Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Siasat Menarik Penyidik KPK

Kontroversi penarikan penyidik kembali melanda Komisi Pemberantasan Korupsi.

12 Februari 2020 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kontroversi penarikan penyidik kembali melanda Komisi Pemberantasan Korupsi. Terlepas dari bagaimana akhir kisah penarikan penyidik ini, faktanya, kisah penarikan penyidik KPK, baik yang berlatar belakang kepolisian maupun kejaksaan, sudah sering terjadi dengan berbagai alasan. Patut dicermati adanya kesamaan situasi ketika para penyidik tersebut ditarik, yakni ketika mereka menangani perkara-perkara besar. Hipotesis pelemahan KPK memang menjadi sulit dibantah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah kondisi keterbatasan jumlah penyidik, KPK kini justru mempersiapkan aturan tentang waktu pemeriksaan dan jangka waktu pemanggilan saksi. Pimpinan KPK menyatakan aturan tersebut dipersiapkan agar pemeriksaan saksi tidak memakan waktu dan lebih efisien. Namun, dengan banyaknya perkara dan jumlah penyidik terbatas, bagaimana mungkin para penyidik dapat memeriksa perkara maupun saksi dengan lebih cepat?

Tampak jelas rangkaian sistematis antara pengesahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dan desain membuat KPK menjadi tidak independen. Ini khususnya berkaitan dengan ketentuan pengangkatan penyidik yang harus memenuhi kualifikasi tertentu, seperti memiliki kemampuan penyelidikan dan penyidikan. Dengan begitu, hanya penyidik dari kepolisian dan kejaksaan yang memenuhi kualifikasi tersebut, padahal penyidik ini dapat sewaktu-waktu ditarik kembali ke instansi asalnya.

James Stuart (2009) menyatakan bahwa jika sebuah lembaga antirasuah masih memiliki ketergantungan kepada lembaga lain, lembaga itu tidak memiliki independensi yang kuat dan relatif dapat diintervensi. Peristiwa penarikan penyidik dari instansi lain dapat dikatakan akan relatif mengganggu proses penyidikan perkara di KPK.

Penyidikan merupakan bagian terpenting dalam pengungkapan sebuah kasus, termasuk menentukan status saksi ataupun tersangka. Kontroversi penarikan penyidik hingga rencana pembuatan aturan mengenai pemeriksaan saksi menimbulkan kesan bahwa KPK sedang membatasi akses pemberantasan korupsi itu sendiri, atau lebih jauh tentu akan ada pihak yang diuntungkan oleh aturan baru tersebut.

Penarikan penyidik ke instansi awal juga dapat dimaknai sebagai solusi (dalam pengertian negatif) dari penyidik KPK yang melakukan pelanggaran etik maupun pelanggaran hukum dan terancam kena sanksi. Dengan ditarik ke instansi awal, oknum tersebut terbebas dari sanksi. Hal ini sudah beberapa kali terjadi di KPK.

Penarikan penyidik selalu mengakibatkan dua hal. Pertama, penyidik yang tengah menangani kasus, terutama kasus yang pelik, akan rawan diinterupsi. Hal ini juga akan mengganggu penanganan perkara, terutama pengembangan perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan banyak pihak, termasuk banyak saksi.

Penarikan penyidik akan rawan menjadi jalan bagi intervensi kasus yang sedang ditangani KPK karena proses penyidikan akan menentukan status seseorang maupun berubahnya status seseorang, misalnya dari saksi menjadi tersangka. Kebenaran materiil akan lahir dari penyidikan yang cermat. Persoalannya, dalam Undang-Undang KPK baru itu dikenal adanya surat perintah penghentian penyidikan (SP3), sehingga penggantian penyidik akan berpotensi digunakan untuk menginterupsi proses yang sedang berlangsung atau sebaliknya. Artinya, penarikan penyidik akan rawan kepentingan, baik terhadap status pihak yang diperiksa maupun nantinya jika diterbitkan SP3.

Dalam penanganan perkara di KPK berlaku model kolektif kolegial. Untuk setiap keputusan, termasuk penetapan status maupun penerbitan SP3, perlu dilakukan gelar perkara dan disetujui unsur pimpinan. Namun penarikan penyidik yang sedang menangani perkara tetap saja dapat menginterupsinya, bahkan mengintervensi jalannya penanganan perkara.

Sebagaimana diuraikan oleh Alex and Smith (2014), lembaga pemberantasan korupsi harus memiliki perhitungan rasio penyidik yang ideal. Saat ini seharusnya pimpinan KPK membuat aturan soal rasio ideal penyidik KPK dan menindaklanjutinya dengan nota kesepahaman bersama instansi terkait, seperti kepolisian dan kejaksaan. Nota tersebut perlu menegaskan soal kerahasiaan perkara hingga tata cara penarikan penyidik.

Kedua, penarikan penyidik akan mengganggu kelanjutan penanganan perkara. Saat ini, rasio penyidik belum ideal serta jumlah penyidik dari non-kepolisian dan kejaksaan masih sedikit. Maka, penyidikan KPK masih sangat bergantung pada penyidik dari kepolisian dan kejaksaan.

Solusi jangka pendeknya, KPK perlu membuat aturan dan mekanisme mengenai penempatan dan penarikan penyidik guna menjamin kecukupan rasio dan keberlanjutan penanganan perkara. Hal ini dituangkan dalam nota kesepahaman bersama instansi terkait, seperti kepolisian dan kejaksaan.

Solusi jangka panjangnya, KPK harus memiliki penyidik sendiri yang sesuai dengan kualifikasi. Dengan demikian, bila rasio jumlah penyidik KPK non-kepolisian dan kejaksaan mencukupi, penarikan penyidik dari kepolisian dan kejaksaan tidak banyak mengganggu kinerja KPK. Hal ini juga akan menghindari siasat penarikan penyidik untuk kepentingan yang bertentangan dengan pemberantasan korupsi.

 
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus