SETIAP tahun sejuta orang Australia pergi ke luar negeri. Anda
pikir mereka semua perenang telanjang yang datang ke Bali?
Salah. Sebagian terbesar pergi ke Inggris -- tanah leluhur.
Sebagian lagi ke Selandia Baru yang hanya "sepelempar batu".
Hanya 80 ribu -- alias 8% -- yang datang berwisata ke Indonesia.
Anda mungkin gusar. Anda akan membuka peta dan menemukan bahwa
jarak Sydney-Denpasar hanya seperlima jarak Sydney-London.
Kenapa? Setidaknya, mereka kan bisa mampir ke Bali sepulang dari
negeri leluhur? Bukankah di Kuta harga seporsi lobster hanya
tiga dollar -- sepersepuluh harga di Sydney? Bukankah di Kuta
ada mushroom omelette yang jamurnya bisa membuat fly?
Terlambat atau tidak, Garuda baru-baru ini mengikat kerja sama
dengan Qantas -- maskapai penerbangan Australia. Kurang jelas
bagaimana persisnya perjanjian itu. Tetapi pasti tidak meleset
kalau dikatakan bahwa upaya itu untuk meningkatkan arus
wisatawan secara timbal balik. Hotel milik Garuda di Nusadua kan
perlu diisi tamu? Begitu juga kursi-kursi kosong dalam pesawat
Garuda ke dan dari Australia.
Mudah-mudahan perjanjian itu pun mengatur program komunikasi
yang kongkret. Bukan apa-apa: cukup banyak praktisi komunikasi
yang menilai Garuda tidak cukup baik berkomunikasi dengan pasar
-- kecuali pemberitahuan tentang pesawat-pesawatnya yang baru.
Majalahnya (in-flight magazine) saja digarap sebuah biro asing.
Tak heran kalau informasi tentang provinsi-provinsi di Indonesia
pernah dimuat dengan korting Timor Timur. Iklannya? Ya, sesekali
Anda akan melihat iklan Garuda yang kecil dan malu-malu di
majalah luar negeri. Di dalam negeri, Anda boleh menunggu iklan
Garuda bila ada pesawatnya yang jatuh dan Garuda merasa wajib
menyatakan duka cita.
Tidak hanya Garuda yang tidak jelas sikapnya dalam berkomunikasi
dengan pasar. Industri wisata Indonesia rata-rata memang tidak
punya sikap dan konsep yang jelas untuk mengkomunikasikan
programnya. Selama ini kita hanya bisa bicara target. Lalu kalau
targetnya ternyata kempes, keluarlah pernyataan bahwa asumsinya
keliru, dunia Barat sedang dilanda resesi, dan lain sebagainya.
Contoh yang jelas baru saja lewat. Sebuah angka dipublikasikan
sebagai target kunjungan wisatawan asing yang akan mengamati
gerhana matahari total. Target itu tidak saja kempes, tetapi
lebih dari 90% keliru. Tuding sini, tuding sana. Ada yang
menjawab, tetapi tidak ada yang menanggung.
Jangan salahkan kalau banyak orang Indonesia berwisata ke luar
negeri. Hitung saja berapa banyak iklan maskapai penerbangan
asing dan daerah tujuan wisata di luar negeri yang disiarkan
melalui media massa kita. Tiap hari pun Anda dapat melihat iklan
biro perjalanan Indonesia yang menawarkan paket wisata ke luar
negeri. Ada tindakan kongkret, ada hasil kongkret -- itulah
mekanisme pasar yang tidak bisa tidak. Bagaimana keadaan
sebaliknya? Adakah langkah kongkret untuk merayu wisatawan
datang ke Indonesia?
Tentu salah kalau dikatakan tidak. Tetapi apa yang ada terasa
sangat ad hoc dan tidak terpadu. Proram bebas visa memang
menarik. Tetapi siapa yang tahu kalau tidak dikomunikasikan
secara luas? Di Konsulat Jenderal RI di New York tampak beberapa
gambar besar pemandangan Indonesia -- sudah kusam, dan tidak
tertata baik. Bahan-bahan rujukan pun tidak banyak tersedia di
perwakilan RI. Kalaupun ada, jumlahnya tidak banyak, mutunya
menyedihkan.
Mungkinkah industri wisata kita melupakan unsur komunikasi? Atau
para ahli komunikasi tidak cukup memberikan peran sertanya?
Pernahkah para komunikator diikutsertakan? Tidak perlu jauh-jauh
mencari contoh. Singapore Tourist Promotion Board, sebuah badan
swasta yang mengelola kepariwisataan di Singapura, menekankan
unsur komunikasi dalam programnya. Hong Kong Tourist
Association, juga badan swasta, menekankan unsur komunikasi
pula.
Dalam sejarah periklanan pun telah tercatat begitu banyak
program menjual paket wisata yang berhasil dilancarkan berkat
dukungan iklan. Puerto Rico "dijual" oleh biro iklan Ogilvy
Mother, dan kini menjadi daerah tujuan wisata yang berhasil.
Biro iklan yang sama saat ini sedang "menjual" Inggris bagi
pasar wisatawan Amerika. Tanpa iklan, Spanyol tidak akan mampu
mendatangkan wisatawan yang jumlahnya bahkan lebih banyak dari
penduduknya dan kini malah sudah menampakkan dampak negatif
kepariwisataan.
Bukan hanya program besar perlu diiklankan. Program kecil pun.
Contoh kongkret adalah program yang saat ini tengah
diselenggarakan oleh KLM, berjudul Holland-Heart of the Arts.
Negeri Belanda sebetulnya tidak kekurangan wisatawan.
Kampanye-kampanye terdahulunya seperti Day on the House dan Stay
on the House-nya telah memanen banyak wisatawan yang datang
dengan KLM -- untuk melihat bunga tulip di awal musim panas,
meihat pembuatan keju, terompah kayu dan pengasahan berlian,
atau berwisata sepanjang kanal.
Tetapi Belanda tidak hanya itu. Belanda punya 40 ribu monumen,
700 museum dan 12 ribu pertunjukan seni setiap tahun. Dan itulah
yang "dijual" KLM -- bekerja sama dengan Dewan Pariwisata
Nasional -- dalam program Heart of the Arts-nya. Di situ
penumpang KLM yang berminat bisa memperoleh tiket gratis untuk
mengunjungi beberapa museum, dan fasilitas pesan tempat untuk
pertunjukan-pertunjukan seni.
Kesemuanya dikomunikasikan secara terpadu dalam kampanye
periklanan yang diarahkan pada pasar-pasar tertentu. Beberapa
wartawan kebudayaan pun akan diundang, dengan harapan akan
menulis dan menambah kedalamanan informasi.
Anda boleh menganggap mereka bodoh. Tetapi program yang
terperinci dan memakan biaya tidak sedikit itu ternyata hanya
ditargetkan untuk mendapat tambahan 25 ribu wisatawan. Ya, 25
ribu, tanpa tambahan nol lagi. Masuk akal, bukan? Ada
keterpaduan yang manis di situ. KLM toh harus mengiklankan diri
untuk menjual kursi-kursi pesawatnya. Dewan Pariwisata membuat
program dan menyediakan tiket gratis ke museum. Toh wisatawan
yang pergi ke museum tidak akan tidur di museum? Mereka akan
memerlukan kamar hotel. Perlu makan, angkutan, serta pulang
membawa oleh-oleh.
Perlu belajar ke Negeri Belanda? Tidak perlu. Pak Joop Ave
tinggal menelepon salah seorang temannya di biro iklan untuk
mengumpulkan teman-teman lainnya dan bertukar pikiran. Industri
periklanan Indonesia pun sedang mencari kesempatan yang lebih
nyata untuk membuktikan peran sertanya. Gayung bersambut, kan?
Persoalannya memang tidak sesederhana itu. Tetapi perjalanan
seribu kilometer toh harus dimulai dengan langkah pertama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini