perdagangan menorehkan surplus US$ 9,07 miliar.
Dengan kondisi neraca perdagangan yang defisit, CAD pun tentu akan semakin melebar. CAD, yang hingga kuartal II-2018 mencapai US$ 8,03 miliar, diprediksi membengkak menjadi US$ 25 miliar pada akhir tahun. Bahkan sangat mungkin defisit perdagangan dan CAD tahun depan semakin lebar. Imbasnya, CAD yang membesar akan menjadikan rupiah makin rawan terdepresiasi akibat minimnya suplai dolar Amerika di dalam negeri.
Adapun surplus dagang yang terjadi pada September bukan gambaran yang tepat untuk merepresentasikan perbaikan fundamental ekonomi Indonesia, karena bukan ditopang oleh kenaikan ekspor melainkan pengurangan impor. Membatasi impor tanpa kenaikan ekspor menandakan penurunan kapasitas produksi nasional.
Dalam kondisi itulah rancangan fiskal 2019 ditetapkan. Pemerintah menargetkan pendapatan negara mencapai Rp 2.142,5 triliun, yang meliputi total dari perpajakan Rp 1.781 triliun, dalam Rancangan APBN 2019. Pajak non-migas direncanakan tumbuh 16,6 persen dari target outlook APBN tahun ini atau sebesar Rp 1.510 triliun. Sementara itu, dari kepabeanan diprediksi pendapatan tumbuh 5,6 persen menjadi Rp 208,7 triliun.
Jokowi mengatakan kalkulasi tersebut sudah sesuai dengan gambaran perekonomian kita saat ini. Namun saya melihat target tersebut sangatlah ambisius sehingga rencana belanja pun terkesan terlalu dipaksakan. Tampaknya, dengan angka ambisius itu pemerintah akhirnya menurunkan proyeksi defisit anggaran pada tahun depan menjadi Rp 297,2 triliun atau setara dengan 1,84 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tahun ini yang sebesar Rp 325,9 triliun atau 2,19 persen dari PDB.
Dengan kata lain, pemerintah terkesan ingin menutupi peluang penambahan utang tahun depan dengan meningkatkan proyeksi penerimaan yang berakibat penurunan proyeksi defisit, karena beberapa waktu belakangan utang menjadi topik kritik publik. Imbasnya, angka defisit yang direncanakan tentu akan serta-merta mengecil, yang berarti seolah-olah peluang untuk memperbesar kebutuhan utang menjadi mengecil pula.
Namun persoalannya harus juga dilihat secara kontekstual. Rencana itu bagus. Tapi, apakah Indonesia mampu menarik pemerimaan sebesar itu, yakni tumbuh sekitar 15-16 persen, di tengah pertumbuhan ekonomi yang terbilang biasa saja? Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen dan inflasi 4 persen, secara alamiah kemampuan tumbuh dari penerimaan pajak negara hanya 9-10 persen. Kalaupun ada usaha ekstra, itu pun saya kira hanya 1-2 persen, sebagaimana pengalaman selama ini.
Dengan potensi itu, serta-merta peluang melebarnya defisit sebenarnya sangat besar. Saat menjelang akhir tahun, kalau shortfall penerimaan pajak terjadi lagi, defisit akan melebar dan pemerintah mau tak mau akan berutang lagi. Di sinilah persoalannya. Dengan menjadikan penerimaan dan defisit sebagai bagian dari pencitraan di tahun politik, pemerintah sedang mempertaruhkan kredibilitas fiskal Indonesia dengan menginisiasi angka-angka penerimaan negara yang kurang rasional. Harus diingat pula bahwa ajuan fiskal tersebut bisa menjadi proyeksi yang mengecewakan bagi dunia usaha dan pasar di kemudian hari dan akan memperburuk situasi perekonomian nasional.