Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Singgah ke bali dong, mister

Agar turis banyak datang ke Indonesia, industri pariwisata kita perlu mempromosikan indonesia secara terpadu. program wisata perlu diiklankan, seperti yang dilakukan belanda, spanyol dan negara lain.

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP tahun sejuta orang Australia pergi ke luar negeri. Anda pikir mereka semua perenang telanjang yang datang ke Bali? Salah. Sebagian terbesar pergi ke Inggris -- tanah leluhur. Sebagian lagi ke Selandia Baru yang hanya "sepelempar batu". Hanya 80 ribu -- alias 8% -- yang datang berwisata ke Indonesia. Anda mungkin gusar. Anda akan membuka peta dan menemukan bahwa jarak Sydney-Denpasar hanya seperlima jarak Sydney-London. Kenapa? Setidaknya, mereka kan bisa mampir ke Bali sepulang dari negeri leluhur? Bukankah di Kuta harga seporsi lobster hanya tiga dollar -- sepersepuluh harga di Sydney? Bukankah di Kuta ada mushroom omelette yang jamurnya bisa membuat fly? Terlambat atau tidak, Garuda baru-baru ini mengikat kerja sama dengan Qantas -- maskapai penerbangan Australia. Kurang jelas bagaimana persisnya perjanjian itu. Tetapi pasti tidak meleset kalau dikatakan bahwa upaya itu untuk meningkatkan arus wisatawan secara timbal balik. Hotel milik Garuda di Nusadua kan perlu diisi tamu? Begitu juga kursi-kursi kosong dalam pesawat Garuda ke dan dari Australia. Mudah-mudahan perjanjian itu pun mengatur program komunikasi yang kongkret. Bukan apa-apa: cukup banyak praktisi komunikasi yang menilai Garuda tidak cukup baik berkomunikasi dengan pasar -- kecuali pemberitahuan tentang pesawat-pesawatnya yang baru. Majalahnya (in-flight magazine) saja digarap sebuah biro asing. Tak heran kalau informasi tentang provinsi-provinsi di Indonesia pernah dimuat dengan korting Timor Timur. Iklannya? Ya, sesekali Anda akan melihat iklan Garuda yang kecil dan malu-malu di majalah luar negeri. Di dalam negeri, Anda boleh menunggu iklan Garuda bila ada pesawatnya yang jatuh dan Garuda merasa wajib menyatakan duka cita. Tidak hanya Garuda yang tidak jelas sikapnya dalam berkomunikasi dengan pasar. Industri wisata Indonesia rata-rata memang tidak punya sikap dan konsep yang jelas untuk mengkomunikasikan programnya. Selama ini kita hanya bisa bicara target. Lalu kalau targetnya ternyata kempes, keluarlah pernyataan bahwa asumsinya keliru, dunia Barat sedang dilanda resesi, dan lain sebagainya. Contoh yang jelas baru saja lewat. Sebuah angka dipublikasikan sebagai target kunjungan wisatawan asing yang akan mengamati gerhana matahari total. Target itu tidak saja kempes, tetapi lebih dari 90% keliru. Tuding sini, tuding sana. Ada yang menjawab, tetapi tidak ada yang menanggung. Jangan salahkan kalau banyak orang Indonesia berwisata ke luar negeri. Hitung saja berapa banyak iklan maskapai penerbangan asing dan daerah tujuan wisata di luar negeri yang disiarkan melalui media massa kita. Tiap hari pun Anda dapat melihat iklan biro perjalanan Indonesia yang menawarkan paket wisata ke luar negeri. Ada tindakan kongkret, ada hasil kongkret -- itulah mekanisme pasar yang tidak bisa tidak. Bagaimana keadaan sebaliknya? Adakah langkah kongkret untuk merayu wisatawan datang ke Indonesia? Tentu salah kalau dikatakan tidak. Tetapi apa yang ada terasa sangat ad hoc dan tidak terpadu. Proram bebas visa memang menarik. Tetapi siapa yang tahu kalau tidak dikomunikasikan secara luas? Di Konsulat Jenderal RI di New York tampak beberapa gambar besar pemandangan Indonesia -- sudah kusam, dan tidak tertata baik. Bahan-bahan rujukan pun tidak banyak tersedia di perwakilan RI. Kalaupun ada, jumlahnya tidak banyak, mutunya menyedihkan. Mungkinkah industri wisata kita melupakan unsur komunikasi? Atau para ahli komunikasi tidak cukup memberikan peran sertanya? Pernahkah para komunikator diikutsertakan? Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh. Singapore Tourist Promotion Board, sebuah badan swasta yang mengelola kepariwisataan di Singapura, menekankan unsur komunikasi dalam programnya. Hong Kong Tourist Association, juga badan swasta, menekankan unsur komunikasi pula. Dalam sejarah periklanan pun telah tercatat begitu banyak program menjual paket wisata yang berhasil dilancarkan berkat dukungan iklan. Puerto Rico "dijual" oleh biro iklan Ogilvy Mother, dan kini menjadi daerah tujuan wisata yang berhasil. Biro iklan yang sama saat ini sedang "menjual" Inggris bagi pasar wisatawan Amerika. Tanpa iklan, Spanyol tidak akan mampu mendatangkan wisatawan yang jumlahnya bahkan lebih banyak dari penduduknya dan kini malah sudah menampakkan dampak negatif kepariwisataan. Bukan hanya program besar perlu diiklankan. Program kecil pun. Contoh kongkret adalah program yang saat ini tengah diselenggarakan oleh KLM, berjudul Holland-Heart of the Arts. Negeri Belanda sebetulnya tidak kekurangan wisatawan. Kampanye-kampanye terdahulunya seperti Day on the House dan Stay on the House-nya telah memanen banyak wisatawan yang datang dengan KLM -- untuk melihat bunga tulip di awal musim panas, meihat pembuatan keju, terompah kayu dan pengasahan berlian, atau berwisata sepanjang kanal. Tetapi Belanda tidak hanya itu. Belanda punya 40 ribu monumen, 700 museum dan 12 ribu pertunjukan seni setiap tahun. Dan itulah yang "dijual" KLM -- bekerja sama dengan Dewan Pariwisata Nasional -- dalam program Heart of the Arts-nya. Di situ penumpang KLM yang berminat bisa memperoleh tiket gratis untuk mengunjungi beberapa museum, dan fasilitas pesan tempat untuk pertunjukan-pertunjukan seni. Kesemuanya dikomunikasikan secara terpadu dalam kampanye periklanan yang diarahkan pada pasar-pasar tertentu. Beberapa wartawan kebudayaan pun akan diundang, dengan harapan akan menulis dan menambah kedalamanan informasi. Anda boleh menganggap mereka bodoh. Tetapi program yang terperinci dan memakan biaya tidak sedikit itu ternyata hanya ditargetkan untuk mendapat tambahan 25 ribu wisatawan. Ya, 25 ribu, tanpa tambahan nol lagi. Masuk akal, bukan? Ada keterpaduan yang manis di situ. KLM toh harus mengiklankan diri untuk menjual kursi-kursi pesawatnya. Dewan Pariwisata membuat program dan menyediakan tiket gratis ke museum. Toh wisatawan yang pergi ke museum tidak akan tidur di museum? Mereka akan memerlukan kamar hotel. Perlu makan, angkutan, serta pulang membawa oleh-oleh. Perlu belajar ke Negeri Belanda? Tidak perlu. Pak Joop Ave tinggal menelepon salah seorang temannya di biro iklan untuk mengumpulkan teman-teman lainnya dan bertukar pikiran. Industri periklanan Indonesia pun sedang mencari kesempatan yang lebih nyata untuk membuktikan peran sertanya. Gayung bersambut, kan? Persoalannya memang tidak sesederhana itu. Tetapi perjalanan seribu kilometer toh harus dimulai dengan langkah pertama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus