Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUAT apa kita bicara hal yang tak mungkin terjadi?
Ide mengadili bekas presiden Soeharto, yang belakangan keras terdengar, saat ini sama mustahilnya dengan menguras samudra. Mubazir. Ide itu sangat terlambat dan terasa kurang sopan dibicarakan saat ia meregang nyawa.
Tubuh ringkih itu tergolek lemah di lantai lima Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Sampai akhir pekan lalu, ia sudah sembilan hari di sana, dengan peluang bertahan kian tipis. Jantungnya berderak tak berirama, ada perdarahan di ginjal, paru-parunya mengalami infeksi dan tergenang cairan. Ventilator yang sekarang dipasang belum mengantarnya mencapai kesadaran penuh. Tokoh utama Orde Baru ini mendaki jalan terjal untuk menghadap Sang Pencipta.
Soeharto merupakan bagian masa lalu kita. Dia punya jasa, juga dosa. Dia punya pendukung, juga musuh politik. Itu sebabnya orang bereaksi atas kabar masa kritisnya dengan berbagai cara. Di Solo, sejumlah orang menggelar pengajian untuk memohon kesembuhannya. Di Jakarta, sekelompok orang yang mengaku keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia melakukan demonstrasi dan meminta ia diadili. Ini gugatan yang selalu terdengar sejak 1999, ketika Soeharto pertama kali tersengat stroke.
Tuntutan bisa datang dari mana pun, tapi pengadilan tak pernah menyidangkan orang sakit. Lagi pula semua pemerintah pasca-Orde Baru tak pernah kelihatan punya kemauan politik serius untuk mengadili Soeharto. Terbitnya surat keputusan penghentian penyidikan oleh Kejaksaan Agung pada 2006 menunjukkan pertanda betapa "enggan" pemerintah membawa pendiri Orde Baru itu ke meja hijau.
Sikap "enggan" itu cermin pergulatan politik di langit-langit kekuasaan. Pergulatan malah sudah tampak ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat merumuskan Ketetapan Nomor IX/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi. Kompromi yang terjadi akhirnya meniadakan perintah khusus, misalnya memberikan status tersangka kepada Soeharto. Sidang MPR, dengan peserta kelompok yang mengaku reformis dan sisa-sisa Orde Baru, tidak mampu melahirkan ketetapan hukum yang mengharuskan Soeharto mempertanggungjawabkan secara hukum penyalahgunaan jabatan, umpamanya. MPR hanya melahirkan ketetapan yang menyebutkan bahwa upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan terhadap siapa pun, termasuk mantan presiden Soeharto.
Kita tahu Ketetapan MPR itu tidak pernah utuh dijalankan setiap pemerintah yang berkuasa setelah 1998. Pemberantasan korupsi dilakukan, tapi pengadilan atas Soeharto macet dan tak menghasilkan apa pun. Tidak salah jika orang bilang reformasi 1998 tidak menghasilkan "pemenang" yang bisa memaksa "yang kalah" mengikuti aturan-aturan main yang baru. Bahkan aturan main yang baru itu tak pernah dibuat. Yang ada adalah aturan hasil kompromi yang mengandung kepentingan semua kelompok.
Karena itu, setiap persoalan mendatangkan perbedaan pandangan. Soeharto mungkin bersalah di mata kelompok reformis, tapi di mata penyokong Orde Baru tidaklah demikian. Perbedaan pandangan itu biasanya tidak melahirkan tindakan nyata karena kaum reformis dan sisa Orde Baru bekerja dengan arah gerakan berlawanan. Kelompok reformis sendiri tak punya kekuatan cukup untuk menata ulang semua sistem, termasuk sistem peradilan, apalagi mengadili penyalahgunaan kekuasaan masa lalu.
Yang patut disesali dari keadaan ini, sirna sudah kesempatan berharga bagi Indonesia untuk menorehkan prestasi baru bidang hukum dalam membereskan kasus bekas pemimpinnya-seperti Filipina menyidangkan bekas presiden Joseph Estrada atau Nigeria memutus kasus orang nomor satunya, yaitu Jenderal Sani Abacha. Kita tak pernah tahu seberapa benar tuduhan korupsi yang selama ini dialamatkan kepada Soeharto, seperti juga kita tak jelas tahu salahkah tuduhan itu.
Kerugian terbesar justru diderita Soeharto sendiri. Benar bahwa ia dimuliakan segenap petinggi negara-keadaan yang jauh berbeda dibandingkan dengan hari-hari terakhir Bung Karno, yang terasing dan serba kekurangan. Presiden Yudhoyono datang ke rumah sakit. Ia dua kali mengadakan jumpa pers khusus untuk menyatakan keprihatinannya atas kondisi jenderal besar bintang lima itu dan menyatakan pemerintah mengusahakan pengobatan terbaik. Wakil Presiden setidaknya juga dua kali bertandang ke RSP Pertamina. Jusuf Kalla sempat membatalkan kunjungan kerja ke Riau untuk menunggui masa-masa kritis pendiri Golongan Karya itu. Tapi Soeharto sudah kehilangan kesempatan menjelaskan bahwa ia tak memiliki sesen pun harta di luar negeri, seperti yang beberapa kali dikatakannya. Ia tak sempat menjawab semua tuduhan kepada rakyat yang selama 31 tahun dipimpinnya.
Jarum jam tak bisa diputar ulang. Jadi buat apa lagi bicara tentang persidangan yang sudah tak mungkin? Ini juga bukan saat yang tepat untuk menegosiasikan gugatan perdata terhadap penguasa Orde Baru itu. Biarlah dia yang tengah berada di batas waktu menutup perjalanan panjangnya dengan tenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo